Search This Blog

Friday, November 8, 2013

Sampai ke Perbatasan Indonesia - PNG

Tak dinyana ternyata saya kembali lagi ke Jayapura untuk kedua kalinya. Kepergian kedua kali ini dalam rangka Kunjungan Kerja (Kunker) bersama Komisi V DPR RI. Jadi, otomatis semua akomodasi ditanggung sama kantor. 

Kunker kali ini sebenarnya melengkapi cerita travellingku ke Papua, khususnya Jayapura. Bulan Agustus lalu tidak sempat ke Perbatasan Indonesia - Papua Nugini. Salah satu alasannya karena khawatir terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Maklumlah karena waktu itu berdekatan dengan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Namun, sewaktu kunker kemarin, akhirnya bisa tembus juga ke perbatasan dan sebenarnya kunker ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahunku, 28-31 Oktober 2013.

Kunjungan yang sangat berkesan tentunya adalah bisa meninjau Perbatasan Indonesia - Papua Nugini di Skow. Ternyata kata boss perbatasan Indonesia - Papua Nugini juga ada di Merauke. Nah kalau yang di Merauke kita bisa melihat Taman Nasional Wasur. Di sana terdapat banyak rumah rayap yang tinggi-tinggi dan juga Kangguru. Okey, next time ya, kalau berkesampatan ke Merauke, semoga tidak melewatkannya.

Sekarang saya akan menceritakan apa yang ada di Perbatasan Indonesia - Papua Nugini. Oh ya, kalau dari Jayapura ke Perbatasan bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu jaman. Di sepanjang jalan memang sepi. Tapi waktu itu lagi ada event. Ada Menpora. Bahkan rombongan kita berpapasan dengan mobilnya ketika akan menuju Perbatasan. Selain itu, menjelang perbatasan kita dapati pos TNI. Terpikirkan jadinya, bagaimana ya para prajurit ini mencari hiburan. Sementara disekelilingnya tidak ada hiburan yang ada hutan atau kebun, rawa dan pantai.

Dan seperti inilah perbatasan Indonesia - Papua Nugini.

Di Perbatasan Indonesia - Papua Nugini bersama Para Mitra Kerja
Nah itu dia, tugu bertuliskan Welcome To Papua New Guinea menjadi primadona. Baik anggota dewan atau kita sebagai para mitra kerja antri foto dengan latar belakang tugu itu.
Saya juga tidak ketinggalan minta difoto dengan Orang Papua Nugininya sendiri. Mereka ada yang mengerti bahasa Inggris ada juga yang tidak. Seperti inilah kalau berfoto dengan Orang PNGnya sendiri.

Berfoto bersama Orang PNG

Ketika kita masuk ke batas pagar perbatasan ada sebuah Billloard seperti ini.

Saya tidak mengerti apa artinya
Tidak mengerti apa arti dari kata-kata yang tercetak di dalam Billboard tersebut tapi sepertinya mengingatkan tentang AIDS atau pemakaian Kondom.

Di dalam Perbatasan, kita juga bisa melihat adanya laut dan juga warung kecil yang menjual beberapa macam souvenir seperti kain.

Souvenir
Untuk Souvenir ini saya beli satu kain yang bertuliskan Papua New Guinea dan ada gambar petanya. Harga satu lembar kain ini dijual Rp. 150.000,- Saya tawar tapi sang penjual tidak mau melepaskannya dibawah harga yang sudah dipatok.

Tak lupa juga untuk berfoto dengan anak PNG.
Bersama anak PNG
Sebenarnya Rombongan berkunjung ke perbatasan itu hendak meninjau Mercusuar. Seperti inilah Mercusuar yang ada di perbatasan Indonesia - PNG.
Mercusuar Perbatasan Indonesia - PNG
Mercusuar ini kalau saya baca dari informasi di spanduk berfungsi membagi batas wilayah Negara RI - Papua Nugini. Konstruksinya beton bertulang.

Seperti itulah sedikit gambaran tentang Kunjungan ke Perbatasan Indonesia - PNG. Sayang sewaktu berkunjung ke sana langitnya tidak cerah.





Tuesday, October 8, 2013

Terpesona Festival Lembah Budaya Baliem 2013

Liburan di dalam negeri tidak kalah menarik dan luar biasanya dengan menghabiskan jalan-jalan di luar negeri. Malahan dengan menjelajah alam dan budaya bangsa akan memperkaya pengalaman dan makin menambah kecintaan kita terhadap tanah air terlebih apabila kita bisa melihat langsung di lapangan. 

Pengalaman baru dan tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya adalah baru-baru ini atau tepatnya bulan Agustus melihat langsung Festival Budaya Lembah Baliem 2013. Festivalnya sendiri berlangsung di Kabupaten Wamena, Jayapura.Untuk rincinya berikut adalah cerita perjalanan saya.



10 Agustus 2013, Keberangkatan ke Jayapura


Sebenarnya pelaksanaan Festival Lembah Baliem ini bertepatan dengan hari raya idul fitri. Tapi meskipun begitu, tetap saya niatkan untuk pergi. Hal ini tentu juga didasarkan pada pertimbangan mengenai kondisi keuangan, fisik maupun lainnya yang saat itu memang mendukung untuk pergi. Pikir saya waktu itu, harus bisa berangkat melihat festival lembah baliem, karena tahun depan saya tidak tahu akan berada dimana dan melakukan apa. 

Setelah selesai koordinasi dengan Mbak Evi (Evi Aryati Arbay) sebagai penyelenggara tour ini akhirnya diputuskanlah jadwal keberangkatan dari Jakarta menuju Jayapura dengan menggunakan Garuda pada hari Sabtu, tanggal 10 Agustus jam 4:50 WIB.

Tapi sayang tour kali ini hanya diikuti 3 orang peserta. Menurut keterangan  mbak Evi sih, sebenarnya banyak peminatnya mencapai kurang lebih sepuluh orang, tapi mendekati bulan Agustus banyak yang membatalkan. Adapun alasannya karena itu tadi, bertepatan dengan hari raya idul fitri.Bagi saya gak masalah, karena toh masih sempat merayakan idul fitri bersama dengan keluarga meskipun pada hari raya kedua, Jumat, 9 Agustus, langsung balik lagi ke Jakarta karena subuhnya harus terbang ke Jayapura.

Nah, pertemuanku dengan mbak Evi terjadi di Bandara Soekarno Hatta tentunya sebelum take off ke Jayapura. Selain mbak Evi, bertemu juga dengan peserta lain yaitu Niky Tanjung Ori. Ya, kita dari Jakarta bertiga. Sementara seorang peserta berangkat dari Lombok dan baru bertemu pada hari Minggu di Jayapura. Okey, saya perkenalkan peserta terakhir ini namanya Herman Morrison.


Penerbangan Jakarta - Jayapura menempuh waktu sekitar 6 jam dengan satu kali transit di Makassar. Sampai di Bandara Sentani, Jayapura jam 13:35 WIB. Waktu di Jayapura 2 jam lebih cepat daripada Jakarta. Di Bandara Sentani sudah standby Pak Yasmin.

Pak Yasmin tugasnya sebagai driver yang menemani kita berkeliling selama di Jayapura. Tempat yang kita tuju sehabis pendaratan adalah tempat penginapan. Mbak Evi membawa kami ke Hotel Grand Tahara. Di sinilah kita menginap satu malam untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Wamena.


Sesampainya di hotel kita menaruh barang bawaan  dan istirahat sebentar. Lalu, keluar menikmati indahnya Danau Sentani, bukit Doyo Lama,  melihat Kota Jayapura dari tower TVRI dan makan malam. 


Danau Sentani dari Bukit Doyo Lama



Kota Jayapura dari TVRI Tower

Nah, ketika sedang asyik-asyiknya menikmati kota Jayapura dari TVRI Tower, kita dipalak seorang gadis belia. Rupa-rupanya ia meminta sumbangan untuk kebersihan. Gadis itu meminta Rp. 20.000 tapi mbak Evi melakukan negosiasi jadinya tidak diberi sebesar yang diminta. Pak Yasmin, Supir kita ikut memberinya uang sebesar Rp. 5000,- Saya tanyakan Pak Yasmin, kemanakan uang itu nantinya. Tapi tidak jelas juga jawaban dari Pak Yasmin. Kejadian juga apa yang sudah diwanti-wanti di awal. Bahwa kita jangan sembarang memotret karena nanti dimintai bayaran.



11 Agustus 2013, Keberangkatan ke Wamena

Hari kedua di Jayapura, agenda kita pertama adalah menunggu kedatangan seorang peserta dari Lombok yang sudah saya sebut tadi, Morrison, lalu siangnya kita terbang ke Wamena.

Penerbangan dari Bandara Sentani ke Wamena pakai Trigana Air. Tiket sudah diurus sama Mbak Evi. Seharusnya kita terbang pagi menjelang siang, tapi karena check in-nya didahului sama yang lain, maka jadwal terbang kita mundur.


Sedikit pening sewaktu terbang ke Wamena. Mungkin karena kondisi pesawatnya kecil kemudian kabin pesawat pun gak cukup buat menyimpan ransel alhasil itu barang bawan ada yang disimpan dibawah kursi dan dipangkuan. Ya, sesak deh.. Beruntungnya penerbangan ke Wamena tidak lama. Hanya membutuhkan sekitar 45 menit.


Sampai di Wamena kita langsung menuju hotel yang sudah direservasi. Hotel tempat kita menginap namanya hotel Putri Dani. Rombongan kita mendapatkan kamar di lantai 2. Jadi kita bisa melihat pemandangan ke jalan. Fasilitas yang disediakan hotel  ada air panas dan juga TV LCD. Setiap pagi kita mendapatkan sarapan roti dan telur mata sapi. Kesan terhadap Hotel ini bersih ya, dan kadang kala tidak 24 jam ada penjaganya. Tapi pagi-pagi sarapan sudah siap. Katanya Yudi, yang merupakan salah satu guide kita di Wamena juga temannya Mbak Evi, tidak sembarang orang yang dapat menginap di hotel itu. Maksudnya yang saya tangkap adalah barangkali harus lewat kenalan reservasinya.

Setelah menyimpan barang bawaan di kamar, kita jalan menuju sebuah Kampung, namanya Kampung Kurulu yang termasuk dalam distrik Obya.


Dari hotel ke Kampung Kurulu ada kurang lebih 30 menit. Sesampainya di sana, tepatnya dari luar kampung kita sudah disambut beberapa orang anak laki-laki yang tidak memakai sehelai kain pun. Mereka terlihat malu-malu tapi mau ketika kita mencoba ambil fotonya.  

Bocah dari Kampung Kurulu

Setelah masuk ke dalam kampungnya kita tidak bisa bertemu langsung dengan warga karena ternyata mereka ada tamu. Jadi rombongan saya menunggu dulu. Kebetulan selain rombongan saya ada juga rombongan dari China berjumlah tiga orang dengan seorang guide lokal.
 
Kita waktu itu diterima Yerry dan Deddy. Mereka adalah warga kampung Kurulu yang juga kenalan Mbak Evi. Selagi menunggu itu saya perhatikan ada sebuah Honai yang dibuat untuk disewakan. Seperti Hotel maksudnya. Waktu itu, ada sepasang Bule yang menginap di sana. Kita tidak berinteraksi dengan Bule itu, namun kita saling memperhatikan. Dengan kehadiran bule di kampung ini membuktikan bahwa wisatawan mancanegara sangat disambut baik. Tak lama kemudian, sepasang bule yang tadinya duduk-duduk di pintu Honai meninggalkan tempatnya dan menuju toilet untuk mandi.

Ya, sebuah kemajuan bahwa di Kampung Kurulu sudah dibuatkan sebuah toliet untuk mandi dan ada closet jongkok juga. Tapi Memang warganya masih menggunakan baju tradisional seperti koteka dan kelengkapan lainnya.Meskipun ada beberapa orang yang sudah pakai kain baju layaknya kebanyakan orang, tapi itu pun terlihat kumal.

Selain memperhatikan sepasang bule dan honai, kita juga asyik memotret Deddy yang sudah berganti kostum lengkap dengan kotekanya dan juga memperhatikan Burung Korowai hasil tangkapan di hutan yang diletakan di dalam sebuah kandang disebelah honai tempat menginap Bule itu. Begitu pula dengan wisatawan dari China itu mereka pun ikut asyik memotret.


Oh ya sebagai tambahan informasi ternyata warga Kampung Kurulu yang termasuk suku Dani itu, antara perempuan dan laki-lakinya tinggal di Honai yang berbeda. Laki-laki tinggal bersama laki-laki begitu pun dengan perempuannya. Apabila antara suami dan istri akan berhubungan intim mereka pergi ke hutan. Seperti itulah penjelasan yang saya dapatkan dari Mbak Evi.

Setelah tamu pergi, rombongan kita bisa masuk ke pekarangan utama. Di sini kita disambut warga Kurulu lengkap dengan pakaian tradisionalnya. Mbak Evi terlihat sudah sangat akrab dengan mereka. Waktu itu, kita tidak menyetting warga Kurulu untuk memberikan sambutan kedatangan tapi memang mereka melakukannya untuk kita. Saya sangat terharu. Mereka menari dan ada juga yang mendemokan membuat api dengan media sejenis ilalang kering untuk medianya lalu untuk sumber apinya mereka menggesekan dua buah batu. Maka keluarlah percikan api.



 
Membuat Api

Setelah memberikan sambutan kedatangan, warga Kampung Kurulu kemudian mengeluarkan hasil kerajinan tangannya, mendisplaynya untuk dijual. Alhasil kita jadinya tawar menawar dengan mereka. Ada yang menjual noken (Tempat/tas yang terbuat dari akar kayu untuk membawa barang biasanya dipakaikan dikepala dan posisi kantungnya ada di belakang punggung), koteka (untuk melindungi alat kelamin laki-laki terbuat dari buah labu yang telah dibersihkan isinya dan dikeringkan), tulang babi yang sudah dirajut sedemikan rupa dan juga kerajinan lainnya.

12 Agustus 2013, Festival Lembah Baliem

Hari Kedua di Wamena, merupakan event yang ditunggu-tunggu. Pagi jam 8 kita sudah berangkat dari penginapan  menuju arena acara Festival Baliem. Lokasinya sendiri berada di Wosilimo, di sebuah tanah lapang yang cukup luas. Rombongan saya bisa dikatakan rombongan yang datang pertama, Wosilimo masih sepi. Tapi justru itu yang dikejar. Kita ingin memotret persiapan peserta.


Di belakang panggung, kita lihat seorang pace yang sudah siap dengan pakaian tradisional khas suku Dani. Sosoknya sudah sepuh dan kita pun meminta ijin untuk memotretnya. Sang Pace diminta untuk berpose sesuai dengan keinginan kita. Maka salah seorang teman saya pun mengarahkannya bagaimana dan dimana dia harus berpose.




Aku dengan Sang Pace dan Birunya langit Wamena


Tidak lama kemudian, lapangan Wosilimo pun menjadi ramai. Para penonton dan fotografer profesional dan traveler murni berdatangan secara bertahap. Tapi acara belum juga dimulai. Saya bosan menunggunya. Ya, kapan acaranya akan dibuka pikir saya sementara hari mulai terik. Ternyata eh ternyata panitia menunggu pejabat daerah dulu.

Sayang sekali memang acaranya tidak dihadiri dan dibuka oleh Gubernur melainkan dibuka oleh Pangdam XVII Cendrawasih, Mayjen TNI, Christian Zebua. Pembukaannya ditandai dengan memanah Seekor babi.

Oh ya, selain itu, pada rangkaian acara pembukaan dinyanyikan pula lagu kebangsaan Indonesia Raya. Terharu jadinya. Dimana pun suku bangsanya, lagu kebangsaan tetap satu, Indonesia Raya dikumandangkan. Saya pun merekamnya.

Setelah  rangkaian acara pembukaan selesai, kita melihat beberapa pertunjukkan yang disajikan oleh Suku Dani dari beberapa distrik. Kalau berdasarkan brosur dari panitia, acara festival Baliem 2013 ini diikuti oleh sebanyak 40 distrik.Tapi sayang tahun ini Suku Lani dan Yali gak ikut.


“Tahun ini sepi daripada tahun kemarin”, ujar Mbak Evi.

Saya pun melihatnya seperti itu.Terlihat dari pembukaan yang mundur begitu pula dengan peserta dan penonton atau wisatawan. Tapi bukan berarti tidak ada wisatawan mancanegara sama sekali. Bahkan wisatawan asing ikut berpartisipasi dalam perlombaan memanah dan lomba lempar tombak. Akh, meskipun dikatakan sepi dari tahun kemarin yang penting acaranya lancar dan bisa mengabadikan moment.

Okey, Pertunjukan pertama yang disuguhkan adalah perang-perangan. Lucu sekali kalau mendengarkan alur cerita tentang perang-perangan ini. Diantaranya ada yang bercerita tentang “Hubungan Gelap Sang Istri”, “Pencurian Buah Pandan Hutan”, “Pencurian Babi” dan lainnya.

Perang-Perangan yang dilakukan Suku Dani

Nah, ketika satu distrik beraksi, maka distrik yang lainnya menunggu giliran di pinggir lapangan. Hal ini biasanya digunakan oleh para fotografer atau pengunjung untuk mengambil foto sepuasnya. Saya pun demikian. Ketika selesai mengambil foto, ada saja peserta yang meminta imbalan. Mereka biasanya mengulurkan tangannya sebagai tanda meminta sesuatu. Untungnya kita sudah dibekali informasi oleh Mbak Evi. Permen dan rokok adalah senjata kita. Kalau mereka meminta imbalan karena kita potret maka kita berikan saja permen atau rokok, mereka pasti mau menerimanya.


Tapi, sepanjang yang saya perhatikan, hal ini tidak berlaku sama untuk pengunjung lainnya. Seorang pengunjung perempuan mengatakan kepada saya harus keras “Kita harus keras kepada mereka jadi mereka takut”, ujarnya. Saya perhatikan apa yang dilakukan olehnya ternyata sangat mempan. Dia tidak memberi permen, rokok maupun uang karena katanya kita sebagai pengunjung sudah membayar untuk Festival Lembah Baliem tersebut kepada panitinya. Jadi tidak perlu menambahkan yang lain-lain.

Kalau menurut saya ada benarnya juga. Tapi, memberi atau tidak, itu terserah kebijakan kita. Namun, ada yang saya sayangkan, kenapa ya rokok yang harus diminta oleh para peserta. 

Dan selama peperangan itu, dipertunjukan pula tari-tarian dari masing-masing distrik, lalu ada juga yang mengikuti lomba karapan babi. Ini artinya setiap anggota dari masing-masing distrik mengambil peran yang berbeda.


Sementara untuk Lomba karapan babi, hanya diikuti oleh perempuan saja. Seru sekali menyaksikan bagaimana para peserta menyeru babinya agar gesit berlari. Ada babi yang terus berlari dengan kencang ada juga babi yang tiba-tiba saja berhenti ditengah jalan. Hal ini tentu merepotkan sang majikan. Tapi lucu. 

 
Karapan Babi


Selesai menonton lomba karapan babi, Yudhi mengingatkan saya untuk melihat proses bakar batu dibelakang stage. Saya pun mengikuti sarannya. Ketika sampai di tempat bakar batu, sudah banyak para fotografer yang sedang mengabadikan moment tersebut.
 
Saya lihat ada dua bagian dalam proses bakar batu itu. Pertama membakar batu, kedua proses memasaknya. Nah, sejauh yang saya perhatikan, proses bakar batu itu seperti ini, batu yang sudah dibakar dimasukan ke dalam tanah yang sudah digali lalu ditutup pakai rumput basah dan sayuran (daun ubi, kangkung, jenis paku-pakuan yang dapat dimakan dsb), selanjutnya ubi dimasukan dan ditutup lagi pakai sayuran dan daun pisang, ditutup lagi pakai batu yang sudah dibakar, lalu sayuran dan daun pisang dimasukan, setelah itu babi yang sudah dipotong dimasukan di atasnya dan ditutup lagi dengan sayuran dan daun pisang kemudian tahap akhir ditutup lagi dengan batu yang sudah dibakar dan kemudian ditutup pakai rumput kering dan diikat. Ya, prosesnya memang diulang-ulang dan dilakukan secara gotong royong.

Bakar Batu



Berapa lama mereka harus menunggu sampai ubi dan babi matang? Berdasarkan keterangan dari Mbak Evi, waktunya sulit untuk ditentukan. “Sulit untuk menentukan berapa lamanya karena ini tergantung dari banyaknya babi dan ubi yang dibakar”, ujarnya. Tapi biasanya lebih dari dua jam. Bakar batu ini dilakukan dalam rangka pernikahan, kematian atau sekedar syukuran.


Tidak berapa lama menyaksikan bakar batu ini acara Festival Lembah Baliem pun selesai. Semua distrik pada hari itu telah mempertunjukan atraksinya. Kita pun pulang tapi tidak langsung menuju hotel melainkan mampir dulu di sebuah kampung namanya Kampung Jiwika. Di sini kita melihat mummy yang sudah berusia 200 tahun lebih. Mbak Evi sebenarnya agak malas membawa kita lihat Mummy tapi karena kita belum pernah sama sekali melihatnya dan sudah datang jauh-jauh mau tidak mau akhirnya dia mengantar kita.


Benar saja apa yang menjadi keengganan Mbak Evi dapat saya pahami. Untuk melihat mummy ini kita harus membayar sebesar Rp. 120.000 hanya untuk biaya mengeluarkan Mummy, kemudian untuk foto bersama Mummy per orang bayar Rp. 40.000 dan bayar yang bawa mummy keluar Rp. 50.000. Kita mencoba menawarnya tapi tetap tidak berhasil. Sangat disayangkan sekali mereka jadi sangat komersil. Belum lagi calo yang ada dibelakangnya.


  
Teamnya Mbak Evi

Setelah dari Mummy Jiwika kita kembali ke Kampung Kurulu. Niatnya menunggu hari sampai gelap. Karena ada teman  yang ingin memotret Bimasakti. Sambil menunggu kita makan  mie rebus dulu yang sudah dibeli tadi di jalan. Deddy yang membantu kita memasak air. Ya, karena kedekatan antara Mbak Evi dengan Deddy dan yang lainnya kita bisa keluar  masuk kampung dengan leluasa. Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sana karena baru-baru ini terjadi perang antar kampung. Yerry kakaknya Deddy mengingatkan kita agar tidak lama-lama berada di kampung. Maksudnya jangan sampai larut malam. Tapi, kita juga diundang untuk menginap di Honai. Hanya saja saya waktu itu belum bisa mengiyakan. Saya takut kegelapan masalahnya. Namun apa yang saya takutkan tidak seperti itu. Ada satu honai yang dibuat khusus untuk penginapan tamu ternyata sudah ada listriknya dan untuk tempat tidurnya dan ada kasur di bagain atas.


13 Agustus 2013, Masih Menikmati Festival Lembah Baliem



Hari Ketiga di Wamena agendanya masih tetap sama. Kita Kembali ke Lapangan Wosilimo dan mengabadikan moment sebanyak mungkin.Tapi hari ini ada yang berbeda, kita diberitahu oleh Yerry ada yang meninggal di kampung. Mbak Evi berencana untuk melayatnya. Kita pun sepakat membeli beras untuk diberikan kepada keluarga yang berduka cita. Nah, sepulang dari Wosilimo kita langsung menuju Kampung dan sebelum benar-benar ke kampung orang yang meninggal kita menunggu dulu dijemput. Karena Deddy harus memberitahu kedatangan kita kepada tuan rumah. Mbak Evi pun sudah mewanti-wanti kita selama di kampung untuk tidak mengambil foto. Cukup tunjukan bela sungkawa saja, katanya.

Namun apa yang terjadi? Ternyata ketika Deddy kembali dengan seorang tokoh kampung, dia menceritakan bahwa Bapak yang dikabarkan sudah meninggal tidak jadi menninggalnya. Bagi saya ini seperti lelucon. Tapiternyata di sini katanya, kalau ada anaknya yang masih ditunggu atau menjadi pemberat dia meninggalkan dunia, maka orang tersebut tidak akan meninggal dulu. Dia akan menunggu anaknya pulang. Nah, setelah itu daripada kita langsung pulang ke penginapan akhirnya kita kembali lagi ke Kampungnya Deddy. Di sana kita ngobrol sambil makan mie rebus lagi. Hari itu terakhir kali kita berkunjung ke Kampung.Teman saya pun Morrison punya permintaan terakhir kepada Deddy, dia dimintanya berpakain tradisional lengkap dan memintanya agar bersedia difoto tentu dengan memberi imbalan yang pas. Itulah moment terakhir kita berada di Kampung.

Oh ya sebelum kelupaan, ada satu hal yang menarik ketika berada di Wamena. Saya bersama teman-teman yang lain latah menyapa warga kampung dengan “Wah Wa wa wa” ... Istilah itu artinya semacam Hallo atau selamat datang. Malahan Niky bilang diantara kami, Morrisonlah yang tepat intonasi pengucapannya. 



14 Agustus 2013, Mendaki Sogokmo

Hari ke empat kita tidak kembali ke arena festival Baliem, melainkan punya agenda lain, yaitu mendaki Sogokmo. Jam 8 pagi berangkat dari penginapan. Sebelumnya kita isi bensin dulu. Betapa tercengangnya saya, waktu melihat harga bensin di Wamena. Satu liternya mencapai Rp. 19.000,- Katanya harga antara siang dan malam itu berbeda. Pada waktu malam hari bisa mencapai Rp. 35.000,- Kalau lagi bisa mencapai Rp. 50.000, kata Yudi.
 
Hal itu tidak mengherankan, teman kami Yudi bahkan bilang pasar-pasar tradisional di Wamena ramainya di sore hari. Karena dipagi hari harganya masih mahal, kalau di sore hari menjelang tutup, harga biasanya turun.

Oh ya, satu hal lagi, selama di Wamena kita tidak boleh sembarang memotret. Hal ini memang berulang-ulang diingatkan oleh Mbak Evi. Di pasar tradisional yang didatangi pun, tak seorang pun dari kami yang berani ambil foto. Apabila tertangkap basah oleh orang yang menjadi objek foto kita bisa dimintai uang.

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan dari Penginapan sampailah kami ke Pos Pertama masuk Sogokmo. Sampai di sana kami buang air kencing dulu di semak-semak. Karena kalau sudah mendaki akan sulit. Nah, di Pos pertama ini kebetulan ada warung kecil. Sebenarnya bukanlah warung namanya, tapi ada bangku kecil untuk menjual makanan kecil dan ada dua Ibu yang sedang membuat noken sekaligus menjaga jualannya. Sambil iseng saya ambil fotonya lewat Handphone. Tangan saya gatal, lalu saya keluarkan Kamera SLR. Saya beri Permen kedua Ibu itu, tapi menyadari ada yang memotretnya pakai kamera SLR dia pun minta uang. Jadi mau tidak mau saya beri mereka uang Rp. 5000,- 

Membuat Noken

Tak lama setelah itu, kami mulai mendaki Sogokmo. Jalan kaki masuk ke perkebunan, melewati jembatan dan sungai. Sesekali berhenti untuk ambil foto. Adapun yang ikut mendaki adalah, Mbak Evi, Saya, Niky, Morrison, Yudi, Petter, Yerri dan Deddy (guide lokal). Nah, kalau Petter sebenarnya paling muda diantara kita. Bisa dibilang anak SMP. Dia temannya Yudi. Diminta ikut untuk menjadi Potter. Kalau menurut Yudi sih Petter itu preman bandara. Meskipun kecil tapi orang-orang dibelakang dia adalah preman-preman. Dia bisa naik pesawat lokal Gratis bermodal kedekatan dengan orang-orang bandara dan juga pilotnya.

Selama perjalanan menuju bukit Sogokmo, kita juga bertemu dengan seorang pace. Alhasil kita pun meminta sang Pace untuk berpose sesuai dengan arahan kita dan diakhir kita patungan membayarnya. Selain itu, kita juga bertemu dengan seorang penjual alpukat. Mbak Evi melakukan tawar menawar harga dan ketika itu juga dia melihat sang Mama (penjual) tidak ada jari tangannya. Lalu, kita pun dengan ijinnya minta untuk memotretnya. Di Wamena, perempuan yang tidak memiliki jari tangan ada sejarahnya. Katanya kalau ada anggota keluarga yang meninggal, misalnya suami meninggal karena berperang, atau ada salah satu anggota keluarga yang dicintai, maka sang istri akan melakukan potong jari dengan batu. Tapi tradisi ini sekarang sudah jarang dilakukan, kata Mbak Evi.  Nah, sewaktu berkunjung ke stand pameran, saya bertemu dengan penjual batu pemotong jari. Tapi tidak membelinya. Mbak Evilah yang beli.


Ibu yang Melakukan Pemotongan Jari

Dari awal perjalanan mendaki, saya berpikir benar-benar akan trekking. Tapi setelah mendaki Sogokmo, ternyata jalur yang diambil oleh guide lokal kita berbeda dengan jalur trekking umumnya. Bayangkan kita mendaki tebing yang terjal. Ya tebing yang hampir tegak lurus. Alhasil ini membuat  Pendaki perempuan harus digandeng ketika mendaki. Ketika berpikir bahwa kami akan segera sampai di puncak, ternyata masih ada bukit lagi yang masih harus dilalui. Nafas saya pun terengah-engah. Akh, bukan hanya saya saja ternyata, tapi teman lainnya juga saya yakin seperti itu, kecuali guide lokal yang sudah terbiasa dengan alam Wamena. Selama pendakian ini kita beberapa kali berhenti untuk beristirahat dan mengambil nafas. Di situasi seperti itu, masiha ada teman yang bercanda, dan ini membuat saya marah. Saya larang teman-teman untuk tertawa karena akan membuat situasi semakin capek. Untuk memberi tambahan energi saya ambil minum dan makan permen ketika berhenti. 
 
Akhirnya setelah kurang lebih satu jam mendaki Sogokmo, akhirnya kita sampai juga puncaknya. Niky yang waktu itu melihat jam tangannya, mengatakan bahwa kita berhasil menundukan puncak Sogokmo yang memiliki ketinggian 1890 meter. 

Mbak Evi and The Team

Setelah mencapai puncak kita berteduh dan makan siang dibawah pohon. Sambil beristirahat, Morrison waktu itu mengatakan kalau Petter yang dibilang Preman Bandara sempat menangis ketika mendaki Sogokmo. “Petter, kamu nangis tadi dibawah”, ledeknya. Seakan tidak percaya, saya pun tiba-tiba ikut tertawa. Setelah selesai makan dan dirasa sudah cukup istirahatnya kita pulang. Naik dan turun Sogokmo memang sama-sama penuh perjuangan. Selama menuruni Sogokmo ini, Yudi tambah meledek Petter yang takut ketinggian begitupula sebaliknya, Petter mulai meledek Yudi yang takut jembatan. Karena takut dijegal di Jembatan, Yudi berlomba dengan Petter untuk sampai duluan di jembatan.


Ketika turun dari Sogokmo

Oh ya, sewaktu menuruni Sogokmo, kami menemukan sebuah pemandangan berupa Kolam dengan airnya yang keruh, nampaknya bekas tambang. Tapi entahlah itu pastinya bekas apa. Tapi sekelilingnya becek. Kita tidak mendekat tapi cukup melihatnya dari jauh. Pemandangan seperti itu kalau dibiarkan dapat merusak kesimbangan alam.  


15 Agustu 2013, Kembali ke Jayapura

Hari ke lima, agenda kita adalah kembali ke Jayapura. Ketika tiba di bandara Sentani, terjadi masalah, bagasi dari tiga orang teman saya masih di Wamena. Ketika di konfirmasi ke pihak maskapai, katanya bagasi tidak dibawa oleh maskapai yang sama tapi dibawa oleh pesawat kargo. Semoga ini menjadi perhatian semua pihak, bahwa penumpang harus diberitahu terlebih dahulu mengenai prosedur pelayanan yang ada termasuk perubahannya.
Pada akhirnya, bagasi teman-teman saya bisa diambil kemudian. 

Di Hari ke lima di Jayapura ini, kita menghabiskan waktu dengan berkunjung ke Kampung Ase dan Ayapo. Kampung Ase merupakan pusat  pembuatan seni lukis dengan media kulit kayu. Di sini kita bisa melihat proses melukis secara langsung dan bisa membeli hasil kerajinan tangan penduduk. Sementara itu, kampung Ayapo sebenarnya tidak berbeda dengan Ase, mereka hidup di rumah yang dibangun di atas air danau tapi penduduk kampung Ayapo tidak membuat lukisan. 

Pelukis di Kampung Ase
Ketika hendak pulang dari Kampung ini, perahu kita mesinnya rusak. Akibatnya beberapa menit kita terombang ambing di tengah danau. Beruntungnya ada perahu lain yang lewat. Kita jadi pindah perahu. Perahu yang mesinnya rusak jadi menepi, kedua orang awaknya memastikan bisa memperbaikinya kembali. 

Sore harinya kita pergi ke Mac Arthur. Di sini ada tugu Mac Arthur untuk mengenang bahwa Sekutu di Bawah Pimpinan Mac Arthur pernah membuat pertahanan di Jayapura. Waktu ke sini, ada dua orang yang sedang mengecat tugu ini. Hal ini dilakukan dalam rangka peringatan hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.


Tugu Mac Arthur
Tapi sayang karena cuacanya lagi jelek, tidak mendapatkan sunset yang bagus. Di sini kita hanya saling mendengarkan cerita satu sama lain sambil menikmati kota Jayapura. 

16 Agustus 2013, Kembali ke Jakarta

Hari keenam sebelum kembali ke Jakarta, kami mengejar sunrise dulu di pantai Base-G. Namun sayang, sunrisenya tidak sempurna. 
 
Sunrise di Base-G
Selepas dari sini kita ke pasar Hamadi terlebih dulu. Pasar Hamadi tidak berbeda jauh dari Pasar tradisional umumnya. Hanya saja di sini ada dijual makanan khas Papua seperti Sagu.

Pasar Hamadi

Selepas dari Pasar Hamadi, kita mencari sarapan dan kembali ke hotel. Setelah mandi dan packing selesai saya  meninggalkan Jayapura kembali ke Jakarta. Sementara teman-teman yang lainnya keesokan harinya baru pulang.

Itulah rangkaian Festival Baliem yang saya saksikan secara langsung. Sangat berkesan dan terpesona dengan kebudayaan Indonesia. Apabila ada kesempatan ingin kembali lagi ke sana. 


Selamat Menjelajahi Nusantara All :)