Liburan
di dalam negeri tidak kalah menarik dan luar biasanya dengan menghabiskan
jalan-jalan di luar negeri. Malahan dengan menjelajah alam dan budaya bangsa
akan memperkaya pengalaman dan makin menambah kecintaan kita terhadap tanah air
terlebih apabila kita bisa melihat langsung di lapangan.
Pengalaman
baru dan tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya adalah baru-baru ini
atau tepatnya bulan Agustus melihat langsung Festival Budaya Lembah Baliem 2013. Festivalnya sendiri
berlangsung di Kabupaten Wamena, Jayapura.Untuk rincinya berikut adalah cerita
perjalanan saya.
10 Agustus 2013, Keberangkatan ke
Jayapura
Sebenarnya
pelaksanaan Festival Lembah Baliem ini bertepatan dengan hari raya idul fitri. Tapi meskipun begitu, tetap
saya niatkan untuk pergi. Hal
ini tentu juga didasarkan pada pertimbangan mengenai kondisi keuangan, fisik
maupun lainnya yang saat itu memang mendukung untuk pergi. Pikir saya waktu
itu, harus bisa berangkat melihat
festival lembah baliem, karena tahun depan saya tidak tahu akan berada dimana dan
melakukan apa.
Setelah selesai koordinasi dengan Mbak Evi (Evi Aryati Arbay) sebagai penyelenggara tour ini akhirnya diputuskanlah jadwal keberangkatan dari Jakarta menuju Jayapura dengan menggunakan Garuda pada hari Sabtu, tanggal 10 Agustus jam 4:50 WIB.
Tapi
sayang tour kali ini hanya diikuti 3 orang peserta. Menurut keterangan mbak Evi sih, sebenarnya banyak peminatnya mencapai
kurang lebih sepuluh orang, tapi mendekati bulan Agustus banyak yang
membatalkan. Adapun alasannya karena itu tadi, bertepatan dengan hari raya idul
fitri.Bagi saya gak masalah, karena toh masih sempat merayakan idul fitri
bersama dengan keluarga meskipun pada hari raya
kedua, Jumat, 9 Agustus, langsung balik lagi
ke Jakarta karena subuhnya harus terbang ke Jayapura.
Nah,
pertemuanku dengan mbak Evi terjadi di Bandara Soekarno Hatta tentunya sebelum
take off ke Jayapura. Selain mbak Evi, bertemu juga dengan peserta lain yaitu
Niky Tanjung Ori. Ya,
kita dari Jakarta bertiga. Sementara
seorang peserta berangkat dari Lombok dan baru bertemu pada hari Minggu di
Jayapura. Okey,
saya perkenalkan peserta terakhir ini namanya Herman Morrison.
Penerbangan
Jakarta - Jayapura menempuh waktu sekitar 6 jam dengan satu kali transit di
Makassar. Sampai di Bandara Sentani, Jayapura jam 13:35 WIB. Waktu di Jayapura
2 jam lebih cepat daripada Jakarta. Di
Bandara Sentani sudah standby Pak Yasmin.
Pak
Yasmin tugasnya sebagai driver yang
menemani kita berkeliling selama di Jayapura. Tempat yang kita tuju sehabis pendaratan adalah tempat
penginapan. Mbak
Evi membawa kami ke Hotel Grand Tahara. Di sinilah kita menginap
satu malam untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Wamena.
Sesampainya
di hotel kita menaruh barang bawaan dan
istirahat sebentar. Lalu, keluar menikmati indahnya Danau Sentani, bukit Doyo
Lama, melihat Kota Jayapura dari tower
TVRI dan makan malam.
Danau Sentani dari Bukit Doyo Lama |
Kota Jayapura dari TVRI
Tower
Nah, ketika sedang asyik-asyiknya menikmati kota Jayapura
dari TVRI Tower, kita dipalak seorang gadis belia. Rupa-rupanya ia meminta
sumbangan untuk kebersihan. Gadis itu meminta Rp. 20.000 tapi mbak Evi
melakukan negosiasi jadinya tidak diberi sebesar yang diminta. Pak Yasmin,
Supir kita ikut memberinya uang sebesar Rp. 5000,- Saya tanyakan Pak Yasmin,
kemanakan uang itu nantinya. Tapi tidak jelas juga jawaban dari Pak Yasmin.
Kejadian juga apa yang sudah diwanti-wanti di awal. Bahwa kita jangan sembarang
memotret karena nanti dimintai bayaran.
11 Agustus 2013, Keberangkatan ke
Wamena
Hari
kedua di Jayapura, agenda kita pertama adalah menunggu kedatangan seorang
peserta dari Lombok yang sudah saya sebut tadi, Morrison, lalu siangnya kita terbang
ke Wamena.
Penerbangan
dari Bandara Sentani ke Wamena pakai Trigana Air. Tiket sudah diurus sama Mbak
Evi. Seharusnya kita terbang pagi menjelang siang, tapi karena check in-nya didahului sama yang
lain, maka jadwal terbang kita mundur.
Sedikit
pening sewaktu terbang ke Wamena. Mungkin
karena kondisi pesawatnya kecil kemudian kabin pesawat pun gak cukup buat
menyimpan ransel alhasil itu barang bawan ada yang disimpan dibawah kursi dan dipangkuan.
Ya, sesak deh.. Beruntungnya
penerbangan ke Wamena tidak lama. Hanya
membutuhkan sekitar 45 menit.
Sampai
di Wamena kita langsung
menuju hotel yang sudah direservasi. Hotel tempat kita menginap namanya hotel Putri Dani. Rombongan kita mendapatkan
kamar di lantai 2. Jadi
kita bisa melihat pemandangan ke jalan. Fasilitas yang disediakan hotel ada air panas dan juga TV LCD. Setiap pagi
kita mendapatkan sarapan roti dan telur mata sapi. Kesan terhadap Hotel ini
bersih ya, dan kadang kala tidak 24 jam ada penjaganya. Tapi pagi-pagi sarapan
sudah siap. Katanya Yudi, yang merupakan salah satu guide kita di Wamena juga
temannya Mbak Evi, tidak sembarang orang yang dapat menginap di hotel itu.
Maksudnya yang saya tangkap adalah
barangkali harus lewat kenalan reservasinya.
Setelah
menyimpan barang bawaan di kamar, kita jalan menuju sebuah Kampung, namanya Kampung
Kurulu yang termasuk dalam distrik Obya.
Dari
hotel ke Kampung Kurulu ada kurang lebih 30 menit. Sesampainya di sana,
tepatnya dari luar kampung kita sudah disambut beberapa orang anak laki-laki
yang tidak memakai sehelai kain pun. Mereka terlihat malu-malu tapi mau ketika
kita mencoba ambil fotonya.
Bocah dari Kampung Kurulu |
Setelah
masuk ke dalam kampungnya kita tidak bisa bertemu langsung dengan warga karena
ternyata mereka ada tamu. Jadi
rombongan saya menunggu dulu. Kebetulan selain rombongan saya ada juga
rombongan dari China berjumlah tiga orang dengan seorang guide lokal.
Kita
waktu itu diterima Yerry
dan Deddy. Mereka adalah warga kampung
Kurulu yang juga kenalan Mbak Evi. Selagi menunggu itu saya perhatikan ada sebuah Honai
yang dibuat untuk disewakan. Seperti
Hotel maksudnya. Waktu itu, ada sepasang Bule yang menginap di sana. Kita tidak
berinteraksi dengan Bule itu, namun kita saling memperhatikan. Dengan kehadiran bule di kampung ini membuktikan bahwa
wisatawan mancanegara sangat disambut baik. Tak
lama kemudian, sepasang
bule yang tadinya duduk-duduk di pintu Honai meninggalkan tempatnya dan menuju toilet untuk mandi.
Ya,
sebuah kemajuan bahwa di Kampung Kurulu sudah dibuatkan sebuah toliet untuk
mandi dan ada closet jongkok juga. Tapi Memang warganya masih menggunakan baju
tradisional seperti koteka dan kelengkapan lainnya.Meskipun ada beberapa orang
yang sudah pakai kain baju layaknya kebanyakan orang, tapi itu pun terlihat
kumal.
Selain memperhatikan sepasang bule dan honai, kita
juga asyik memotret Deddy yang
sudah berganti kostum lengkap dengan kotekanya dan juga memperhatikan Burung
Korowai hasil tangkapan di hutan yang diletakan di dalam sebuah kandang
disebelah honai tempat menginap Bule itu. Begitu pula dengan wisatawan
dari China itu mereka pun ikut asyik
memotret.
Oh
ya sebagai tambahan informasi ternyata warga Kampung Kurulu yang termasuk suku
Dani itu, antara perempuan dan laki-lakinya tinggal di Honai yang berbeda.
Laki-laki tinggal bersama laki-laki begitu pun dengan perempuannya. Apabila
antara suami dan istri akan berhubungan intim mereka pergi ke hutan. Seperti
itulah penjelasan yang saya dapatkan dari Mbak Evi.
Setelah
tamu pergi, rombongan kita bisa masuk ke pekarangan utama. Di sini kita disambut warga
Kurulu lengkap dengan pakaian tradisionalnya. Mbak Evi terlihat sudah sangat akrab dengan
mereka. Waktu
itu, kita tidak menyetting warga Kurulu untuk memberikan sambutan kedatangan
tapi memang mereka melakukannya untuk kita. Saya sangat terharu. Mereka
menari dan ada juga yang mendemokan membuat api dengan media sejenis ilalang
kering untuk medianya lalu untuk sumber apinya mereka menggesekan dua buah batu.
Maka keluarlah percikan api.
Setelah
memberikan sambutan kedatangan, warga Kampung Kurulu kemudian mengeluarkan
hasil kerajinan tangannya, mendisplaynya
untuk dijual. Alhasil
kita jadinya tawar menawar dengan mereka. Ada yang menjual noken (Tempat/tas yang terbuat dari akar kayu untuk membawa
barang biasanya dipakaikan dikepala dan posisi kantungnya ada di belakang
punggung), koteka (untuk
melindungi alat kelamin laki-laki terbuat dari buah labu yang telah dibersihkan
isinya dan dikeringkan), tulang babi yang sudah
dirajut sedemikan rupa dan juga kerajinan lainnya.
12 Agustus 2013, Festival Lembah
Baliem
Hari
Kedua di Wamena, merupakan
event yang ditunggu-tunggu. Pagi jam 8 kita sudah berangkat dari
penginapan menuju arena acara Festival
Baliem. Lokasinya sendiri berada di Wosilimo, di sebuah tanah lapang yang cukup
luas. Rombongan
saya bisa dikatakan rombongan yang datang pertama, Wosilimo masih sepi. Tapi justru itu yang
dikejar. Kita
ingin memotret persiapan peserta.
Di
belakang panggung, kita lihat seorang pace yang
sudah siap dengan pakaian tradisional khas suku Dani. Sosoknya sudah sepuh dan
kita pun meminta ijin untuk memotretnya. Sang Pace diminta untuk
berpose sesuai dengan keinginan kita. Maka
salah seorang teman saya pun mengarahkannya bagaimana dan dimana dia harus
berpose.
Aku dengan Sang Pace dan Birunya langit Wamena |
Tidak
lama kemudian, lapangan Wosilimo pun menjadi ramai. Para penonton dan fotografer
profesional dan traveler murni berdatangan secara bertahap. Tapi acara belum juga dimulai. Saya
bosan menunggunya. Ya, kapan acaranya akan
dibuka pikir saya sementara hari mulai terik.
Ternyata eh ternyata panitia menunggu
pejabat daerah dulu.
Sayang
sekali memang acaranya tidak dihadiri dan dibuka oleh Gubernur melainkan dibuka
oleh Pangdam XVII Cendrawasih, Mayjen TNI, Christian Zebua. Pembukaannya ditandai dengan
memanah Seekor babi.
Oh
ya, selain itu, pada rangkaian acara pembukaan dinyanyikan pula lagu kebangsaan
Indonesia Raya. Terharu jadinya. Dimana
pun suku bangsanya, lagu kebangsaan tetap satu, Indonesia Raya dikumandangkan. Saya pun merekamnya.
Setelah rangkaian acara pembukaan selesai, kita
melihat beberapa pertunjukkan yang disajikan oleh Suku Dani dari beberapa
distrik. Kalau berdasarkan brosur dari panitia, acara festival Baliem 2013 ini diikuti oleh sebanyak 40 distrik.Tapi sayang
tahun ini Suku Lani dan Yali
gak ikut.
“Tahun
ini sepi daripada tahun kemarin”, ujar Mbak Evi.
Saya
pun melihatnya seperti itu.Terlihat dari pembukaan yang mundur begitu pula
dengan peserta dan penonton atau wisatawan. Tapi bukan berarti tidak ada
wisatawan mancanegara sama sekali. Bahkan wisatawan asing ikut berpartisipasi
dalam perlombaan memanah dan lomba lempar tombak. Akh, meskipun dikatakan sepi dari tahun kemarin yang penting acaranya
lancar dan bisa mengabadikan moment.
Okey,
Pertunjukan pertama yang disuguhkan adalah perang-perangan. Lucu sekali kalau
mendengarkan alur cerita tentang
perang-perangan ini. Diantaranya ada yang
bercerita tentang “Hubungan Gelap Sang Istri”, “Pencurian Buah Pandan Hutan”,
“Pencurian Babi” dan lainnya.
Perang-Perangan yang dilakukan Suku Dani |
Nah, ketika satu distrik beraksi, maka distrik yang
lainnya menunggu giliran di pinggir lapangan. Hal ini biasanya digunakan oleh
para fotografer atau pengunjung untuk mengambil foto sepuasnya. Saya pun
demikian. Ketika selesai mengambil foto, ada saja peserta yang meminta imbalan.
Mereka biasanya mengulurkan tangannya sebagai tanda meminta sesuatu. Untungnya
kita sudah dibekali informasi oleh Mbak Evi. Permen dan rokok adalah senjata
kita. Kalau mereka meminta imbalan karena kita potret maka kita berikan saja
permen atau rokok, mereka pasti mau menerimanya.
Tapi, sepanjang yang saya perhatikan, hal ini tidak
berlaku sama untuk pengunjung lainnya. Seorang pengunjung perempuan mengatakan
kepada saya harus keras “Kita harus keras kepada mereka jadi mereka takut”,
ujarnya. Saya perhatikan apa yang dilakukan olehnya ternyata sangat mempan. Dia
tidak memberi permen, rokok maupun uang karena katanya kita sebagai pengunjung
sudah membayar untuk Festival Lembah Baliem tersebut kepada panitinya. Jadi
tidak perlu menambahkan yang lain-lain.
Kalau menurut saya ada benarnya juga. Tapi, memberi atau
tidak, itu terserah kebijakan kita. Namun, ada yang saya sayangkan, kenapa ya
rokok yang harus diminta oleh para peserta.
Dan selama peperangan itu,
dipertunjukan pula tari-tarian dari masing-masing distrik, lalu ada juga yang
mengikuti lomba karapan babi. Ini
artinya setiap anggota
dari masing-masing distrik mengambil peran
yang berbeda.
Sementara
untuk Lomba karapan babi, hanya diikuti oleh perempuan saja. Seru sekali menyaksikan
bagaimana para peserta menyeru
babinya agar gesit berlari. Ada
babi yang terus berlari dengan kencang ada juga babi yang tiba-tiba saja
berhenti ditengah jalan. Hal ini tentu
merepotkan sang majikan. Tapi lucu.
Selesai
menonton lomba karapan babi, Yudhi mengingatkan saya untuk melihat proses bakar
batu dibelakang stage. Saya pun mengikuti sarannya. Ketika sampai di tempat
bakar batu, sudah banyak para fotografer yang sedang mengabadikan moment
tersebut.
Saya
lihat ada dua bagian dalam proses
bakar batu itu. Pertama membakar batu, kedua proses memasaknya. Nah, sejauh
yang saya perhatikan, proses bakar batu itu seperti ini, batu yang sudah
dibakar dimasukan ke dalam tanah yang sudah digali lalu ditutup pakai rumput
basah dan sayuran (daun ubi, kangkung, jenis paku-pakuan yang dapat dimakan
dsb), selanjutnya ubi dimasukan dan ditutup lagi pakai sayuran dan daun pisang,
ditutup lagi pakai batu yang sudah dibakar, lalu sayuran dan daun pisang
dimasukan, setelah itu babi yang sudah dipotong dimasukan di atasnya dan
ditutup lagi dengan sayuran dan daun pisang kemudian tahap akhir ditutup lagi
dengan batu yang sudah dibakar dan kemudian ditutup pakai rumput kering dan
diikat. Ya, prosesnya memang diulang-ulang dan dilakukan secara gotong royong.
Bakar Batu |
Berapa
lama mereka harus menunggu sampai ubi dan babi matang? Berdasarkan keterangan dari
Mbak Evi, waktunya sulit untuk ditentukan. “Sulit untuk menentukan
berapa lamanya karena ini tergantung dari banyaknya babi dan ubi yang dibakar”,
ujarnya. Tapi
biasanya lebih dari dua jam. Bakar
batu ini dilakukan dalam rangka pernikahan, kematian atau sekedar syukuran.
Tidak
berapa lama menyaksikan bakar batu ini acara Festival Lembah Baliem pun
selesai. Semua
distrik pada hari itu telah mempertunjukan atraksinya. Kita pun pulang tapi tidak
langsung menuju hotel melainkan mampir dulu di sebuah kampung namanya Kampung
Jiwika. Di
sini kita melihat mummy yang sudah berusia 200 tahun lebih. Mbak Evi sebenarnya
agak malas membawa kita lihat Mummy tapi karena kita belum pernah sama sekali
melihatnya dan sudah datang jauh-jauh mau tidak mau akhirnya dia mengantar
kita.
Benar
saja apa yang menjadi keengganan Mbak Evi dapat saya pahami. Untuk melihat
mummy ini kita harus membayar sebesar Rp. 120.000 hanya untuk biaya
mengeluarkan Mummy, kemudian untuk foto bersama Mummy per orang bayar Rp.
40.000 dan bayar yang bawa mummy keluar Rp. 50.000. Kita mencoba menawarnya
tapi tetap tidak berhasil. Sangat
disayangkan sekali mereka jadi sangat komersil. Belum lagi calo yang ada
dibelakangnya.
Teamnya Mbak Evi |
Setelah
dari Mummy Jiwika kita kembali ke Kampung Kurulu. Niatnya menunggu hari sampai
gelap. Karena ada teman yang ingin
memotret Bimasakti.
Sambil menunggu kita makan mie rebus
dulu yang sudah dibeli tadi di jalan. Deddy
yang membantu kita memasak air. Ya, karena kedekatan antara Mbak Evi dengan Deddy dan yang lainnya kita bisa
keluar masuk kampung dengan leluasa.
Tapi kita tidak bisa berlama-lama di sana karena baru-baru ini terjadi perang
antar kampung. Yerry
kakaknya Deddy mengingatkan kita agar tidak
lama-lama berada di kampung. Maksudnya
jangan sampai larut malam. Tapi,
kita juga diundang untuk menginap di Honai. Hanya saja saya waktu itu
belum bisa mengiyakan. Saya
takut kegelapan masalahnya. Namun apa yang saya takutkan tidak seperti itu. Ada
satu honai yang dibuat khusus untuk penginapan
tamu ternyata sudah ada listriknya dan untuk tempat tidurnya dan ada kasur di bagain atas.
13 Agustus 2013, Masih Menikmati
Festival Lembah Baliem
Namun apa yang terjadi? Ternyata ketika Deddy kembali dengan seorang tokoh kampung, dia menceritakan bahwa Bapak yang dikabarkan sudah meninggal tidak jadi menninggalnya. Bagi saya ini seperti lelucon. Tapiternyata di sini katanya, kalau ada anaknya yang masih ditunggu atau menjadi pemberat dia meninggalkan dunia, maka orang tersebut tidak akan meninggal dulu. Dia akan menunggu anaknya pulang. Nah, setelah itu daripada kita langsung pulang ke penginapan akhirnya kita kembali lagi ke Kampungnya Deddy. Di sana kita ngobrol sambil makan mie rebus lagi. Hari itu terakhir kali kita berkunjung ke Kampung.Teman saya pun Morrison punya permintaan terakhir kepada Deddy, dia dimintanya berpakain tradisional lengkap dan memintanya agar bersedia difoto tentu dengan memberi imbalan yang pas. Itulah moment terakhir kita berada di Kampung.
Oh ya sebelum kelupaan, ada satu hal yang menarik ketika berada di Wamena. Saya bersama teman-teman yang lain latah menyapa warga kampung dengan “Wah Wa wa wa” ... Istilah itu artinya semacam Hallo atau selamat datang. Malahan Niky bilang diantara kami, Morrisonlah yang tepat intonasi pengucapannya.
Hari
Ketiga di Wamena agendanya masih tetap sama. Kita Kembali ke Lapangan Wosilimo
dan mengabadikan moment sebanyak mungkin.Tapi hari ini ada yang berbeda, kita
diberitahu oleh Yerry
ada yang meninggal di kampung. Mbak
Evi berencana untuk melayatnya. Kita
pun sepakat membeli beras untuk diberikan kepada keluarga yang berduka cita. Nah, sepulang dari Wosilimo
kita langsung menuju Kampung dan sebelum benar-benar ke kampung orang yang meninggal
kita menunggu dulu dijemput. Karena Deddy
harus memberitahu kedatangan kita kepada tuan rumah. Mbak Evi pun sudah
mewanti-wanti kita selama di kampung untuk tidak
mengambil foto. Cukup
tunjukan bela sungkawa saja, katanya.
Namun apa yang terjadi? Ternyata ketika Deddy kembali dengan seorang tokoh kampung, dia menceritakan bahwa Bapak yang dikabarkan sudah meninggal tidak jadi menninggalnya. Bagi saya ini seperti lelucon. Tapiternyata di sini katanya, kalau ada anaknya yang masih ditunggu atau menjadi pemberat dia meninggalkan dunia, maka orang tersebut tidak akan meninggal dulu. Dia akan menunggu anaknya pulang. Nah, setelah itu daripada kita langsung pulang ke penginapan akhirnya kita kembali lagi ke Kampungnya Deddy. Di sana kita ngobrol sambil makan mie rebus lagi. Hari itu terakhir kali kita berkunjung ke Kampung.Teman saya pun Morrison punya permintaan terakhir kepada Deddy, dia dimintanya berpakain tradisional lengkap dan memintanya agar bersedia difoto tentu dengan memberi imbalan yang pas. Itulah moment terakhir kita berada di Kampung.
Oh ya sebelum kelupaan, ada satu hal yang menarik ketika berada di Wamena. Saya bersama teman-teman yang lain latah menyapa warga kampung dengan “Wah Wa wa wa” ... Istilah itu artinya semacam Hallo atau selamat datang. Malahan Niky bilang diantara kami, Morrisonlah yang tepat intonasi pengucapannya.
14 Agustus 2013, Mendaki Sogokmo
Hari ke empat kita tidak kembali ke arena festival
Baliem, melainkan punya agenda lain, yaitu mendaki Sogokmo. Jam 8 pagi
berangkat dari penginapan. Sebelumnya kita isi bensin dulu. Betapa
tercengangnya saya, waktu melihat harga bensin di Wamena. Satu liternya mencapai
Rp. 19.000,- Katanya harga antara siang dan malam itu berbeda. Pada waktu malam
hari bisa mencapai Rp. 35.000,- Kalau lagi bisa mencapai Rp. 50.000, kata Yudi.
Hal itu tidak mengherankan, teman kami Yudi bahkan bilang
pasar-pasar tradisional di Wamena ramainya di sore hari. Karena dipagi hari
harganya masih mahal, kalau di sore hari menjelang tutup, harga biasanya turun.
Oh ya, satu hal lagi, selama di Wamena kita tidak boleh
sembarang memotret. Hal ini memang berulang-ulang diingatkan oleh Mbak Evi. Di
pasar tradisional yang didatangi pun, tak seorang pun dari kami yang berani
ambil foto. Apabila tertangkap basah oleh orang yang menjadi objek foto kita
bisa dimintai uang.
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan dari Penginapan
sampailah kami ke Pos Pertama masuk Sogokmo. Sampai di sana kami buang air
kencing dulu di semak-semak. Karena kalau sudah mendaki akan sulit. Nah, di Pos
pertama ini kebetulan ada warung kecil. Sebenarnya bukanlah warung namanya,
tapi ada bangku kecil untuk menjual makanan kecil dan ada dua Ibu yang sedang
membuat noken sekaligus menjaga jualannya. Sambil iseng saya ambil fotonya
lewat Handphone. Tangan saya gatal, lalu saya keluarkan Kamera SLR. Saya beri
Permen kedua Ibu itu, tapi menyadari ada yang memotretnya pakai kamera SLR dia
pun minta uang. Jadi mau tidak mau saya beri mereka uang Rp. 5000,-
Membuat Noken |
Tak lama setelah itu, kami mulai mendaki Sogokmo. Jalan
kaki masuk ke perkebunan, melewati jembatan dan sungai. Sesekali berhenti untuk
ambil foto. Adapun yang ikut mendaki adalah, Mbak Evi, Saya, Niky, Morrison,
Yudi, Petter, Yerri dan Deddy (guide lokal). Nah, kalau Petter sebenarnya
paling muda diantara kita. Bisa dibilang anak SMP. Dia temannya Yudi. Diminta
ikut untuk menjadi Potter. Kalau menurut Yudi sih Petter itu preman bandara. Meskipun
kecil tapi orang-orang dibelakang dia adalah preman-preman. Dia bisa naik
pesawat lokal Gratis bermodal kedekatan dengan orang-orang bandara dan juga
pilotnya.
Selama perjalanan menuju bukit Sogokmo, kita juga bertemu
dengan seorang pace. Alhasil kita pun meminta sang Pace untuk berpose sesuai
dengan arahan kita dan diakhir kita patungan membayarnya. Selain itu, kita juga
bertemu dengan seorang penjual alpukat. Mbak Evi melakukan tawar menawar harga
dan ketika itu juga dia melihat sang Mama (penjual) tidak ada jari tangannya.
Lalu, kita pun dengan ijinnya minta untuk memotretnya. Di Wamena, perempuan
yang tidak memiliki jari tangan ada sejarahnya. Katanya kalau ada anggota
keluarga yang meninggal, misalnya suami meninggal karena berperang, atau ada
salah satu anggota keluarga yang dicintai, maka sang istri akan melakukan
potong jari dengan batu. Tapi tradisi ini sekarang sudah jarang dilakukan, kata
Mbak Evi. Nah, sewaktu berkunjung ke
stand pameran, saya bertemu dengan penjual batu pemotong jari. Tapi tidak
membelinya. Mbak Evilah yang beli.
Ibu yang Melakukan Pemotongan Jari |
Dari awal perjalanan mendaki, saya berpikir benar-benar
akan trekking. Tapi setelah mendaki Sogokmo, ternyata jalur yang diambil oleh
guide lokal kita berbeda dengan jalur trekking umumnya. Bayangkan kita mendaki
tebing yang terjal. Ya tebing yang hampir tegak lurus. Alhasil ini membuat Pendaki perempuan harus digandeng ketika
mendaki. Ketika berpikir bahwa kami akan segera sampai di puncak, ternyata
masih ada bukit lagi yang masih harus dilalui. Nafas saya pun terengah-engah.
Akh, bukan hanya saya saja ternyata, tapi teman lainnya juga saya yakin seperti
itu, kecuali guide lokal yang sudah terbiasa dengan alam Wamena. Selama
pendakian ini kita beberapa kali berhenti untuk beristirahat dan mengambil
nafas. Di situasi seperti itu, masiha ada teman yang bercanda, dan ini membuat
saya marah. Saya larang teman-teman untuk tertawa karena akan membuat situasi
semakin capek. Untuk memberi tambahan energi saya ambil minum dan makan permen
ketika berhenti.
Akhirnya setelah kurang lebih satu jam mendaki Sogokmo,
akhirnya kita sampai juga puncaknya. Niky yang waktu itu melihat jam tangannya,
mengatakan bahwa kita berhasil menundukan puncak Sogokmo yang memiliki
ketinggian 1890 meter.
Mbak Evi and The Team |
Setelah mencapai puncak kita berteduh dan makan siang
dibawah pohon. Sambil beristirahat, Morrison waktu itu mengatakan kalau Petter
yang dibilang Preman Bandara sempat menangis ketika mendaki Sogokmo. “Petter,
kamu nangis tadi dibawah”, ledeknya. Seakan tidak percaya, saya pun tiba-tiba ikut
tertawa. Setelah selesai makan dan dirasa sudah cukup istirahatnya kita pulang.
Naik dan turun Sogokmo memang sama-sama penuh perjuangan. Selama menuruni
Sogokmo ini, Yudi tambah meledek Petter yang takut ketinggian begitupula
sebaliknya, Petter mulai meledek Yudi yang takut jembatan. Karena takut dijegal
di Jembatan, Yudi berlomba dengan Petter untuk sampai duluan di jembatan.
Oh ya, sewaktu menuruni Sogokmo, kami menemukan sebuah
pemandangan berupa Kolam dengan airnya yang keruh, nampaknya bekas tambang.
Tapi entahlah itu pastinya bekas apa. Tapi sekelilingnya becek. Kita tidak
mendekat tapi cukup melihatnya dari jauh. Pemandangan seperti itu kalau
dibiarkan dapat merusak kesimbangan alam.
15 Agustu 2013, Kembali ke Jayapura
Hari ke lima, agenda kita adalah kembali ke Jayapura.
Ketika tiba di bandara Sentani, terjadi masalah, bagasi dari tiga orang teman
saya masih di Wamena. Ketika di konfirmasi ke pihak maskapai, katanya bagasi
tidak dibawa oleh maskapai yang sama tapi dibawa oleh pesawat kargo. Semoga ini
menjadi perhatian semua pihak, bahwa penumpang harus diberitahu terlebih dahulu
mengenai prosedur pelayanan yang ada termasuk perubahannya.
Pada akhirnya, bagasi teman-teman saya bisa diambil
kemudian.
Di Hari ke lima di Jayapura ini, kita menghabiskan waktu dengan
berkunjung ke Kampung Ase dan Ayapo. Kampung Ase merupakan pusat pembuatan seni lukis dengan media kulit kayu.
Di sini kita bisa melihat proses melukis secara langsung dan bisa membeli hasil
kerajinan tangan penduduk. Sementara itu, kampung Ayapo sebenarnya tidak
berbeda dengan Ase, mereka hidup di rumah yang dibangun di atas air danau tapi
penduduk kampung Ayapo tidak membuat lukisan.
Pelukis di Kampung Ase |
Ketika hendak pulang dari Kampung ini, perahu kita
mesinnya rusak. Akibatnya beberapa menit kita terombang ambing di tengah danau.
Beruntungnya ada perahu lain yang lewat. Kita jadi pindah perahu. Perahu yang
mesinnya rusak jadi menepi, kedua orang awaknya memastikan bisa memperbaikinya
kembali.
Sore harinya kita pergi ke Mac Arthur. Di sini ada tugu
Mac Arthur untuk mengenang bahwa Sekutu di Bawah Pimpinan Mac Arthur pernah
membuat pertahanan di Jayapura. Waktu ke sini, ada dua orang yang sedang
mengecat tugu ini. Hal ini dilakukan dalam rangka peringatan hari Kemerdekaan, 17
Agustus 1945.
Tapi sayang karena
cuacanya lagi jelek, tidak mendapatkan sunset yang bagus. Di sini kita hanya
saling mendengarkan cerita satu sama lain sambil menikmati kota Jayapura.
16 Agustus 2013, Kembali ke Jakarta
Hari keenam sebelum kembali ke Jakarta, kami mengejar
sunrise dulu di pantai Base-G. Namun sayang, sunrisenya tidak sempurna.
Selepas
dari sini kita ke pasar Hamadi terlebih dulu. Pasar Hamadi tidak berbeda jauh
dari Pasar tradisional umumnya. Hanya saja di sini ada dijual makanan khas
Papua seperti Sagu.
Pasar Hamadi |
Selepas dari Pasar Hamadi, kita mencari sarapan dan
kembali ke hotel. Setelah mandi dan packing selesai saya meninggalkan Jayapura kembali ke Jakarta.
Sementara teman-teman yang lainnya keesokan harinya baru pulang.
Itulah rangkaian Festival Baliem yang saya saksikan
secara langsung. Sangat berkesan dan terpesona dengan kebudayaan Indonesia. Apabila
ada kesempatan ingin kembali lagi ke sana.
Selamat Menjelajahi Nusantara All :)
Teteh akhirnya di publish juga....
ReplyDeleteDisana emang gitu ya teh, tiap ada yg poto suka dimintain duit? (pernah liat juga di acara tv, reporternya dimintain duit gegara poto2).
Harga bensinnya lucu, pagi sama malem beda.
nyobaan papeda ga teh? :)))
Nice post teh...
Akh gak coba Papeda Tri, next time ... iya di sana kalau mau motret harus hati-hati, lebih baik tanya dulu tuan rumah :)
ReplyDeleteHaduh tulisannya komplit pisan. Saya serasa bernostalgia untuk hal-hal tertentu. Kapan-kapan pengen juga balik ke sana lagi.
ReplyDeleteKeren. Keren abis deh tulisannya.
Ketika beberapa waktu lalu tulisan ini muncul (aku tahunya dari FB), saya baca, tapi lantaran keburu-buru, saya bacanya sepintas.
ReplyDeleteIni pagi lagi libur, tiba-tiba inget tulisannya dik Amy yang bacanya waktu itu cepet-cepet. Trus pas baca ini lagi, kok kayaknya seru banaget ya perjalanannya. Waaaahhhh, tulisannya komplit banget. Bener-bener jadi kepengen ke sana lagi lho, soalnya waktu ke sana, saya nggak pas festifal. Jaman dulu festifal mereka belum di ekspose. Cuman transportasinya keukeuh ya masih begitu-begitu juga dari dulu. MAsih terbatas.
Oke, ditunggu postingan berikutnya.
Iya Ibu ... terima kasih ... ingin ngebolang bareng sama Ibu lagi ... kapan ya bisa???
ReplyDeleteHallo Mba.. Saya suka sekali sama fotonya, saat ini kebetulan saya membutuhkan foto festival Baliem. Boleh minta kontak email atau telfon untuk bisa dibicarakan dengan mba?. Email saya beforerainbow@gmail.com
ReplyDelete