Search This Blog

Thursday, January 31, 2013

YUK Hunting Foto dengan Lensa 50 mm F/1.8

Huraay ... Akhirnya beli juga lensa baru. 50 mm f/1.8.

Belanjaan hari ini
Ceritanya sehabis pulang kantor langsung ke Camezone, ITC Fatmawati. Dan belilah lensa baru itu. Pas sampai di sana barangnya gak ada jadinya harus nunggu dulu, ada sekitar 30 menitan. Rupanya, mereka kehabisan stock dan sedang diambilkan lagi dari Kemang lensanya itu. 

Bukannya hanya Lensa Canon 50 mm, tetapi saya juga beli tempat untuk menyimpan memori card, Lensa Hood atau Tudung lensa dan juga ada filter.

Lensa 50 mm tanpa Hood atau Tudung Lensa
Selanjutnya inilah lensanya ketika diberi lens Hood atau tudung lensa.
Lensa sesudah diberi Tudung
Berapa total harganya?
Ya saya rinci ya  untuk referensi. Di toko Camezone, ITC Fatmawati Lensa 50 mm  F/1.8 itu harganya dibandrol Rp. 840.000, murah sih karena itu laris. Hasilnya kalau saya lihat dari Teman bagus kok. Dompet Lowepro untuk menyimpan memori card Rp. 150.000, Canon Lens Hood Rp. 140.000 dan Filter lensa Rp. 200.000,- 

Jadi, belanja lensa baru dan aksesorisnya hari ini total Rp. 1.330.000,- dibayar kontan ya, hehehehee...
Senang ya kalau punya hobby yang dapat disalurkan untuk hal-hal yang positif. Seperti itulah kira-kira cerita hari ini. Yuk mari kita hunting foto dengan lensa 50 mm :)

Tuesday, January 29, 2013

Pantai Senggigi dan Pantai Malimbu Lombok

Ke Lombok juga akhirnya ... Satu per satu menjelajahi Nusantara dalam rangka tugas.
Berangkat Hari Kamis, 24 Januari 2013 dan pulang tanggal 25 Januari 2013.  Kami dari bagian Humas dan Protokol yang tugas ada 3 (tiga) orang. Mas Ricky berangkat hari Kamis pagi nempel sama Big boss, sementara Saya dan Nurul berangkat hari Kamis siang. Memang acaranya sih Kamis malam.  Tapi Big boss berangkat duluan karena ada yang mau ditinjau terlebih dahulu.

Boarding Pass Kepulangan
Nah, kalau kita bertugas itu ada pembagiannya. Ada yang bertugas sebagai Protokoler, Publikasi dan Dokumentasi Foto-foto. Kita singkat saja ceritanya, ya. Kamis Malam setelah acaranya selesai kita ditraktir makan sama Pak Rifaid. Makanan khas Lombok.

Makanan Khas Lombok

Makanan khas Lombok yang saya cicipi itu ada Ayam Taliwang, Kangkung Pelecing dan ada juga sambal Beberuk. Senang deh, kalau pergi ke suatu kota terus ada kuliner khasnya.

Hari jumat kita otomatis tidak ada lagi acara.  Oleh karenanya bisa Jalan-jalan dulu nih ke Pantai Senggigi dan Pantai Malimbu, Lombok. Jaraknya dekat kok dari penginapan kita. Kita diantar sama temannya Pak Rifaid dan Pak Iwan, namanya Bapak Zuhri.

Beginilah pantai Senggigi dan Pantai Malimbu.

Pantai Senggigi


Kita lihatnya dari atas. Nampak biasa saja ya. Dari Senggigi kita melaju ke arah pantai Malimbu. Nah, di sini baru terlihat indah pantainya. Biru pantainya.

Pantai Malimbu

Indah khan?
Another View

 Dan ... Inilah saya sama Nurul dengan kameramen Mas Arif ...

Sewaktu Tugas Sama Nurul.
Sehabis melihat pantai itu, kita beli oleh-oleh.

Oleh-oleh Lombok
Oleh-oleh khas Lombok itu salah satunya ada makanan  dodol atau cemilan lain dari agar-agar. harganya bisa dilihat di bawah ini.

Harga Oleh-oleh Lombok

Sebenarnya masih ada dua tempat yang ingin dikujungi, yaitu Kampung Sade dan Pantai Kuta Lombok. Tapi, berhubung kita perginya nebeng dengan fasilitasnya pak Rifaid akhirnya tidak kesampaian lah ingin berkunjung Ke Kampung Sade utamanya. Sebenarnya bisa sih berkunjung ke Kampung  Sade, tapi karena banyak orang yang ikut dan banyak kepentingannya makanya tidak terkejar. Kalau sendiri masih bisa terkejar tapi gak enak kalau harus memisahkan diri dari rombongan. Oh ya, transportasi di Lombok mudah kok, ada taxi soalnya.

Seperti itulah kira-kira kunjungan singkat saya ke Lombok.

Thursday, January 24, 2013

Kreatif Lewat Silver Body Painting

3 Orang Peserta Melancong Bersama Republika dan Silver Man


Kapan terakhir kali ke Bandung teman-teman ?
Saya, minggu kemarin ke Bandung dalam rangka Melancong bersama Republika. Melihat sesuatu yang baru gak di Bandung akhir-akhir ini?
Saya lihat. Tukh di atas gambarnya. Pertama kalinya tahu ada Silver man itu sewaktu kunjungan pertama dalam rangka menjenguk Babynya teman. Lihatnya sih di depan Kartika Sari Dago. Waktu pertama kali tidak sempat berfoto, nah waktu kedua kalinya kemarin, sempat tanya-tanya dan ambil foto.

Jadi, kata Silver man yang di dalam foto itu, mereka mencat tubuhnya dengan cat khusus Body Painting dalam rangka menggalang dana untuk anak Yatim Piatu.  Di sini tidak hendak membahas apakah uangnya sampai apa tidak ke tangan yang berhak, melainkan saya tertarik dengan ide kreatifnya. Orang-orang yang dicat tubuhnya dengan warna silver itu tergabung dalam Komunitas Silver Peduli. Katanya sih ada ketuanya. Kebanyakan Silver man yang saya lihat ini adalah laki-laki ya.

Nah, bagaimana dengan teman-teman? 
Apakah Tertarik untuk melakukan hal yang sama atau barangkali punya ide lain dan terinspirasi dari mereka?

Tuesday, January 22, 2013

Jelajah Flores Overland dalam Solo Travelling



Travellingnya sudah lama, bulan Desember 2012 lalu, tapi Posting Blognya baru sekarang.

Oke, seperti inilah ceritanya. 
Jelajah Flores Overland yang saya lakukan di bulan Desember tahun 2012 lalu sebagai travelling penutup akhir tahun.  Sungguh merupakan jelajah yang luar biasa, karena hanya saya seorang diri, tiada teman dari Jakarta yang ikut serta. Bahkan saya juga tidak  bekerja sama dengan sebuah travel agent. Hanya membuat sebuah rundown jelajah yang berisikan tempat dan tujuan jelajah selama satu minggu di Flores. 


Faktor utama yang mendorong saya ke Flores adalah ketika pada suatu hari dinas kantor dan mendapati sebuah Foto Kampung Tradisional Bena dalam majalah Garuda, hingga membuat  penasaran ingin berkunjung ke sana. Setiap hari mengecheck tiket pesawat dan googling semua tentang Kampung Bena. Hingga pada akhirnya mengantarkan saya berkenalan dengan seorang guide wisata dari Bajawa yang bernama Wihelmus atau biasa dipanggil Wiliam. 


Berdasarkan keterangan dari Wiliam lah saya mengambil rute jelajah, masuk dari Jakarta- transit di Denpasar-Labuan Bajo-Ruteng-Ende-Maumere. Ya, saya masuk dari Labuan Bajo dan pulang lewat Maumere. Tiket pesawat dipesan jauh hari sebelum keberangkatan, tepatnya di bulan Agustus, tiket sudah ada ditangan. 


Keberangkatan, 21 Desember 2012


Untuk jelajah Flores Overland selama satu minggu, mulai dari tanggal 21-28 Desember ini, saya ambil cuti selama 3 hari. Dimulai dari tanggal 26-28 Desember. Karena tanggal 24-25 Desember cuti bersama natal. Pesawat Jakarta – Denpasar untuk tanggal 21 Desember berangkat malam hari pukul 20:40 WIB. Tiba di Denpasar pukul 23:30 WITA.  Dikarenakan saya beli tiket pesawat dari Denpasar menuju Labuan Bajo tanggal 22 Desember dengan keberangkatan siang hari jam 13:35 WITA, akhirnya mau tidak mau saya harus menginap dulu selama transit di Bali. Bisa saja menunggu di Bandara, tapi hal itu tidak akan membuat saya nyaman dan dapat cukup beristirahat. 


Selama transit di Bali ini saya menginap di Bliss Wayan hotel, itu pun hasil googling ketika pesan taxi Bandara. Karena mereka (taxi) akan meminta tujuan kita.  Setibanya di Hotel, saya lihat designnya unik. Tema hotelnya surfing. Ya, dapat dilihat gambar surfing bahkan dari luar hotel pun dipasang dekorasi papan Surfing. Saya suka tempatnya karena bersih dan tidak terlalu ramai. Saya bermalam di kamar standar dengan double bed. 


Pagi harinya sebelum berangkat menuju Labuan Bajo, benar-benar dimanfaatkan untuk melihat Monumen Tragedi Kemanusiaan dan Tanah Lot dengan taxi. Kurang lebih dua jam di Tanah Lot, kemudian kembali hotel untuk check out dan menuju Bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Labuan Bajo. 



22 Desember menuju Labuan Bajo

Di Bandara Ngurah Rai, chek in dilakukan di sebuah gedung baru dan masih dalam proses pembangunan. Saya menunggu di waiting room gate 17. Pukul 13:35 WITA pesawat Wings Air dengan Flight JT 1830 pun terbang menuju Labuan Bajo. Pesawat pada hari itu terhitung penuh. Diantara penumpang lokal terlihat juga beberapa wisatawan mancanegara. Saya duduk di seat 18C dekat jendela dan disebelah saya duduk seorang Ibu yang hendak ke Ende. Jadi, pesawat itu berhenti di Labuan Bajo untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Ende. 

Pukul 14:55 WITA pesawat mendarat di Bandar Udara Komodo Labuan Bajo. Saya turun dengan rasa haru dan luar biasa, bahwa akhirnya saya menginjakkan kaki di Labuan Bajo, dan Solo Travelling atau jelajah sendiri ini benar-benar menjadi kenyataan. 

Bandar Udara ini terlihat sederhana dan masih alami. Jadwal Pesawat pun nampaknya diatur sedemikian rupa, disesuaikan dengan kondisi bandara. Para penumpang pesawat yang turun di Labuan Bajo berjalan memasuki ruang kedatangan yang ukurannya kecil. Di sini saya pesan taxi bandara. Ada hal yang unik tertangkap oleh saya, ternyata pintu keluar dari bandara ini dikunci oleh petugasnya. Alasan yang kudengar katanya supaya tidak diserobot masuk para supir angkutan.

Para penumpang yang terlihat sebagai turis nampaknya dijemput oleh travel agentnya masing-masing. Hanya saya yang lepas sendirian. Berdasarkan tiket taxi yang kupesan tadi, saya berjalan mengikuti sang supir. Ada rasa sedikit kekagetan waktu tahu ternyata taxi di sana bukanlah taxi seperti bluebird yang jenisnya adalah mobil sedan kecil melainkan Suzuki AVP. Rasa takut pun sempat datang menghampiri, karena melihat kendaraan yang besar dengan penumpang seorang diri. Terlontar tanya dariku kepada sang Sopir.

“Mobilnya besar sekali, penumpangnya hanya saya sendiri ya?”.
“Iya” katanya sambil tersenyum.
Pada sopir yang bernama Lexi itu saya minta untuk diantarkan ke Hotel Blessing. Hotel ini dipilih berdasarkan saran dari Wil. Ya, dia akan membantu saya mengguide selama di Bajawa ketika melihat Kampung Tradisional Bena.

Dalam perjalanan menuju Hotel, saya banyak bertanya pada Lexi sang Supir. Dia lalu menyarankan kalau saya hendak mencari barengan ke Pulau Rinca, lebih baik bertanya dulu ke Tourist Service siapa tahu bisa join dengan rombongan lain. Kita pun berhenti dulu sebentar di Parama.  

Mbak Ningsih, yang kita jumpai di Parama, mengatakan bahwa besok atau tanggal 23 Desember ada dua orang yang mau ke Pulau Kanawa dan Pulau Bidadari, saya bisa gabung katanya. Tapi tujuan saya dari awal tidak hendak berkunjung ke Pulau-pulau itu. Pulau-pulau seperti itu dalam benak saya dapat dilihat di Kepulauan Seribu yang ada di Jakarta. Bahkan diantaranya pernah saya kunjungi. Jadi, tidak akan jauh berbeda dengan yang ada di sana.  

Saya tanya Mbak Ningsih harga sewa kapal kalau mau ke Pulau Rinca dan Pink Beach.  Mbak Ningsih bilang harga sewa kapalnya sekitar Rp. 1,3 juta. Karena ke Pink Beachnya jauh ada sekitar empat jam katanya. Maka disepakatilah harga sekian dengan rute Pulau Rinca lalu lanjut ke Pink Beach. Harga itu akan lebih murah seandainya pergi dalam satu rombongan. 



Batu Cermin
Selepas dari Parama, tidak langsung ke Hotel, tapi Lexi mengantarkan saya untuk melihat Batu Cermin. Informasi mengenai Batu Cermin ini saya dapatkan dari googling. Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menuju lokasi. Tiba di lokasi sangat sepi. Di sana ada beberapa orang guide yang sedang duduk menunggu pengunjung. 

Pintu Masuk ke Gua


Saya pun langsung bayar tiket masuk, lalu diantar guidenya Bapak John menuju Batu Cermin yang merupakan sebuah Gua. Ada kurang lebih 300 meter berjalan menuju Gua ini.
 
Berdasarkan keterangan dari Bapak John di dapat sebuah informasi yang mengatakan bahwa Gua Batu Cermin ini ditemukan pada tahun 1951 oleh seorang misionaris Belanda yang bernama Theodore Ver Hofen. 

Mengapa disebut Gua Batu Cermin?

Hal ini dikarenakan di atas Gua itu ada sebuah lubang kecil, lalu apabila matahari masuk melewati lubang ini dan mengenai air yang tergenang di dalam gua akan memantulkan cahaya ke dinding yang ada di dalam Gua. Pantulan cahaya ke dinding inilah yang disebut sebagai batu cermin. 

Pertanyaan kemudian, dari manakah datangnya air dalam Gua? Menurut Pak John, genangan air itu terjadi apabila ada hujan. 

Lubang Pada Dinding Atas Gua



Hal yang pasti ketika saya berkunjung ke dalam Gua Batu Cermin adalah dapat melihat stalaktit, stalagmit, Laba-laba hitam dan kalong. 

Satu hal yang perlu diperhatikan ketika berkeliling ke dalam gua ini harus hati-hati dan helm harus terus dipakai karena kepala bisa terbentur dinding gua. Guide juga sudah menyiapkan lampu senter ketika masuk ke dalam gua.

Kurang lebih satu jam mengelilingi gua, kemudian keluar lewat jalan yang berbeda dari jalan masuk tadi. 

Di Gua saya hanya bertemu dengan dua orang turis lokal dan guidenya setelah itu tidak ada lagi yang datang karena hari sudah sore.  Ternyata kata Pak Jhon, ada beberapa artis yang sudah pernah berkunjung ke sana. 




Selepas dari Batu Cermin, langsung menuju hotel Blessing. Tempatnya persis berada di pinggir jalan dan posisinya lebih tinggi dari jalan itu.  Harga sewa kamar satu malam di hotel ini bervariatif dari seratus lima puluh ribu sampai empat ratus ribu rupiah. Saya pilih yang dua ratus ribu rupiah. Fasilitasnya ada dua tempat tidur, lemari, meja dan kamar mandi. 
 
Saya pun istirahat sebentar lalu mandi. Setelah itu, menghubungi Wiliam dengan maksud mengabari sudah sampai di Labuan bajo dan menanyakan tentang Pink Beach. Ketika bilang padanya bahwa besok saya hendak pergi ke Pulau Rinca dan juga Pink Beach dengan biaya totalnya Rp. 1,3 juta. Wiliam mengatakan itu terlalu mahal dan katanya lagi, lebih baik ke Pulau Rinca dan Pulau Bidadari saja daripada ke Pink Beach. 

Dari awal memang ingin ke Pink Beach, dengan alasan ingin melihat pasir yang berwarna pink itu dan juga ada teman yang menitip untuk dibawakan pasirnya. Tetapi kemudian Wiliam mengatakan jangan mengasumsikan warna pink itu pink sekali. Pada dasarnya kata Wiliam, orang ke Pink beach itu sekalian lewat saja ketika akan ke Pulau Komodo. 

Keputusan akhir pun diambil, dengan persetujuan Mbak Ningsih dari Parama dan juga sepengetahuan Wiliam bahwa perjalanan esok hari akan mengambil rute Pulau Rinca-Pulau Bidadari dan kembali ke Labuan Bajo. Dikarenakan perubahan rute inilah harga sewa kapal pun berubah dari Rp. 1,3 juta menjadi Rp. 700.000,-  




23 Desember 2012, ke Pulau Rinca dan Pulau Bidadari. 

Jam 6.00 pagi saya sudah siap dan berada di Travel Parama menunggu Lexi yang akan menemani saya ke Pulau Rinca. Lexi sang supir Travel dari Bandara itu dipilih untuk menemani perjalanan saya. Hal ini dikarenakan staf dari Mbak Ningsih yang akan turut bersama saya berhalangan. 

Dari Parama kita berjalan kaki sekitar 250 meter ke Pelabuhan. Di sana sudah ada Pak Bandi sebagai Kapten dan Kakaknya, Pak Kamarudin yang sedang mempersiapkan perahunya.

Perjalanan ke Pulau Rinca

Saya satu-satunya turis yang berada di dalam perjalanan itu. Jikalau ada teman-teman yang turut serta tentu akan lebih seru lagi. Jadi, total yang ada dalam perahu itu berjumlah empat orang, saya, kapten, Lexi, dan Pak Kamarudin. 

Pemandangan Bukit Hijau


Jam enam lebih perahu berangkat ke Pulau Rinca dulu. Pelayaran kali ini ditemani sunrise dan bukit-bukit yang hijau. Sungguh Indah Flores ini, semuanya masih alami. 

Dalam pelayaran, kita dapat melihat pulau-pulau lain. Selain itu, Pak Bandi menunjukkan sebuah Kampung penjaga yang berada di atas laut letaknya agak dipinggir bukit. Bahkan saya terkejut ketika Pak Bandi menunjukan pada sesuatu benda di tengah laut yang ternyata itu adalah seekor lumba-lumba. Ketika akan kuambil fotonya, lumba-lumba itu segera menghilang. Pak Bandi katakan, deru mesin kapal yang membuatnya takut.

Dua jam perjalanan dari pelabuhan akhirnya kita sampai ke Pintu masuk Pulau Rinca, tepatnya di Loh Liang. Long yang artinya teluk dan liang artinya lubang. 

Pintu Masuk ke Loh Buaya

Terlihat di sana ada beberapa buah kapal yang sedang menepi. Di Pintu masuk, saya dan Lexi disambut para ranger. Mereka adalah guide yang akan mengantarkan kita trekking di Pulau Rinca melihat Komodo. Ranger yang menemani saya Trekking bernama Yongki.  Sebelum melakukan trekking, kita harus membayar tiket masuk terlebih dulu di sebuah Pos.  Total biaya masuk Pulau Rinca adalah Rp. 77.500,- sudah termasuk karcis pengambilan gambar/Foto. Setelah itu, saya dijelaskan tentang rute Trekking dan peraturannya.

Ada tiga jenis trekking yang ditawarkan, long trekking, medium trekking dan short trekking. Saya pilih yang Long trekking dengan perkiraan waktu 2 jam.  Dari awal penjelasan, Yongki, ranger kami itu mengatakan bahwa  karena Pulau Rinca ini sangat luas wilayahnya dan Komodo itu adalah wild animal, makanya tidak ada jaminan kita bisa bertemu dengan Komodo selama Trekking. Namun, kita pasti bisa melihat komodo di dapur jelasnya. 

Setelah disepakati mengambil Long Trekking, maka trekking pun dimulai. “jangan jauh-jauh mbak dari ranger, karena kita tidak bisa memperkirakan Komodo akan datang dari arah mana, bisa saja tiba-tiba menyerang”, katanya. 

Yongki memang berjalan di depan sambil membawa tongkat sebagai senjata adalannya untuk berjaga-jaga apabila diserang Komodo dan saya berjalan tepat dibelakangnya. Sementara Lexi berjalan di belakang saya. 

Selama Trekking Yongki menjelaskan bahwa selain di Pulau Komodo, kita dapat melihat Komodo itu diantaranya di Pulau Rinca yang merupakan pulau kedua terbesar setelah pulau Komodo dengan luasnya mencapai 2700 hektar lebih, Pulau Gilimotang, dan Pulau Nusakode. Tapi, Komodo paling banyak terdapat di Pulau Rinca. 

Pulau Rinca termasuk bagian dari Taman Nasional Komodo (TNK). Di Taman Nasional Komodo ini terdapat tiga pulau yang besar yaitu, Pulau Komodo, Pulau Rinca dan Pulau Padar. Selain itu, di TNK juga terdapat tiga desa yaitu, desa Komodo, desa Rinca dan desa Papagaran.

Yongki melanjutkan penjelasannya bahwa Komodo memiliki penciuman yang sangat tajam. Dia dapat mencium dari Jarak 5 Km. Itulah mengapa perempuan yang sedang haid sangat beresiko untuk diserang Komodo. Menurutnya karena Komodo sangat sensitif terhadap darah. “Beberapa waktu yang lalu ada ranger kami yang diserang komodo semata-mata demi melindungi pengunjung yang ternyata sedang haid”, tuturnya. 

Pengunjung harus menjada jarak dengan komodo. Jaga jarak yang ideal antara pengunjung dengan Komodo adalah 5-6 meter. Komodo dapat berlari dengan kecepatan 18km/jam dan dapat hidup dalam rentang waktu 5 – 60 tahun. Komodo adalah hewan karnivora, dia tidak makan setiap hari. Komodo makan sekali dalam sebulan dengan porsi 80 persen dari berat badannya. Setelah makan, mereka akan beristirahat selama satu sampai dua bulan dan kemudian memburu lagi. Tapi kalau makannya sedikit, komodo akan beristirahat satu sampai dua Minggu.  Makanan komodo adalah hewan liar seperti monyet, kerbau, babi dan rusa.

Komodo juga bisa berenang sampai 500 meter. Tapi tidak bisa berenang dari satu pulau ke pulau lainnya kecuali dekat jaraknya. Posisi komodo apabila sedang dalam air gerakannya cepat. Komodo juga tidak suka cuaca yang terlalu panas dan terlalu dingin. 

Setelah kurang lebih satu jam trekking, sampai juga di sarang komodo. Di sini kami bertemu dengan seekor Komodo. babi hutan, ayam hutan dan burung maleo. Sayang, babi hutannya cepat berlari menghilang ketika saya mengendap-endap untuk memotretnya. 



Seekor Komodo di Sarangnya

Namun, moment yang lebih mengejutkan dan luar biasa bagi saya adalah ketika bertemu tiba-tiba dengan dua ekor Komodo  yang sedang berkejaran. Menurut ranger, dua komodo itu sedang bertengkar. Karena disinyalir,  dari dua komodo betina itu yang satunya telah mengganggu sarang komodo betina lainnya. Sementara di sarang itu terdapat telur Komodo. 

“Komodo selain memakan hewan liar, juga bisa memakan telur komodo itu sendiri dan bahkan anaknya juga bisa dimakan”, ujar Yongki. 

Lebih lanjut Yongki menjelaskan bahwa Sarang Komodo awalnya merupakan sarang yang dibuat oleh Burung Maleo. Lalu, komodo mengambil alih sarang burung Maleo itu untuk meletakan telurnya. Di dalam sarang Komodo terdapat beberapa lubang, namun yang aslinya hanya satu, yang lainnya adalah kamuflase untuk melindungi telur dari predator lainnya.

Sementara musim kawin bagi komodo adalah antara bulan Juli – Agustus atau Komodo kawin hanya satu kali dalam setahun. Bulan September waktunya Komodo betina meletakan telur-telurnya. Kedalaman lubang untuk meletakan telur komodo sekitar 2 meter. Komodo mengerami telurnya selama sembilan bulan. Pada bulan Maret – April, telur komodo akan menetas.  Satu komodo betina dapat menghasilkan sekitar 15 – 30 butir telur.

Tidak semua telur menjadi anak komodo. Normalnya, 2-4 butir telur yang dapat berkembang dengan baik menjadi anak komodo.  Bahkan terkadang tidak ada satu pun dari telur yang menjadi anak komodo. 
 
Anak komodo ketika menetas ukurannya sebesar 35 cm dan hidup di atas pohon. Makanannya adalah tokek, ulat, ular kecil dan cicak.

Tak terasa trekking yang kita lakukan sudah sampai di Dapur. Di sini kita bisa melihat komodo yang sedang beristirahat dibawah kolong rumah panggung. Trekking pun berakhir dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam lebih cepat dari yang diperkirakan. 


Pulau Bidadari

Pulau Bidadari

Keluar dari Pulau Rinca, kita menuju ke pulau Bidadari sekitar 2 jam perjalanan. Di sini kita bisa snorkeling.  Di sini juga terdapat cottage. Hanya tamu cottagelah yang berhak untuk masuk. Sementara tamu luar, tidak bisa karena pintunya di tutup. 


Di sini saya hanya ambil foto dan melihat pasirnya. Kata Mbak Ningsih dari Parama, pasir di Pulau Bidadari warnanya agak pink juga, dan setelah lihat memang benar. Di pasir itu terdapat pecahan karang berwana pink.  Hal ini membuat pasir di sini sedikit berwarna pink.



24 Desember 2012, perjalanan ke Bajawa

Tanggal 24 Desember jam 6.00 pagi saya meninggalkan Labuan Bajo menuju Bajawa, Kabupaten Ngada  lewat Ruteng dengan sebuah travel. Waktu yang ditempuh dari Labuan Bajo ke Bajawa 8 – 9 jam. Kalau kita sewa mobil secara private, kita bisa singgah dulu untuk melihat sawah laba-laba dan juga situs kerangka Homo Florosiensis. 

Longsor




Ditengah perjalanan ke Ruteng, kita dikejutkan dengan terjadinya sebuah longsor di jalan. Alhasil mobil travel pun berhenti dulu. Karena jalannya harus disterilkan dulu. Setelah dua orang warga membawa sekop kecil, tanah longsor pun dapat disingirkan. Kendaraan dapat lewat sebagaimana mestinya.

Setelah empat jam, Travel yang menuju Bajawa berhenti di Ruteng. Saya turun di depan toko Sentosa Raya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Bajawa dengan travel jurusan Ende. Travel kemudian singgah sebentar di warung makan Samudera di Aimere. Di Aimere cuacanya cukup panas.  Setelah cukup beristirahat kita melanjutkan perjalanan ke Bajawa. Akhirnya setelah kurang lebih sembilan jam perjalanan dari Labuan Bajo, sampai juga ke Bajawa. Di perempatan Bajawa, saya dijemput Wiliam, yang akan menjadi Guide saya selama berkeliling Bajawa. 

Di Bajawa cuacanya sejuk. Saya menginap di Villa Silverin. Wiliam waktu itu yang bantu menawar harga untuk menginap. Satu malam dikenai biaya sebesar Rp. 150.000,-
Tanggal 24 itu, seharian dihabiskan dalam perjalanan. Jadi malamnya benar-benar istirahat. 



Tanggal 25 Desember, ke Kampung Bena dan Air Panas Malanage

Tanggal 25 Desember, sebagian besar warga di Bajawa merayakan natal. Tapi  itu tidak menjadi halangan bagi saya untuk berkunjung ke Kampung Bena. Bahkan di Bajawa ini antara penduduk Kristen dan Muslim, saling menghormati dan bekerja sama atau rasa gotong royongnya sangat tinggi kata Wiliam.

Saya dan Wiliam start berkunjung ke Kampung Tradisional Bena  pada pukul 10.00 pagi dengan menaiki sepeda motor. Dari penginapan ke Kampung Bena ada kurang lebih satu jam.  

Akses ke Kampung Bena sangat mudah. Jalannya sudah diaspal. Motor dan Mobil dapat melaluinya. Di sepanjang perjalanan ke kampung Bena ini pemandangannya sangat indah. 

Kampung Bena, Bajawa


Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, kita sampai juga di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten Ngada, NTT. Di situlah letak Kampung Bena. 

Suasana kampung waktu itu sepi. Kata Wiliam, penduduknya sedang ke Gereja. Maklumlah itu khan sedang hari natal. 

Saya berkeliling melihat Kampung Bena sambil mendengarkan penjelasan dari Wiliam. Di pekarangan atau halaman Rumah terdapat Ngadhu yang berjumlah sembilan buah melambangkan jumlah suku yang ada di Kampung Bena. 

Ngadhu di Kampung Bena




Ngadhu sebagai simbol laki-laki. Satu Ngadhu berpasangan dengan satu Bhaga, sebagai simbol perempuan. 

Bhaga


Selain Ngadhu dan Bhaga terdapat juga Peu. Peu berhubungan erat dengan Ngadhu. Peu digunakan untuk mengikat kerbau yang kemudian tali kerbau tersebut akan di masukan ke dalam lubang yang ada pada Ngadhu sehingga kerbau terangkat dan Warga bisa dengan mudah memotong tepat dileher kerbau tersebut. Biasanya mereka melakukan pemotongan kerbau kalau ada acara adat atau seremonial lainnya. 

Peu


Warga Kampung Bena menganut sistem kekerabatan matrilineal, perempuan posisinya kuat. Di dalam pernikahan mereka bisa menikah dengan orang luar. Kalau pengantin laki-laki berasal dari luar Kampung Bena, maka ketika mereka masuk ke rumah, secara otomatis mereka tidak bisa mengambil keputusan. Istrilah yang berhak mengambil keputusan. Tapi laki-laki tersebut boleh memberikan idenya.    

Setelah mendengarkan beberapa penjelasan dari Wiliam, tak lama kemudian, kampung yang sepi itu ramai kembali oleh warga yang baru pulang dari gereja. Ketika bertemu dengan mereka, saya dan Wiliam disalaminya sambil mengucapkan selamat natal atau Merry Christmas. Kita pun singgah sebentar di salah satu rumah warga. Rupanya Wiliam sudah kenal dengan mereka. Disuguhinya kita teh manis dan kopi.  

Sambil beramah-tamah, saya pun melanjutkan pertanyaan baik untuk Wiliam maupun tuan rumah. Kali ini saya bertanya tentang struktur bangunan rumah. Rumah yang terdapat di Kampung Bena atapnya terbuat dari alang-alang dan ijuk berfungsi sebagai tali pengikatnya. Atap rumah yang terbuat dari alang-alang ini bisa tahan sampai 30 tahun. 

Saya perhatikan di salah satu rumah yang ada di kampung Bena sudah dipasang lampu atau Listrik sudah masuk ke sini. Ini berarti mereka sudah terpengaruhi oleh budaya luar. Tapi menurut Wiliam, meskipun sudah ada pengaruh budaya luar yang masuk, warga kampung Bena masih mempertahankan upacara adatnya. Seremonial atau upacara adat inilah yang masih dilestarikan dan pelaksanaannya sangat mahal. Misalnya saja dalam pembangunan rumah adat baru, satu tahapan pembangunan rumah bisa menghabiskan sepuluh ekor kerbau. Jika pembangunan rumah sudah selesai, maka upacara adatnya akan lebih besar lagi, bisa menghabiskan 63 ekor kerbau. Sebab inilah mengapa di kampung Bena, rasa gotong royong dan kehidupan sosialnya sangat tinggi. Setiap warga dilibatkan ketika ada upacara adat.

Selain upacara adat yang tetap dipelihara, saya perhatikan juga warga di sini ada yang masih melakukan nginang (bahasa Jawa), nyeupah (bahasa Sunda) atau makan sirih.  
Selanjutnya, selain Ngadhu, Bhaga dan Peu, kita juga dapat melihat batu megalithikum di pekarangan perkampungan ini. Ketika saya tanyakan sejarah megalitihikum dan kampung Bena, kebanyakan warga tidak ada yang dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, setelah selesai beramah-tamah dan ngopi, kita segera menuju ke rumah Bapak Yoseph Roja untuk berdiskusi mengenai sejarah kampung Bena dan batu megalithikum.

Batu Megalithikum



Berdasarkan keterangan dari Bapak Yoseph dikatakan bahwa batu megalithikum ini merupakan kubur batu. Di sini terdapat sembilan batu. Hal itu sebagai simbol dari para leluhur atau keturunan bangsawan. Tapi jasadnya tidak ada sini. 


Batu Meghalitikum ini dibawa ke kampung Bena oleh Dhake, manusia yang sangat besar atau manusia raksasa. Jadi, Dhake datang ke kampung Bena  sebelum suku Bena. 

Sementara sejarah kampung Bena, menurut Pak Yoseph berawal dari sebuah kapal. “Kampung Bena dulu itu adalah sebuah Kapal bernama Rajo Togowolo” kata Pak Yoseph. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya batu yang berfungsi sebagai mesin di kapal namanya Wo (bunyi), Woza (buih air laut) dan haluannya Mangu (tiang), Lewa (tinggi). Jadi artinya, tiang kapal yang tinggi. 


Lebih lanjut Pak Yoseph menjelaskan bahwa di kapal ini ada penumpangnya. “ Di kapal ini dulu ada penumpangnya empat orang. Dua orang laki-laki bernama Oba dan Nanga serta dua orang perempuan bernama Wijo dan Wajo”, jelasnya. 

Mengenai Wijo ini kata Pak Yoseph bisa dibuktikan dengan adanya batu Wijo yang berukuran panjangnya 475 meter dan lebarnya 80 meter. 

Sementara sejarah mengenai kapal ini telah ada sejak 1200 tahun yang lalu. Sementara suku Bena lahir sejak 1150 tahun yang lalu. Suku Bena yang ada di Kampung Bena awalnya ada sepuluh suku, tapi yang satu pindah ke Deru kata Pak Yoseph.  Sembilan suku yang ada di kampung Bena sekarang ini dari Utara ke Selatan adalah: Suku Dizikae, Suku Wato, Suku Deru Solomai, Suku Deru Lalulewa, Suku Bena, Suku Ago, Suku Ngadha, Suku Dizi Azi, dan Suku Kopa.  

Oh ya, populasi di Bena ada sekitar 132 orang.


Warga Kampung Bena yang sedang melakukan Nginang atau Nyeupah


Puas dengan keterangan yang didapat dari Bapak Yoseph, akhirnya saya meninggalkan Kampung Bena menuju air panas  Malanage. 



Air Panas Malanage

Air Panas Malanage

Air Panas Malanage ini jaraknya dekat dari Kampung Bena, ada sekitar 20 menit. Ketika sampai di sana sudah ada dua orang perempuan turis asing yang sedang berendam. Seorang turis bersikap cuek dan yang satu lagi merasa risih dengan kedatangan kita. Apalagi saya pegang kamera. Oleh karenanya, seorang dari dua turis itu bersembunyi dibalik batu. Tidak berlama-lama di air panas ini, saya pun pergi kembali ke Hotel. Di dalam perjalanan pulang kita kehujanan. 


26 Desember, Menikmati Gunung Inerie, Ende dan Moni

 Gunung Inerie
Gunung Inerie


Tak perlu jalan jauh untuk menikmati Gunung Inerie. Hanya sempatkan waktu untuk melihat ke belakang dari penginapan. Maka di sana bisa dinikmati pemandangan indah Gunung Inerie dengan puncaknya yang mencapai ketinggian 2245 meter. Gunung Inerie bisa terlihat lebih bagus dari bukit kecil di seberang penginapan saya. Waktu yang terbaik untuk menikmati Gunung ini tanpa tertutup awan adalah di pagi hari dari antara jam 6 sampai jam 8. 

Villa Silverin tempat menginap selama di Bajawa




Melihat Situs Rumah Pengasingan Bung Karno

Setelah menikmati pemandangan indah Gunung Inerie, jam 9 lebih saya pun berangkat ke Ende dengan travel yang sudah dipesan sebelumnya. Perjalanan Bajawa – Ende menempuh waktu sekitar 3 jam. Dari Ende saya beralih ke Travel tujuan Maumere tapi saya berhenti di Moni. Sebelum berangkat ke Moni, supir travel menjemput dulu penumpangnya satu persatu. Oleh sebab itu, saya berkesempatan untuk mampir ke Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno di Ende dan nanti dijemput kembali oleh travelnya itu.  

Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno di Ende setelah direnovasi

Kabar terakhir yang saya dengar mengatakan bahwa rumah bekas pengasingan Bung Karno sedang direnovasi dan tertutup untuk umum. Tapi ketika saya berkunjung ke sana Rumah itu sudah selesai di renovasi dan dibuka kembali untuk umum meskpun papan namanya belum terpasang dengan benar. Pada waktu itu saya melihat bagian belakang rumahnya terutama sumur sudah ditembok dan airnya masih ada. Sementara kasur sudah ditempatkan di masing-masing kamar. Di ruangan depan sudah dipajang kembali  lukisan Bung Karno, begitu pun dengan peninggalan lain seperti keramik, biola, buku-buku bacaan Bung Karno sudah ditata di dalam lemari. Beberapa buah foto memang belum terpasang sebagaimana layaknya. Petugas yang ada di sana tinggal melakukan finishing touch atau proses penyelesaian akhir. 
 

Sumur di Belakang Rumah setelah Direnovasi


Selama kunjungan singkat sekitar 10 menit itu, saya sempat bertanya pada juru pelihara atau juru kunci bernama Syafrudin yang sudah bekerja selama sepuluh tahun.

“Siapa pak yang mengusulkan untuk merenovasi rumah bekas peninggalan Bung Karno ini?”, tanya saya.


“Renovasi ini merupakan programnya Bapak Budiono. Dia mengusulkan pembangunan ini setelah datang berkunjung ke sini. Untuk renovasinya sendiri ditangani oleh Yayasan Ende Flores, yang merupakan suatu perkumpulan orang-orang Flores”, jawab Pak Syafrudin. 

Selanjutnya Pak Syafrudin mengatakan rumah ini setelah direnovasi belum dilakukan serah terima kembali.  Untuk serah terimanya sendiri rencananya akan dilakukan bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila. Sebagai tambahan informasi, rumah bekas Bung Karno ini merupakan milik dari Bapak Haji Abdulah Ambu Waru dan telah menjadi cagar budaya. Sementara untuk renovasinya sendiri dilakukan mulai bulan Juni – November 2012. 

Sudut Ruangan di Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno



Danau Kelimutu
Setelah dijemput travel di Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno, perjalanan pun dilanjutkan menuju Moni. Tujuannya ke Moni adalah menginap dan pagi harinya melihat danau Kelimutu. Tapi ternyata ketika travel sampai di hotel Bintang, Moni, hari masih siang. Saya pun tidak segera masuk kamar, karena memang belum ada kepastian ada yang kosong. Lalu, diputuskan saja untuk langsung melihat Danau Kelimutu dengan mengajak Billy keponakan Tobias yang punya hotel. 



Tobias ini adalah temannya Wiliam. Tapi saya sudah tahu tentang hotel Bintang ini dari orang lain terlebih dulu sebelum akhirnya Wiliam mengatakan tahu dengan sipemilik hotel. 
Saya pergi diantar Billy dengan sepeda motornya. Jarak dari hotel bintang menuju danau Kelimutu ada kurang lebih 45 menit. Jalannya pun sudah sangat bagus. Tiket masuk untuk dua orang dan kendaraan menghabiskan Rp. 8000,-


Danau Kelimutu


Setelah sampai di areal parkir Danau Kelimutu, kita harus berjalan lagi sekitar 1 km. Capek pun terbayar sudah ketika melihat dua buah danau berwarna yang berdekatan itu di pelupuk mata. Dua danau yang berdekatan itu, yang satu berwana hijau tua dan satu lagi berwarna hijau muda. Sementara danau yang satu lagi letaknya terpisah. Dia ada di puncak, warnanya hitam. 

Danau warna hitam
Dan ... it's me :)

Narsis di Danau Kelimutu
Menurut kepercayaan masyarakat di sana Danau kelimutu ini dipercaya sebagai tempat bagi roh jahat. Jadi, kalau ada manusia jahat yang meninggal, rohnya akan masuk ke danau ini. Makanya mereka memiliki istilah lain untuk ketiga danau itu. Nama danau yang airnya hitam dan letaknya terpisah itu dalam bahasa masyarakat setempat namanya adalah Danau Tiwu Atapolo. Lalu, kedua danau yang letaknya berdampingan memiliki nama masing-masing Danau Tiwu Atabupu dan Danau Tiwu Nuwa Muri Koofai. Saya lupa apa artinya. Intinya dua danau yang berdekatan itu untuk roh jahat dari muda-mudi, kalau yang terpisah satu atau yang berwarna hitam itu untuk roh orang tua.

Nama Danau versi masyarakat sana

Setelah puas mengambil foto, kita pulang dan sebelumnya menikmati telur rebus dan mie rebus di warung yang ada di pelataran parkir. Di warung ini juga para pedagang menawarkan kain tenun. Harganya variatif mulai dari Rp. 60.000,- sampai Rp. 200.000,- 


Balik ke hotel sudah maghrib. Kamar pun sudah penuh. Begitu pula di hotel lain yang ada di Moni sudah terisi penuh. Moni memang daerah yang kecil. Ini artinya saya tidak dapat kamar di hotel itu. Inginnya langsung pergi ke Maumere, tapi tidak ada lagi travel yang lewat. Tapi beruntung di sore itu ada Dino. Dia ternyata temannya Tobias dan Wiliam. Dino pada waktu itu sedang mengguide tamunya, dia katakan juga tidak kebagian kamar dan bersedia untuk mengantarkan saya ke Maumere. Akhirnya sore itu pergi ke Maumere dengan diantar Dino.


Ada kurang lebih 3 jam perjalanan dari Moni ke Maumere. Di Maumere saya menginap di hotel Gardena. Itu pun atas sarannya Dino. Per malamnya sekitar Rp. 150.000,-  

Selanjutnya dari pertemuan dan tukar pikiran antara saya dan Dino, diketahui beberapa hal. Salah satunya tentang profesi seorang guide. Hal ini saya tanyakan kepadanya karena  dari kartu namanya tertulis Licensed Guide & Driver. Menurut Dino, seorang guide yang resmi dia memiliki sebuah simbol yang dilambangkan dengan burung Cenderawasih.  Warnanya pun bermacam-macam, mulai dari warna hijau yang artinya dia hanya bisa mengguide di wilayah lokal saja, warna Gold atau emas artinya seorang guide dia bisa memandu sampai luar Pulau. Sedangkan warna merah untuk dapat mengguide ke luar negeri. Tapi biasanya warna merah ini dimiliki guide asing. Untuk mendapatkan lambang cenderawsih ini, harus melalui sebuah ujian, dan itu dilakukan melalui Dinas Pariwisata Pusat, Bali dan Daerah. 

Nah, kalau teman-teman mau jalan-jalan ke Flores, bisa kok menghubungi Dino di sini. Saya mendapat banyak informasi darinya. 

 

27 Desember, Ke Nua Bari, Pantai Koka, Kampung Sikka dan Kampung Wuring   

Nua Bari


v  
Hari Kamis, tanggal 27 Desember 2012, saya ikuti sarannya Dino untuk berkunjung ke Nua Bari. Kali ini ditemani Diego yang juga masih temannya Dino. Saya diantar naik Motor. Dari Maumere kembali ke Kabupaten Sikka. Hal ini karena Nua Bari letaknya di Kabupaten Sikka, Desa Lenandareta.  

Dari Maumere ke Nua Bari ada sekitar dua jam perjalanan. Seperti yang telah dijelaskan Dino sebelumnya bahwa jalan menuju Nua Bari jelek. Itu dapat saya rasakan sendiri ketika berkunjung ke sana. Jalannya berbatu, bolong dan naik turun. Hal ini membuat motor yang kami naiki beberapa kali tergelincir, tapi Diego masih dapat menguasai motornya. 

Seandainya pemerintah daerah mau memberikan perhatian lebih, terutama terhadap fasilitas jalannya, maka Nua Bari ini akan dapat dikunjungi oleh banyak wisatawan. 

Ketika saya dan Diego sampai di Nua Bari, kami disambut oleh Ibu Lusia dan Ibu Kristin serta beberapa orang anak. Sambil duduk di tangga Kuwukeda atau Rumah Adat, kita ngobrol santai dengan mereka. 

Kampung Nua Bari memiliki ciri khas tersendiri, yaitu setiap jasad yang mati akan dikuburkan didalam sebuah batu. Maka dari itu disebut kubur batu. Kubur batu ini bisa dilihat di setiap pekarangan rumah. Tidak jauh mereka membuat kubur batu ini.



Kubur Batu
Saya pun kemudian ngobrol dengan Warga setempat yang dari awal kedatangan kami memberikan sambutan yang hangat.

“Ibu, tahu tidak sudah sejak kapan penduduk di sini mengubur mayat dalam batu atau biasa disebut kubur batu?” 

“Saya tidak tahu sejak kapan, tapi sudah ada sejak lama”, jawab Ibu Kristin. 

Sayang memang Ibu Kristin tidak dapat memberikan jawabannya, karena dia sendiri bukan berasal dari Nua Bari. Suaminyalah yang asli dari Kampung Nua Bari. Menurut Ibu Kristin yang dapat memberikan penjelasan adalah Bapak Desa, tapi sedang tidak ada ditempat. 

Keterangan mengenai kubur batu ini baru saya dapatkan dari Dino Lopez, Guide yang sudah memiliki ijin resmi itu. Lewat BBM, Dino menjelaskan bahwa diperkirakan tradisi kubur batu ini sudah ada kurang lebih 300 tahun yang lalu. 

“Diperkirakan kubur batu itu sudah ada kurang lebih 300 tahun yang lalu tapi masih dalam penelitian”, jawab Dino. 

“Kemudian apa maksud warga Kampung Nua Bari menyimpan mayat di dalam Kubur batu?”, tanyaku lagi.

“Mayat di Kubur Batu itu menurut kepercayaan orang di sana artinya orang yang meninggal itu kembali ke perut ibunya untuk kehidupan baru atau lahir lagi setelah mati. Karena di dalam kubur batu itu posisi mayatnya duduk”, terang Dino.  

Berfoto bersama warga Kampung Nua Bari


Sampai saat ini warga di Kampung Nua Bari masih melakukan Kubur Batu. Batu tersebut mereka dapatkan dari lingkungan sekitar. Seperti dari Gunung atau Sungai. Biasanya menurut Ibu Kristin, untuk membawa batu besar itu, dilakukan dengan cara mengundang 2-3 kampung. Di Kampung Nua Bari sendiri memang terdapat tiga kampung. 

Apabila ada orang yang meninggal mendadak, dan belum ada kubur batunya, maka biasanya menurut Ibu Kristin, jasadnya akan dikubur dulu di dalam tanah. Kalau Kubur batunya sudah ada baru  tulangnya dipindahkan ke dalam Batu. Hal yang menjadi tantangan dalam Proses Kubur Batu adalah memahat batunya tersebut. Bisa memakan waktu lama. 

Warga Nua (Kampung) Bari (dari nama orang) beragama Katolik. Di kampung itu terdapat sebuah Kapela atau gereja kecil. Sekolah Dasar juga ada di Kampung itu. Pada umumnya warga Nua Bari bertani. Upacara adat yang biasa mereka lakukan adalah Lokamase dengan memanggil tokoh-tokoh adat dan juga Lokapoo. Upacara adat ini biasanya dilakukan ketika akan menanam Padi. Mereka akan bermusyawarah kapan waktunya menanam padi dan bagaimana persiapannya. 
Rumah Adat di Kampung Nua Bari






Oh ya, ada cerita yang mengharukan ketika berkunjung ke Nua Bari. Ini mengenai warisan peninggalan leluhur mereka berupa gading yang katanya dicuri orang dari Rumah Adat mereka. Ya Ampun, dasar orang tidak memiliki hati nurani. 

Pantai Koka 


Keluar dari Nua Bari, kami lanjutkan perjalanan menuju Pantai Koka.  Hal ini atas saran dari Dino juga. Katanya pantainya bagus. Pantai Koka tepatnya berada di Desa Wolowiro, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Keluar dari Jalan cabang ke Nua Bari, kita masuk kembali ke Jalan raya, kemudian belok kiri memasuki jalan kecil dengan kondisi jalannya yang buruk menuju ke Pantai Koka.  Jarak dari jalan raya masuk ke pantai 2,5 km. Hal itu terlihat di papan namanya. Ketika sampai di Pantai ini hanya ada turis lokal. Beberapa orang anak sedang asyik berenang di Pantai sebelah kanan. Karena pantainya terbagi dua. Terpisah oleh bukit kecil. Susananya tidak terlalu ramai. Di pinggir pantai ada perahu nelayan yang siap mencari ikan. Cukup bersih pantainya. Airnya biru dan dikelilingi oleh bukit. Sementara pantai disebelah kanannya terdapat batu karang. Diego pun menggambarkan pantai ini sebagai dream beachnya Indonesia dan di pantai ini katanya lagi banyak terdapat Ikan Pari.

Pantai Koka

Kampung Sikka 


Setelah menikmati pantai Koka, kami makan siang di rumah makan tepi pantai Paga. Kemudian lanjut ke Kampung Sikka. 

Sebelum cerita tentang Kampung Sikka, ada cerita sedikit, begini .... sewaktu mau meninggalkan Paga itu hujan gerimis, tiba-tiba saja Diego menawarkan untuk membungkus tas kamera dengan kantong plastik atau keresek, lalu talinya dikaitkan dibagian luar, wow, terharu sekali. Saya saja yang punya tasnya gak kepikiran sampai ke sana. Gak tahu idenya dia darimana, soalnya gak tanya.Terima kasih ya.

Kita lanjut kembali ceritanya.  Apa yang dapat kita nikmati di Kampung Sikka?
  
Gereja Tertua di Flores

Banyak yang dapat kita nikmati pastinya. Diantaranya kita bisa melihat gereja tertua di Pulau Flores yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1898. Di dalam gereja ini terdapat sebuah patung Sinyor. Patung ini berdasarkan keterangan dari Kepala Desa Kampung Sikka, Bapak Riwu, dibawa oleh Raja Sikka dari Malaka. Saat itu Raja pergi ke Malaka untuk mencari kehidupan kekal. Pencarian kehidupan kekal ini dikarenakan raja melihat banyak rakyatnya yang meninggal karena penyakit kolera. 

Setelah sampai di Malaka, Raja mendapat jawaban bahwa tidak ada kehidupan kekal di dunia ini. Raja pun disarankan harus masuk agama Katolik dan akhirnya dia dibaptis di Malaka. Raja Sikka ini bernama Don Alesu Ximenes Da Silva. Dia diangkat menjadi raja pada masa penjajahan Portugal.  

Di tepi pantai kita juga dapat melihat bekas kerajaan Sikka yang kemudian diketahui kerajaannya pindah ke Maumere.  Maumere merupakan Ibu Kota Kabupaten Sikka. Nama kabupaten Sikka sendiri diambil dari nama Kampung Sikka. 

Bekas Kerajaan Sikka

Penduduk di kampung Sikka mayoritas beragama Katolik dan jumlahnya 1300 orang, dengan jumlah kepala keluarga (KK) 365 orang. 

Kampung Sikka terkenal dengan kerajinan tenunnya. Selain menenun, penduduknya ada yang bekerja sebagai nelayan, petani, tukang dan PNS.
 
Ketika berkunjung ke Kampung Sikka ini ada hal yang membuat saya tersenyum, tahu tidak apa? 
Ya, waktu tahu ada tamu yang datang, warga Sikka langsung datang menghampiri kami, mereka membawa kain hasil tenunannya. 

Penduduk Yang Menawarkan Kain Tenun



Saya pun akhirnya beli dua buah kain. Setelah tawar menawar yang lumayan lama. Maklumlah, tidak pandai menawar. 


Oh ya, Kampung Sikka sangat kental dengan warisan Portugis. Selain agama, nama juga mendapat pengaruh Portugis. Hal ini dapat dilihat dari nama keluarga dibelakang, diantaranya: Da Silva, Da Lopez, Da Gomez, Parera, Pareira, Da Chunya, Hendriquez, Charwayu, Conterius, Fernandez. Tidak semua nama mendapat Pengaruh Portugis. Hanya orang-orang yang melakukan pernikahan campuran yang memiliki nama belakang pengaruh portugis. Kata Kepala Desa, yang saya jumpai itu, dikatakan bahwa Warga di sana bisa berbahasa Portugis. Bahkan kalau Upacara Missa mereka pakai bahasa latin. 

Satu lagi peninggalan Portugis yang dilestarikan oleh masyarakat Sikka adalah sebuah  tarian yang disebut "Bobu Dance". Bobu artinya Topi. Jadi, Bobu Dance artinya tari topeng. Sayang, kami datang telat satu  hari. Kata Pak Kepala Desa sehari sebelumnya ada dipertunjukkan Bobu Dance oleh anak-anak SD. Biasanya Bobu dance ini sering dipertunjukkan setiap hari Natal, atau tanggal 25 Desembe. Menarik sekali ya. 

Kampung Wuring

Kampung Wuring

Jelajah terakhir saya bersama Diego sebelum kembali ke penginapan adalah melihat Kampung Wuring. Sebuah kampung dimana warganya membangun rumah di atas laut. Keterangan lengkap mengenai Kampung ini saya dapatkan dari Dino. Berdasarkan keterangan Dino, Kampung Wuring ini dikenal juga dengan nama Sea Gypsy. Disebut demikian karena mereka hidup secara nomaden. 

“Mereka hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Kalau ditempat itu bagus untuk melaut mereka akan tinggal terus. Tapi kalau mereka sudah merasa kurang bagus untuk melaut, mereka akan pindah. Jadi rumahnya dibuat secara sederhana. Mereka lebih mementingkan barang, karena rumah sewaktu-waktu bisa ditinggal”, tutur Dino. 

Ada dua suku yang menempati Kampung Wuring, yaitu suku Bugis dan Bajo. Suku Bugis menurut Dino jago membuat kapal. Sementara suku Bajo, pintar buat rumah panggung. Jadi, harus nikah campuran antara Bugis dan Bajo. 

 
28 Desember, Kembali ke Jakara 

Tujuh hari menjelajah Flores Overland, dari Barat ke Timur, memberikan banyak cerita dan pengalaman bagi saya. Terutama keberanian bertemu orang-orang baru dengan budayanya yang berbeda sungguh hal luar biasa.  Semua yang saya jumpai merupakan bukti real bahwa Bangsa Indonesia itu Bangsa yang Berbhineka Tunggal Ika. Bahwa Bangsa Indonesia Indonesia itu sangat kaya  dan mencintai budayanya sendiri. Meski apapun pengaruh budaya luar yang masuk, Bangsa Indonesia tetap tidak kehilangan ciri khasnya. Tepat hari Jumat pagi, tanggal 28 saya kembali ke Jakarta lewat Bandar Udara Frans Seda, Maumere dengan Pesawat Wings Air. Nomor penerbangan JT 1821 dan duduk sendiri di seat  10F.

Informasi Tambahan:
v       Bagaimana Pergi Ke Flores?
Apabila kita ingin liburan ke Flores, kita dapat mengambil rute masuk dari Labuan Bajo dan keluar dari Ende atau Maumere. Ataupun sebaliknya, dari Jakarta kita transit di Bali lalu melanjutkan penerbangan bisa ke Maumere, Ende atau Kupang dan keluar nanti di Labuan Bajo. Rute tersebut bisa kita ambil apabila kita punya waktu liburan yang cukup panjang. Kita bisa menjelajah Flores dari barat  sampai ke Timur atau dari Timur ke Barat.

v       Berapa Biayanya?
A.    Biaya yang harus dikeluakan selain tiket adalah penginapan. Tarif beberapa hotel, diantaranya:
1.     Hotel Blessing, Labuan Bajo. Harga per malamnya bervariasi. Dari Rp. 150.000,- Rp. 400.000.
2.     Hotel Silverin di Bajawa, per malamnya dari Rp. 150.000 – Rp. 350.000,-
3.     Hotel Bintang di Moni, per malamnya dari Rp. 150.000 – Rp 350.000,-
4.     Hotel Gardena di Maumere per malamnya Rp. 150.000,-

B.    Tarif Kapal
Apabila kita ingin melihat Komodo di Pulau Komodo atau Rinca, kita harus bayar sewa kapal. Besarnya tarif tergantung dari rute yang akan kita tempuh. Untuk rute P. RInca – P. Bidadari Rp. 700.000,-

C.    Tarif Travel
Di Flores tidak ada taxi yang ada adalah travel, angkot dan ojek. Tarif travel antar Kabupaten berkisar antara Rp. 60.000,- Rp. 75.000, Apabila ingin sewa travel private perharinya dikenakan sekitar Rp. 500.000,- Ojek tergantung jarak jauh dan dekat.

D.    Tarif Masuk Lokasi Wisata
Tarif masuk lokasi wisata:
1.     Pulau Rinca Rp. 77.500,- termasuk Retribusi, Pengambilan gambar/kamera, jasa Guide dan tiket masuk.
2.     Pulau Bidadari Free
3.     Rumah Bekas Pengasingan Soekarno, sukarela
4.     Danau Kelimutu, tiket masuk Rp. 2500, roda dua Rp. 3000,-
5.     Kampung Tradisional, sukarela
6.     Batu Cermin, Rp. 20.000,-
7.     Kampung Wuring, free


v       Souvenir dan oleh-oleh khas
Souvenir atau oleh-oleh khas bisa kita dapatkan disetiap lokasi wisata. Misalnya di Kampung Sikka atau kampung tradisional kita dapat membeli kain tenun dengan harga variatif antara Rp. 60.000 – Rp. 250.000,-

v       Kuliner
Sangat susah mencari kuliner khas di Flores. Meskipun banyak lautnya, tetapi pengholahan ikan kurang. Apabila kita ingin makan ikan segar bisa kita dapatkan di rumah makan atau restauran.  Satu Porsi untuk dua orang makan Ikan Bakar Bisa mencapai Rp. 100.000,- Kata Dino, biasanya tamu akan disuguhi makanan khas apabila bertamu ke rumah seperti olahan dari ubi atau singkong.