Beberapa hari ini tidak update blog, maklumlah mood menulis naik turun, tapi ya, intinya sih karena memang menulis itu setidaknya memakai konsep. Sudah lama sebenarnya ingin sharing hasil perjalanan ke Karawang, melihat Situs Candi Batujaya. Tapi karena ada yang harus ditranslet dulu, makanya lama postingnya. Kalau sekarang posting berarti transletnya sudah selesai. Ini yang saya maksud bahwa menulis itu ada konsepnya.
Baiklah, saat ini topik yang hendak saya share adalah tentang Candi yang penemuannya itu terhitung baru ya. Padahal katanya setelah diteliti, Candi yang ada di Kabupaten Karawang itu termasuk Candi yang paling tua usianya. Bahkan lebih tua dari Candi Borobudur itu sendiri.
Sebenarnya ada dua buah candi yang kita lihat pada tanggal 1 Juli 2012 lalu, yaitu Candi Jiwa dan Candi Blandongan yang keduanya masuk dalam Situs Candi Batujaya.Tapi sebelumnya saya informasikan dulu, bahwa keberangkatan ke Karawang itu bersama dengan Komunitas Jelajah Budaya (KJB), biasa pimpinan Mas Kartum dan Narasumbernya sendiri adalah Bapak Hasan Djafar yang merupakan penulis buku "Kompleks Percandian Batujaya". Hebat ya KJB bisa menghadirkan langsung penulis sekaligus peneliti Situs Candi Batujaya.
Lanjut ceritanya ya... Sebelum melihat candi, Pak Hasan Djafar menerangkan terlebih dulu tentang Situs Candi Batujaya.
Menurutnya, Kompleks Percandian Batujaya itu merupakan peninggalan dari zaman Prasejarah atau tepatnya peninggalan kerajaan Tarumanegara. Situs Candi Batujaya berada di lahan seluas 5 km persegi diareal persawahan dan perkampungan.
"Di dalam kawasan 5 km persegi ini telah ditemukan sisa-sisa atau reruntuhan candi yang jumlahnya lebih dari 30 buah. Dan merupakan kompleks percandian. Penemuan pertama kali wilayah percandian ini tahun 1984. Waktu itu kebetulan kami dari Jurusan Arkeologi, Fakultas sastra UI sedang mengadakan penelitian di Cibuaya, daerah sebelah timur Batujaya, karena di sana diketahui ada penemuan-penemuan peninggalan dari zaman Tarumanegara berupa arca-arca, yaitu arca wisnu yang terbuat dari batu", tutur Hasan Djafar.
Lebih lanjut Hasan Djafar mengatakan dari penelitian yang sedang dilakukannya diketahui ada penemuan kompleks percandian yang terbuat dari Bata tapi kondisinya sudah sangat hancur. Tidak diketahui lagi bentuknya dan yang masih nampak di permukaan tanah hanya dua dari sekian banyaknya.
"Pada tahun 1984 ketika kami mengadakan penelitian dengan mahasiswa, mendapat informasi dari penduduk setempat, bahwa runtuhan-runtuhan yang seperti bata itu banyak, di Batujaya. Pada waktu itu kami survey ke Batujaya untuk konfirmasi dan ternyata di sana ditemukan bukan berupa candi tapi gundukan-gundukan tanah yang oleh masyarakat disebut unur," ujar Hasan Djafar.
Gundukan-gundukan tanah atau Unur-Unur itu oleh masyarakat diberi nama lokal atau sesuai dengan nama desanya. Kebetulan Unur itu ada di wilayah kecamatan Batujaya, atau tepatnya ada di dua desa, yaitu Telagajaya dan Segaran.
Next, setelah dilakukan Ekskavasi atau penggalian pada tahun 1985 dan pemugaran oleh Direktorat Purbakala di kompleks percandian, maka hasil akhirnya dapat kita lihat dibawah ini.
"Di dalam kawasan 5 km persegi ini telah ditemukan sisa-sisa atau reruntuhan candi yang jumlahnya lebih dari 30 buah. Dan merupakan kompleks percandian. Penemuan pertama kali wilayah percandian ini tahun 1984. Waktu itu kebetulan kami dari Jurusan Arkeologi, Fakultas sastra UI sedang mengadakan penelitian di Cibuaya, daerah sebelah timur Batujaya, karena di sana diketahui ada penemuan-penemuan peninggalan dari zaman Tarumanegara berupa arca-arca, yaitu arca wisnu yang terbuat dari batu", tutur Hasan Djafar.
Lebih lanjut Hasan Djafar mengatakan dari penelitian yang sedang dilakukannya diketahui ada penemuan kompleks percandian yang terbuat dari Bata tapi kondisinya sudah sangat hancur. Tidak diketahui lagi bentuknya dan yang masih nampak di permukaan tanah hanya dua dari sekian banyaknya.
"Pada tahun 1984 ketika kami mengadakan penelitian dengan mahasiswa, mendapat informasi dari penduduk setempat, bahwa runtuhan-runtuhan yang seperti bata itu banyak, di Batujaya. Pada waktu itu kami survey ke Batujaya untuk konfirmasi dan ternyata di sana ditemukan bukan berupa candi tapi gundukan-gundukan tanah yang oleh masyarakat disebut unur," ujar Hasan Djafar.
Gundukan-gundukan tanah atau Unur-Unur itu oleh masyarakat diberi nama lokal atau sesuai dengan nama desanya. Kebetulan Unur itu ada di wilayah kecamatan Batujaya, atau tepatnya ada di dua desa, yaitu Telagajaya dan Segaran.
Next, setelah dilakukan Ekskavasi atau penggalian pada tahun 1985 dan pemugaran oleh Direktorat Purbakala di kompleks percandian, maka hasil akhirnya dapat kita lihat dibawah ini.
Batanya lebih banyak yang hasil rekonstruksi |
Beberapa meter dari Candi Jiwa kita menuju ke Candi Blandongan. Dua-duanya masih di Desa Segaran ya.
Inilah Candi Blandongan. Di sini kita bisa naik ke atas candi. Awalnya tidak boleh. Berhubung Pak Hasan Djafar ingin menjelaskan sambil memperlihatkan objeknya maka kita pun dipersilahkan naik Candi. Seperti inilah keadaan Candi Blandongan.
Candi Blandongan |
Sekarang kita lanjut lagi ya cerita dari Pak Hasan Djafar tentang Candi di Kecamatan Batujaya ini.
Seperti telah diulas di awal Candi di Batujaya, sangat menarik karena dibuat dari bata merah bukan batu.
"Candi-candi yang dibuat dari Bata itu seperti berasal dari akhir Majapahit kebelakang. Ternyata dari hasil pertanggalan candinya sendiri, C14, umurnya sangat tua. Sekitar 200 tahun Sebelum candi Borobudur ditemukan," ujar Hasan Djafar.
Darimana kita dapat mengetahui bahwa Kompleks Percandian di Batujaya itu lebih tua dari Borobudur?
Menurut Hasan Djafar hal itu bisa diketahui dari Prasasti seperti Prasasti Ciaruten. Jelaslah bahwa Candi itu peninggalan zaman Kerajaan Tarumanegara. Ciri agamanya bukan hindu tapi Budha.
"Ini yang sangat menarik sekali. Merupakan satu-satunya kompleks percandian agama Budha di Jawa bagian Barat," ujar Hasan Djafar.
Selanjutnya keterangan bahwa Candi di Batujaya itu termasuk Candi Budha dapat diketahui bukan saja dari konstruksi bangunannya saja tapi juga ditemukan benda-benda lain yaitu, terakota, atau anah liat bakar berukuran 6 cm, ada gambar-gambar atau relief patung Budha dan sejumlah prasasti yang digoreskan dengan huruf palawa dan bahasa sansekerta pada lempengan emas dan tanah liat bakar. Disamping adanya arca-arca yang memperlihatkan sosok Budha.
Ada hal yang sangat menarik lainnya bahwa candi ini meskipun terbuat dari bata ternyata dilapisi dengan plester semen kapur.
"Mengherankan lagi sudah mengenal beton. Jadi beton yang terbuat dari semen kapur itu dicampur dengan kerikil-kerikil batu untuk melapisi lantainya," ujar Hasan Djafar.
Masyarakat waktu itu sudah mempunyai kemampuan teknlogi sangat tinggi. Setelah ditelusuri semennya darimana, ternyata batu kapurnya terdapat di sebelah selatan Karawang. Lalu, mengapa candi itu terbuat dari bata?
"Karena di sini tidak ada gunung, ini adalah daerah pantai, daerah aluvial, daerah tidak berbatu," terang Hasan Djafar
Masyarakat juga sudah punya kemapuan mengolah tanah liat untuk dibuat bata karena masyarakat di sini, dipantai Utara Jawa barat sudah ada hunian. Dari masa ke masa bercocok tanam, sudah mengenal pembuatan gerabah. "Jadi rupanya kemampuan mengolah tanaj liat itu sudah lama," tutur Hasan Djafar.
"Mengherankan lagi sudah mengenal beton. Jadi beton yang terbuat dari semen kapur itu dicampur dengan kerikil-kerikil batu untuk melapisi lantainya," ujar Hasan Djafar.
Masyarakat waktu itu sudah mempunyai kemampuan teknlogi sangat tinggi. Setelah ditelusuri semennya darimana, ternyata batu kapurnya terdapat di sebelah selatan Karawang. Lalu, mengapa candi itu terbuat dari bata?
"Karena di sini tidak ada gunung, ini adalah daerah pantai, daerah aluvial, daerah tidak berbatu," terang Hasan Djafar
Masyarakat juga sudah punya kemapuan mengolah tanah liat untuk dibuat bata karena masyarakat di sini, dipantai Utara Jawa barat sudah ada hunian. Dari masa ke masa bercocok tanam, sudah mengenal pembuatan gerabah. "Jadi rupanya kemampuan mengolah tanaj liat itu sudah lama," tutur Hasan Djafar.
Terkait dengan pembuatan bata ada hal yang menarik bahwa bata ini dibuat dengan campuran antara tanah liat dan kulit padi atau sekam. Jadi ketika dibakar bata menjadi merah dan di dalam juga terjadi proses pembakaran.
Jadi itulah teknologi, kemampuan-kemampuan lokal yang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat. Ketika orang India datang ke sini, sebetulnya mereka masih hidup pada zaman prasejarah.
"Ternyata di bawah lapisan candi itu ada lapisan budaya zaman prasejarah, dimana ditemukan puluhan kuburan prasejarah. Lengkap dengan kerangka dan lengkap bekal kubur, gerabah, alat-alat senjata, parang, alat-lat besi, disamping perhiasan dari batu-batu, sudah ada manik-manik yang terbuat dari emas, ada gelang, emas," terang Hasan Djafar.
Diantara benda-benda yang ditemukan di lapisan bawah itu ada benda dari India, berupa piring tanah liat, tepatnya dari pelabuhan India Selatan yang disebut daerah Arikamedu. Dari sana diproduksi jenis gerabah tanah liat, berupa piring besar bergaris tengah 30 cm, tapi mempunyai hiasan bagian atasnya berupa hiasan melingkar ini yang disebut hiasan rolet. Gerabah-gerabah ini di India Selatan dibuat pada abad ke 2-4. Benda-benda ini ditemukan didalam unur-unur prasejarah.
"Jadi dapat disimpulkan zaman prasejarah itu dari tahun 1000 SM sampai awal masehi, mereka sudah kontak budaya dengan orang India. Rupanya pada awal abad masehi ini terjadi kontak budaya dengan India dan terjadilah penyerapan unsur –unusr budaya India, diantaranya sistem kemasyarakatan, budaya dan agama," terang hasan Djafar.
Tapi ini prosesnya barangkali memanjang, sebab pertanggalan yang diperolah dari C14, kerangka-kerangka itu dibuat dari abad 2-4. Sedangkan candinya 500 (Lima ratusan). Ada waktu sekitar 2 (dua) abad terjadinya akulturasi, proses penyerapan unsur budaya masyarakat setempat. Pada akhirnya terbentuklah suatu corak tatanan kehidupan masyarakat dengan corak budaya India sampai kerjaaan Tarumanegara. Jadi ketika itulah maka agama Budha selain Hindu berkembang.
Hal lain yang menarik adalah berdasarkan sumber-sumber Tionghoa dari abad ke-4 disebutkan bahwa ada pelabuhan namanya koying. Koying ini menurut para peneliti berdasarkan naskah-naskah Tionghoa, Koying secara ilmu bahasa bisa berubah jadi Koiwa, Kaiwang. Ada seorang Ahli yang menghipotesakan bahwa bahwa Koying itu semestinya terletak di muara Citarum dan Karawang. Menurut perkiraan Sarjana, Koying ini pelabuhan kuno. Maka tidak heran kalau banyak pedagang India yang bermukim dipelabuhan itu hingga terjadinya perkembangan budaya dengan masyarakat setempat.
Ini ada Videonya Candi Jiwa, silahkand dinikmati ya ...
Dan Inilah buku Karya Bapak Hasan Djafar.. kita beli lho dengan harga Rp. 50.000,- dan dapat tanda tangannya langsung..
Masterpiece dari Bapak Hasan Djafar |
So, kalau mau lengkap, teman-teman silahkan saja beli bukunya.. Tapi ada beberapa revisian ya...
Oh ya pada dasarnya belajar sejarah itu sangat menarik sekali. Apalagi tentang sebuah penemuan dari peninggalan Zaman dahulu. Karena latar belakang kita yang bukan dari bidang arkeologi misalnya, kita cenderung untuk menerima apa saja yang dibilang oleh sang Narasumber, ini dikarenakan pengetahuan kita tentang sejarah itu minim. Ibaratnya kita itu didoktrin kalau belajar sejarah tanpa dasar yang kuat.
Memang meskipun Kompleks Percandian Batujaya dikatakan lebih tua umurnya dari Candi Borobudur, tapi tetap saja Candi Borobudur itu sampai saat ini belum ada yang mengalahkan.
No comments:
Post a Comment