Halooo ....
Sudah lama ya tidak update. Sebabnya memang tidak pernah traveling lagi. Okey, mengawali tahun baru 2014 ini saya ada sekelumit cerita sewaktu ikut acaranya KJB (Komunitas Jelajah Budaya) pada hari Minggu yang lalu, 19 Januari 2014.
|
Kepesertaan |
Agenda KJB pada kesempatan itu adalah Jelajah Pasar Baru. Meeting point di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Pas datang ke GKJ belum ada peserta yang datang begitupula dengan panitianya, pokoknya begitu bersemangatnya pergi dari kosan. Maklum sedang bosan dan lagi mencari-cari kegiatan yang bermanfaat terlebih saya juga belum kenal betul dengan daerah Pasar Baru. Meskipun kalau ke Gedung Kesenian Jakarta sudah sering untuk melihat pertunjukan.
Kunjungan pertama ke Gedung Kesenian Jakarta.
|
Gedung Kesenian Jakarta ketika Hujan |
Sejarah Gedung Kesenian Jakarta bermula dari idenya Gubernur
Sir Stamford Raffles yang menyadari bahwa tentara Inggris harus mempunyai tempat hiburan, maka pada tanggal 27 Oktober 1814 sebuah gedung pertunjukan diresmikan. Gedung beratap alang-alang berdiri di atas tanah kosong di daerah Pasar Baru tidak jauh dari Pusat Pemerintahan Kota Batavia pada saat itu. Gedung ini diberi nama Gedung Teater Militer The Waltevreden akan tetapi orang Belanda memberi nama bambu teater. Teater Bambu inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya GKJ (Gedung Kesenian Jakarta).
Bambu teater kemudian berada dibawah pemerintah Kolonial Belanda. Gedung tersebut tidak dihancurkan melainkan diubah menjadi Gedung Kesenian yang ideal dan permanen dengan gaya Yunani baru yang merupakan Evolusi dari Budaya Rococo yang populer pada masa itu. Gedung ini diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821 dikenal dengan nama Gedung Kesenian Pasar Baru, Gedung Komedi, Schouwburg (Gedung Kesenian dalam bahasa Belanda).
Di masa pendudukan Jepang, Gedung ini digunakan sebagai markas Militer yang mengakibatkan banyak ornamen hiasan dan perlengkapan gedung yang rusak atau pun hilang, akan tetapi setelah dibentuknya Badan Urusan Kebudayaan Kemin Bunka Shidosho oleh pemerintahan pendudukan Jepang di bulan April, bangunan ini digunakan kembali sebagai tempat pertunjukan dengan nama Siritsu Gekizyoo. Menjelang Kemerdekaan Indonesia, Gedung Kesenian dijadikan lokasi oleh para seniman progresif untuk mempersiapkan Kemerdekaan.
Setelah Momentum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Gedung Kesenian berubah fungsi dan nama sampai pada akhirnya mengalami periode terlantar yang cukup lama. Pada situasi ini ditambah dengan banyaknya keluhan dari para seniman mengenai kebutuhan tempat pertunjukan yang lebih memenuhi syarat selain Taman Ismail Marzuki yang sudah ada, maka Gubernur DKI Jakarta, R. Suprapto merenovasi gedung dan mengembalikan ke fungsinya yang sesungguhnya. Arsitektur Gedung Kesenian tidak mengalami perubahan, hanya interior yang mengalami renovasi total yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
|
Eksterior Gedung Kesenian Jakarta |
Mengunjungi semua tempat yang berada di Pasar Baru tentunya memiliki kesan-kesan tersendiri ya. Tapi yang sangat berkesan adalah sewaktu ke Gedung Filateli. Ceritanya saya khan mulai merintis hobby filateli, jadi ya berkunjung ke sana merupakan point plus.
|
KJB |
Coba perhatikan gedung Filateli pada gambar di atas. Apa yang terlintas di benak teman-teman? Ketua rombongan KJB, Mas Kartum, memberitahu kami bahwa Gedung Filateli ini bangunannya sama dengan Stasiun Jakarta Kota. Jaman dulu dikenal dengan PTT (Pos Telegraf dan Telepon) dibangun pada tahun 1913 dan memiliki Gaya Art Deco. Apa itu Art Deco? teman-teman bisa mendapatkan informasinya dengan googling. Tapi intinya gaya art deco itu muncul ketika zaman perang Dunia 1 (satu).
Gedung Filateli ini menghadap ke Pasar Baru dan Kali Ciliwung. Lalu apa yang berada di dalam gedung Filateli?
Jawabannya adalah di dalam gedung disimpan koleksi seperti sepeda onthel lama, koleksi seri perangko baru, bekas dan perangko lama yang belum dipakai ada juga postcard dan sebagainya. Kita juga bisa beli perangko di sini. Mereka buka dari hari Senin sampai Sabtu. Tapi hari Minggu kemarin itu, spesial untuk rombongan KJB.
|
Mejeng dulu di Bis Surat lama |
Tak melewatkan begitu saja ketika masuk ke Gedung Filateli. Saya pun hunting perangko.
|
Perangko Seri Pahlawan Nasional |
Perangko Seri Pahlawan Nasional ini saya dapatkan setelah membuka-buka Album Perangko yang diberikan Bapak yang juga bekerja di Gedung Filateli itu. Dijual seharga Rp. 40.000,- itu pun setelah dipotong diskon. Perangko lama tapi belum dipakai.
Saya juga Perangko Bung Karno.
|
Bung Karno dalam Lembar Perangko |
Untuk Perangko Bung Karno, dijual Rp. 9.000,- Ada Perangko Pak Harto yang sangat ingin dibeli tapi harganya mahal dan karena tidak bawa uang, tidak jadi belinya. Perangko Pak Harto dijual Rp. 120.000,- Ini berarti sosok Pak Harto masih Favorit.
|
Perangko Pak Harto masih Favorit |
Berharap semoga jika ada kesempatan ke Gedung Filateli lagi Perangko Pak Harto masih ada ya.
Next,
Dari Gedung Filateli kita menyeberang melewati Kali Ciliwung ke Galeri Antara. Gedung ini dulu merupakan kantor ANETA (Algemen Niews en Telegraaf Agentschap) bergerak dalam bidang pemberitaan, periklanan dan penerbitan majalah. Pada masa pendudukan Jepang, Kantor Berita Aneta diambil alih dan diganti namanya menjadi Kantor Berita Jepang Yashima. Dalam perkembangan sejarah Bangsa Indonesia gedung Antara mempunyai peranan yang penting dalam menginformasikan dan menyebarluaskan berita proklamasi.
Setelah Proklamasi dibacakan oleh Soekarno, kemudian Adam Malik bersama Pangulu Lubis menyiarkan teks Proklamasi melalui radio Antara tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Hondokan (lembaga sensor Jepang). Itulah sejarah gedung Aneta yang sekarang dipakai menjadi Galeri Antara.
|
Gedung Antara |
Sayang sekali tidak punya lensa wide, jadi tidak semua bagian dari gedung ini dapat dicapture lensa dan sayang itu kabel-kabel yang melintang mengurangi keindahan foto. Hehehehe... semoga nanti kita dapat melakukan teknik kabel yang ditanam ya agar tertib.
Mari kita tengok apa yang berada di dalam Gedung Antara ini.
Ya di dalam galeri ini dipajang foto-foto Zaman Kemerdekaan.
|
Bung Karno dalam bingkai Foto |
Melangkah ke lantai dua, kita dapat melihat koleksi Mesin Tik, Mesin Percetakan, Radio dan Sepeda Onthel.
|
Proklamasi Kemerdekaan Tersiar sampai Semarang |
Mesin Cetak
|
Mesin Cetak |
Mesin Tik
|
Tik tok tik tok |
Sepeda Onthel
|
Terkesima dengan Sepeda Onthel |
Foto Bersama
|
Rombongan KJB di Galeri Antara |
Kunjungan yang terakhir yaitu ke Pasar Barunya dan mengunjungi Kelenteng Sin Tek Bio.
Kalau di Pasar Baru ada bangunan lama dari masa kolonial seperti Toko Kompak, Gedung Nyonya Meneer, Toko Shin Lee Seng dan Gang Kelinci.
|
Toko Kompak |
Rombongan KJB waktu itu diperbolehkan masuk ke dalam Toko Kompak tapi tidak boleh memotret. Ternyata gedungnya luas ke belakang dan berlantai dua tapi sayangnya sudah rusak perlu direnovasi. Sang Pemilik rupanya memilih membiarkan bangunan lama terbengkalai. Konon katanya bangunan ini sudah ada sejak Zaman kolonial. Dulu banyak pejabat Belanda yang suka belanja ke sini dan katanya kalau lagi perayaan Imlek di lantai dua ini digunakan untuk melihat pertunjukan barongsai atau perayaan imlek. Orang-orang biasanya memberikan angpau dari lantai dua ini, sehingga barongsai harus meloncat setinggi-tingginya agar mendapatkan angpau.
Di depan Toko Kompak ini dipakai untuk berjualan. Tapi Toko Kompaknya sendiri saat ini tinggal nama tidak dipakai sebagai toko sebagaimana fungsi awalnya. Tapi memang pintunya dibuka. Jadi kita bisa masuk, itu pun kalau sudah mendapatkan ijin terlebih dahulu.
Sedikit informasi tentang sejarah Passer Baroe. Katanya pada masa lalu pasar ini dikenal sebagai pusat ekonomi yang banyak menjual barang-barang bermerk. Lantas kenapa namanya Passer Baroe? Awalnya Pasar baru didirikan oleh Daendels tahun 1821 untuk membedakan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang lebih dulu berdiri.
Gedung Nyonya Meneer
|
Pabrik Djamu Nyonya Meneer |
Gedung atau Pabrik Jamu Nyonya Meneer yang berada di Pasar Baru ini katanya sudah ada sejak Zaman penjajahan Belanda. Sayang pabrik jamu Nyonya Meneernya sendiri tutup, tapi katanya biasanya buka. Kalau kita lebih mendekat lagi di besi pintunya ada tulisan "Perusahaan Djamu". Nah sewaktu berkunjung ke sini di depan perusahaan djamu ini seperti terlihat pada gambar di atas dipakai lapak berjualan pedagang.
|
Tertera "PERUSAHAAN DJAMU" |
Seperti itulah cerita dari Jelajah bareng KJB.
Sayang waktu itu lagi hujan jadi ya tidak dapat langit yang biru.
Ok, nantikan cerita berikutnya ya .... tks