Travellingnya sudah lama, bulan Desember 2012 lalu, tapi Posting Blognya baru sekarang.
Oke, seperti inilah ceritanya.
Jelajah
Flores Overland yang saya lakukan di bulan Desember tahun 2012 lalu sebagai travelling
penutup akhir tahun. Sungguh
merupakan jelajah yang luar biasa, karena hanya saya seorang diri, tiada teman
dari Jakarta yang ikut serta. Bahkan saya juga tidak bekerja sama dengan sebuah travel agent.
Hanya membuat sebuah rundown jelajah yang berisikan tempat dan tujuan jelajah
selama satu minggu di Flores.
Faktor
utama yang mendorong saya ke Flores adalah ketika pada suatu hari dinas kantor
dan mendapati sebuah Foto Kampung Tradisional Bena dalam majalah Garuda, hingga
membuat penasaran ingin berkunjung ke sana. Setiap hari mengecheck tiket
pesawat dan googling semua tentang Kampung Bena. Hingga pada akhirnya
mengantarkan saya berkenalan dengan seorang guide wisata dari Bajawa yang
bernama Wihelmus atau biasa dipanggil Wiliam.
Berdasarkan
keterangan dari Wiliam lah saya mengambil rute jelajah, masuk dari Jakarta-
transit di Denpasar-Labuan Bajo-Ruteng-Ende-Maumere. Ya, saya masuk dari Labuan
Bajo dan pulang lewat Maumere. Tiket pesawat dipesan jauh hari sebelum
keberangkatan, tepatnya di bulan Agustus, tiket sudah ada ditangan.
Keberangkatan, 21 Desember 2012
Untuk
jelajah Flores Overland selama satu minggu, mulai dari tanggal 21-28 Desember
ini, saya ambil cuti selama 3 hari. Dimulai dari tanggal 26-28 Desember. Karena
tanggal 24-25 Desember cuti bersama natal. Pesawat Jakarta – Denpasar untuk tanggal
21 Desember berangkat malam hari pukul 20:40 WIB. Tiba di Denpasar pukul 23:30
WITA. Dikarenakan saya beli tiket
pesawat dari Denpasar menuju Labuan Bajo tanggal 22 Desember dengan
keberangkatan siang hari jam 13:35 WITA, akhirnya mau tidak mau saya harus
menginap dulu selama transit di Bali. Bisa saja menunggu di Bandara, tapi hal
itu tidak akan membuat saya nyaman dan dapat cukup beristirahat.
Selama
transit di Bali ini saya menginap di Bliss Wayan hotel, itu pun hasil googling
ketika pesan taxi Bandara. Karena mereka (taxi) akan meminta tujuan kita. Setibanya di Hotel, saya lihat designnya
unik. Tema hotelnya surfing. Ya, dapat dilihat gambar surfing bahkan dari luar
hotel pun dipasang dekorasi papan Surfing. Saya suka tempatnya karena bersih
dan tidak terlalu ramai. Saya bermalam di kamar standar dengan double bed.
Pagi
harinya sebelum berangkat menuju Labuan Bajo, benar-benar dimanfaatkan untuk
melihat Monumen Tragedi Kemanusiaan dan Tanah Lot dengan taxi. Kurang lebih dua jam di Tanah Lot, kemudian
kembali hotel untuk check out dan menuju Bandara untuk melanjutkan perjalanan
ke Labuan Bajo.
22 Desember menuju Labuan Bajo
Di
Bandara Ngurah Rai, chek in dilakukan di sebuah gedung baru dan masih dalam
proses pembangunan. Saya menunggu di waiting room gate 17. Pukul 13:35 WITA
pesawat Wings Air dengan Flight JT 1830 pun terbang menuju Labuan Bajo. Pesawat
pada hari itu terhitung penuh. Diantara penumpang lokal terlihat juga beberapa
wisatawan mancanegara. Saya duduk di seat 18C dekat jendela dan disebelah saya
duduk seorang Ibu yang hendak ke Ende. Jadi, pesawat itu berhenti di Labuan
Bajo untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Ende.
Pukul
14:55 WITA pesawat mendarat di Bandar Udara Komodo Labuan Bajo. Saya turun
dengan rasa haru dan luar biasa, bahwa akhirnya saya menginjakkan kaki di Labuan
Bajo, dan Solo Travelling atau jelajah sendiri ini benar-benar menjadi
kenyataan.
Bandar
Udara ini terlihat sederhana dan masih alami. Jadwal Pesawat pun nampaknya
diatur sedemikian rupa, disesuaikan dengan kondisi bandara. Para penumpang
pesawat yang turun di Labuan Bajo berjalan memasuki ruang kedatangan yang
ukurannya kecil. Di sini saya pesan taxi bandara. Ada hal yang unik tertangkap
oleh saya, ternyata pintu keluar dari bandara ini dikunci oleh petugasnya.
Alasan yang kudengar katanya supaya tidak diserobot masuk para supir angkutan.
Para
penumpang yang terlihat sebagai turis nampaknya dijemput oleh
travel agentnya masing-masing. Hanya saya yang lepas sendirian. Berdasarkan
tiket taxi yang kupesan tadi, saya berjalan mengikuti sang supir. Ada rasa
sedikit kekagetan waktu tahu ternyata taxi di sana bukanlah taxi seperti
bluebird yang jenisnya adalah mobil sedan kecil melainkan Suzuki AVP. Rasa
takut pun sempat datang menghampiri, karena melihat kendaraan yang besar dengan
penumpang seorang diri. Terlontar tanya dariku kepada sang Sopir.
“Mobilnya
besar sekali, penumpangnya hanya saya sendiri ya?”.
“Iya”
katanya sambil tersenyum.
Pada
sopir yang bernama Lexi itu saya minta untuk diantarkan ke Hotel Blessing.
Hotel ini dipilih berdasarkan saran dari Wil. Ya, dia akan membantu saya
mengguide selama di Bajawa ketika melihat Kampung Tradisional Bena.
Dalam
perjalanan menuju Hotel, saya banyak bertanya pada Lexi sang Supir. Dia lalu
menyarankan kalau saya hendak mencari barengan ke Pulau Rinca, lebih baik
bertanya dulu ke Tourist Service siapa tahu bisa join dengan rombongan lain.
Kita pun berhenti dulu sebentar di Parama.
Mbak
Ningsih, yang kita jumpai di Parama, mengatakan bahwa besok atau tanggal 23
Desember ada dua orang yang mau ke Pulau Kanawa dan Pulau Bidadari, saya bisa
gabung katanya. Tapi tujuan saya dari awal tidak hendak berkunjung ke
Pulau-pulau itu. Pulau-pulau seperti itu dalam benak saya dapat dilihat di
Kepulauan Seribu yang ada di Jakarta. Bahkan diantaranya pernah saya kunjungi.
Jadi, tidak akan jauh berbeda dengan yang ada di sana.
Saya
tanya Mbak Ningsih harga sewa kapal kalau mau ke Pulau Rinca dan Pink
Beach. Mbak Ningsih bilang harga sewa
kapalnya sekitar Rp. 1,3 juta. Karena ke Pink Beachnya jauh ada sekitar empat
jam katanya. Maka disepakatilah harga sekian dengan rute Pulau Rinca lalu
lanjut ke Pink Beach. Harga itu akan lebih murah seandainya pergi dalam satu
rombongan.
Batu Cermin
Selepas
dari Parama, tidak langsung ke Hotel, tapi Lexi mengantarkan saya untuk melihat
Batu Cermin. Informasi mengenai Batu Cermin ini saya dapatkan dari googling.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 20 menit menuju lokasi. Tiba di lokasi sangat
sepi. Di sana ada beberapa orang guide yang sedang duduk menunggu pengunjung.
|
Pintu Masuk ke Gua |
Saya
pun langsung bayar tiket masuk, lalu diantar guidenya Bapak John menuju Batu
Cermin yang merupakan sebuah Gua. Ada kurang lebih 300 meter berjalan menuju Gua
ini.
Berdasarkan
keterangan dari Bapak John di dapat sebuah informasi yang mengatakan bahwa Gua
Batu Cermin ini ditemukan pada tahun 1951 oleh seorang misionaris Belanda yang
bernama Theodore Ver Hofen.
Mengapa
disebut Gua Batu Cermin?
Hal
ini dikarenakan di atas Gua itu ada sebuah lubang kecil, lalu apabila matahari
masuk melewati lubang ini dan mengenai air yang tergenang di dalam gua akan
memantulkan cahaya ke dinding yang ada di dalam Gua. Pantulan cahaya ke dinding
inilah yang disebut sebagai batu cermin.
Pertanyaan kemudian, dari manakah
datangnya air dalam Gua? Menurut Pak John, genangan air itu
terjadi apabila ada hujan.
|
Lubang Pada Dinding Atas Gua |
Hal
yang pasti ketika saya berkunjung ke dalam Gua Batu Cermin adalah dapat melihat
stalaktit, stalagmit, Laba-laba hitam dan kalong.
Satu
hal yang perlu diperhatikan ketika berkeliling ke dalam gua ini harus hati-hati
dan helm harus terus dipakai karena kepala bisa terbentur dinding gua. Guide
juga sudah menyiapkan lampu senter ketika masuk ke dalam gua.
Kurang
lebih satu jam mengelilingi gua, kemudian keluar lewat jalan yang berbeda dari
jalan masuk tadi.
Di
Gua saya hanya bertemu dengan dua orang turis lokal dan guidenya setelah itu
tidak ada lagi yang datang karena hari sudah sore. Ternyata kata Pak Jhon, ada beberapa artis
yang sudah pernah berkunjung ke sana.
Selepas
dari Batu Cermin, langsung menuju hotel Blessing. Tempatnya persis berada di
pinggir jalan dan posisinya lebih tinggi dari jalan itu. Harga sewa kamar satu malam di hotel ini
bervariatif dari seratus lima puluh ribu sampai empat ratus ribu rupiah. Saya
pilih yang dua ratus ribu rupiah. Fasilitasnya ada dua tempat tidur, lemari,
meja dan kamar mandi.
Saya
pun istirahat sebentar lalu mandi. Setelah itu, menghubungi Wiliam dengan
maksud mengabari sudah sampai di Labuan bajo dan menanyakan tentang Pink Beach.
Ketika bilang padanya bahwa besok saya hendak pergi ke Pulau Rinca dan juga
Pink Beach dengan biaya totalnya Rp. 1,3 juta. Wiliam mengatakan itu terlalu
mahal dan katanya lagi, lebih baik ke Pulau Rinca dan Pulau Bidadari saja
daripada ke Pink Beach.
Dari
awal memang ingin ke Pink Beach, dengan alasan ingin melihat pasir yang
berwarna pink itu dan juga ada teman yang menitip untuk dibawakan pasirnya.
Tetapi kemudian Wiliam mengatakan jangan mengasumsikan warna pink itu pink
sekali. Pada dasarnya kata Wiliam, orang ke Pink beach itu sekalian lewat saja
ketika akan ke Pulau Komodo.
Keputusan
akhir pun diambil, dengan persetujuan Mbak Ningsih dari Parama dan juga
sepengetahuan Wiliam bahwa perjalanan esok hari akan mengambil rute Pulau
Rinca-Pulau Bidadari dan kembali ke Labuan Bajo. Dikarenakan perubahan rute
inilah harga sewa kapal pun berubah dari Rp. 1,3 juta menjadi Rp.
700.000,-
23 Desember 2012, ke Pulau Rinca dan Pulau Bidadari.
Jam
6.00 pagi saya sudah siap dan berada di Travel Parama menunggu Lexi yang akan
menemani saya ke Pulau Rinca. Lexi sang supir Travel dari Bandara itu dipilih
untuk menemani perjalanan saya. Hal ini dikarenakan staf dari Mbak Ningsih yang
akan turut bersama saya berhalangan.
Dari
Parama kita berjalan kaki sekitar 250 meter ke Pelabuhan. Di sana sudah ada Pak
Bandi sebagai Kapten dan Kakaknya, Pak Kamarudin yang sedang mempersiapkan
perahunya.
|
Perjalanan ke Pulau Rinca |
Saya
satu-satunya turis yang berada di dalam perjalanan itu. Jikalau ada teman-teman
yang turut serta tentu akan lebih seru lagi. Jadi, total yang ada dalam perahu
itu berjumlah empat orang, saya, kapten, Lexi, dan Pak Kamarudin.
|
Pemandangan Bukit Hijau |
Jam enam lebih perahu
berangkat ke Pulau Rinca dulu. Pelayaran kali ini ditemani sunrise dan
bukit-bukit yang hijau. Sungguh Indah Flores ini, semuanya masih alami.
Dalam
pelayaran, kita dapat melihat pulau-pulau lain. Selain itu, Pak Bandi
menunjukkan sebuah Kampung penjaga yang berada di atas laut letaknya agak
dipinggir bukit. Bahkan saya terkejut ketika Pak Bandi menunjukan pada sesuatu
benda di tengah laut yang ternyata itu adalah seekor lumba-lumba. Ketika akan
kuambil fotonya, lumba-lumba itu segera menghilang. Pak Bandi katakan, deru
mesin kapal yang membuatnya takut.
Dua
jam perjalanan dari pelabuhan akhirnya kita sampai ke Pintu masuk Pulau Rinca,
tepatnya di Loh Liang. Long yang artinya teluk dan liang artinya lubang.
|
Pintu Masuk ke Loh Buaya |
Terlihat
di sana ada beberapa buah kapal yang sedang menepi. Di Pintu masuk, saya dan Lexi
disambut para ranger. Mereka adalah guide yang akan mengantarkan kita trekking
di Pulau Rinca melihat Komodo. Ranger yang menemani saya Trekking bernama
Yongki. Sebelum melakukan trekking, kita
harus membayar tiket masuk terlebih dulu di sebuah Pos. Total biaya masuk Pulau Rinca adalah Rp.
77.500,- sudah termasuk karcis pengambilan gambar/Foto. Setelah itu, saya
dijelaskan tentang rute Trekking dan peraturannya.
Ada tiga
jenis trekking yang ditawarkan, long trekking, medium trekking dan short
trekking. Saya pilih yang Long trekking dengan perkiraan waktu 2 jam. Dari awal penjelasan, Yongki, ranger kami itu
mengatakan bahwa karena Pulau Rinca ini
sangat luas wilayahnya dan Komodo itu adalah wild animal, makanya tidak ada
jaminan kita bisa bertemu dengan Komodo selama Trekking. Namun, kita pasti bisa
melihat komodo di dapur jelasnya.
Setelah
disepakati mengambil Long Trekking, maka trekking pun dimulai. “jangan jauh-jauh
mbak dari ranger, karena kita tidak bisa memperkirakan Komodo akan datang dari
arah mana, bisa saja tiba-tiba menyerang”, katanya.
Yongki
memang berjalan di depan sambil membawa tongkat sebagai senjata adalannya untuk
berjaga-jaga apabila diserang Komodo dan saya berjalan tepat dibelakangnya.
Sementara Lexi berjalan di belakang saya.
Selama
Trekking Yongki menjelaskan bahwa selain di Pulau Komodo, kita dapat melihat
Komodo itu diantaranya di Pulau Rinca yang merupakan pulau kedua terbesar
setelah pulau Komodo dengan luasnya mencapai 2700 hektar lebih, Pulau
Gilimotang, dan Pulau Nusakode. Tapi, Komodo paling banyak terdapat di Pulau
Rinca.
Pulau
Rinca termasuk bagian dari Taman Nasional Komodo (TNK). Di Taman Nasional
Komodo ini terdapat tiga pulau yang besar yaitu, Pulau Komodo, Pulau Rinca dan
Pulau Padar. Selain itu, di TNK juga terdapat tiga desa yaitu, desa Komodo,
desa Rinca dan desa Papagaran.
Yongki
melanjutkan penjelasannya bahwa Komodo memiliki penciuman yang sangat tajam. Dia
dapat mencium dari Jarak 5 Km. Itulah mengapa perempuan yang sedang haid sangat
beresiko untuk diserang Komodo. Menurutnya karena Komodo sangat sensitif
terhadap darah. “Beberapa waktu yang lalu ada ranger kami yang diserang komodo
semata-mata demi melindungi pengunjung yang ternyata sedang haid”, tuturnya.
Pengunjung
harus menjada jarak dengan komodo. Jaga jarak yang ideal antara pengunjung
dengan Komodo adalah 5-6 meter. Komodo dapat berlari dengan kecepatan 18km/jam
dan dapat hidup dalam rentang waktu 5 – 60 tahun. Komodo adalah hewan
karnivora, dia tidak makan setiap hari. Komodo makan sekali dalam sebulan
dengan porsi 80 persen dari berat badannya. Setelah makan, mereka akan
beristirahat selama satu sampai dua bulan dan kemudian memburu lagi. Tapi kalau
makannya sedikit, komodo akan beristirahat satu sampai dua Minggu. Makanan komodo adalah hewan liar seperti
monyet, kerbau, babi dan rusa.
Komodo
juga bisa berenang sampai 500 meter. Tapi tidak bisa berenang dari satu pulau ke
pulau lainnya kecuali dekat jaraknya. Posisi komodo apabila sedang dalam air
gerakannya cepat. Komodo juga tidak suka cuaca yang terlalu panas dan terlalu
dingin.
Setelah kurang lebih satu
jam trekking, sampai juga di sarang komodo. Di sini kami bertemu dengan seekor
Komodo. babi hutan, ayam hutan dan burung maleo. Sayang, babi hutannya cepat
berlari menghilang ketika saya mengendap-endap untuk memotretnya.
|
Seekor Komodo di Sarangnya |
Namun,
moment yang lebih mengejutkan dan luar biasa bagi saya adalah ketika bertemu tiba-tiba
dengan dua ekor Komodo yang sedang
berkejaran. Menurut ranger, dua komodo itu sedang bertengkar. Karena
disinyalir, dari dua komodo betina itu
yang satunya telah mengganggu sarang komodo betina lainnya. Sementara di sarang
itu terdapat telur Komodo.
“Komodo
selain memakan hewan liar, juga bisa memakan telur komodo itu sendiri dan
bahkan anaknya juga bisa dimakan”, ujar Yongki.
Lebih
lanjut Yongki menjelaskan bahwa Sarang Komodo awalnya merupakan sarang yang
dibuat oleh Burung Maleo. Lalu, komodo mengambil alih sarang burung Maleo itu
untuk meletakan telurnya. Di dalam sarang Komodo terdapat beberapa lubang,
namun yang aslinya hanya satu, yang lainnya adalah kamuflase untuk melindungi
telur dari predator lainnya.
Sementara
musim kawin bagi komodo adalah antara bulan Juli – Agustus atau Komodo kawin
hanya satu kali dalam setahun. Bulan September waktunya Komodo betina meletakan
telur-telurnya. Kedalaman lubang untuk meletakan telur komodo sekitar 2 meter.
Komodo mengerami telurnya selama sembilan bulan. Pada bulan Maret – April,
telur komodo akan menetas. Satu komodo
betina dapat menghasilkan sekitar 15 – 30 butir telur.
Tidak
semua telur menjadi anak komodo. Normalnya, 2-4 butir telur yang dapat
berkembang dengan baik menjadi anak komodo.
Bahkan terkadang tidak ada satu pun dari telur yang menjadi anak komodo.
Anak
komodo ketika menetas ukurannya sebesar 35 cm dan hidup di atas pohon.
Makanannya adalah tokek, ulat, ular kecil dan cicak.
Tak terasa trekking yang kita lakukan sudah
sampai di Dapur. Di sini kita bisa melihat komodo yang sedang beristirahat
dibawah kolong rumah panggung. Trekking pun berakhir dengan waktu tempuh
sekitar 1,5 jam lebih cepat dari yang diperkirakan.
Pulau Bidadari
|
Pulau Bidadari |
Keluar
dari Pulau Rinca, kita menuju ke pulau Bidadari sekitar 2 jam perjalanan. Di
sini kita bisa snorkeling. Di sini juga
terdapat cottage. Hanya tamu cottagelah yang berhak untuk masuk. Sementara tamu
luar, tidak bisa karena pintunya di tutup.
Di sini saya hanya ambil
foto dan melihat pasirnya. Kata Mbak Ningsih dari Parama, pasir di Pulau
Bidadari warnanya agak pink juga, dan setelah lihat memang benar. Di pasir itu
terdapat pecahan karang berwana pink.
Hal ini membuat pasir di sini sedikit berwarna pink.
24 Desember 2012, perjalanan ke Bajawa
Tanggal
24 Desember jam 6.00 pagi saya meninggalkan Labuan Bajo menuju Bajawa,
Kabupaten Ngada lewat Ruteng dengan
sebuah travel. Waktu yang ditempuh dari Labuan Bajo ke Bajawa 8 – 9 jam. Kalau
kita sewa mobil secara private, kita bisa singgah dulu untuk melihat sawah
laba-laba dan juga situs kerangka Homo Florosiensis.
|
Longsor |
Ditengah
perjalanan ke Ruteng, kita dikejutkan dengan terjadinya sebuah longsor di
jalan. Alhasil mobil travel pun berhenti dulu. Karena jalannya harus
disterilkan dulu. Setelah dua orang warga membawa sekop kecil, tanah longsor
pun dapat disingirkan. Kendaraan dapat lewat sebagaimana mestinya.
Setelah
empat jam, Travel yang menuju Bajawa berhenti di Ruteng. Saya turun di depan
toko Sentosa Raya. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Bajawa dengan travel
jurusan Ende. Travel kemudian singgah sebentar di warung makan Samudera di
Aimere. Di Aimere cuacanya cukup panas. Setelah
cukup beristirahat kita melanjutkan perjalanan ke Bajawa. Akhirnya setelah
kurang lebih sembilan jam perjalanan dari Labuan Bajo, sampai juga ke Bajawa.
Di perempatan Bajawa, saya dijemput Wiliam, yang akan menjadi Guide saya selama
berkeliling Bajawa.
Di
Bajawa cuacanya sejuk. Saya menginap di Villa Silverin. Wiliam waktu itu yang
bantu menawar harga untuk menginap. Satu malam dikenai biaya sebesar Rp.
150.000,-
Tanggal
24 itu, seharian dihabiskan dalam perjalanan. Jadi malamnya benar-benar
istirahat.
Tanggal 25 Desember, ke Kampung Bena dan Air Panas Malanage
Tanggal
25 Desember, sebagian besar warga di Bajawa merayakan natal. Tapi itu tidak menjadi halangan bagi saya untuk
berkunjung ke Kampung Bena. Bahkan di Bajawa ini antara penduduk Kristen dan
Muslim, saling menghormati dan bekerja sama atau rasa gotong royongnya sangat
tinggi kata Wiliam.
Saya
dan Wiliam start berkunjung ke Kampung Tradisional Bena pada pukul 10.00 pagi dengan menaiki sepeda
motor. Dari penginapan ke Kampung Bena ada kurang lebih satu jam.
Akses
ke Kampung Bena sangat mudah. Jalannya sudah diaspal. Motor dan Mobil dapat
melaluinya. Di sepanjang perjalanan ke kampung Bena ini pemandangannya sangat
indah.
|
Kampung Bena, Bajawa |
Setelah kurang lebih satu
jam perjalanan, kita sampai juga di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebuu, Kabupaten
Ngada, NTT. Di situlah letak Kampung Bena.
Suasana kampung waktu itu sepi. Kata Wiliam,
penduduknya sedang ke Gereja. Maklumlah itu khan sedang hari natal.
Saya
berkeliling melihat Kampung Bena sambil mendengarkan penjelasan dari Wiliam. Di
pekarangan atau halaman Rumah terdapat Ngadhu yang berjumlah sembilan buah
melambangkan jumlah suku yang ada di Kampung Bena.
|
Ngadhu di Kampung Bena |
Ngadhu
sebagai simbol laki-laki. Satu Ngadhu berpasangan dengan satu Bhaga, sebagai
simbol perempuan.
|
Bhaga |
Selain
Ngadhu dan Bhaga terdapat juga Peu. Peu berhubungan erat dengan Ngadhu. Peu
digunakan untuk mengikat kerbau yang kemudian tali kerbau tersebut akan di
masukan ke dalam lubang yang ada pada Ngadhu sehingga kerbau terangkat dan Warga
bisa dengan mudah memotong tepat dileher kerbau tersebut. Biasanya mereka
melakukan pemotongan kerbau kalau ada acara adat atau seremonial lainnya.
|
Peu |
Warga
Kampung Bena menganut sistem kekerabatan matrilineal, perempuan posisinya kuat.
Di dalam pernikahan mereka bisa menikah dengan orang luar. Kalau pengantin
laki-laki berasal dari luar Kampung Bena, maka ketika mereka masuk ke rumah,
secara otomatis mereka tidak bisa mengambil keputusan. Istrilah yang berhak
mengambil keputusan. Tapi laki-laki tersebut boleh memberikan idenya.
Setelah
mendengarkan beberapa penjelasan dari Wiliam, tak lama kemudian, kampung yang
sepi itu ramai kembali oleh warga yang baru pulang dari gereja. Ketika bertemu
dengan mereka, saya dan Wiliam disalaminya sambil mengucapkan selamat natal
atau Merry Christmas. Kita pun singgah sebentar di salah satu rumah warga.
Rupanya Wiliam sudah kenal dengan mereka. Disuguhinya kita teh manis dan
kopi.
Sambil
beramah-tamah, saya pun melanjutkan pertanyaan baik untuk Wiliam maupun tuan
rumah. Kali ini saya bertanya tentang struktur bangunan rumah. Rumah yang
terdapat di Kampung Bena atapnya terbuat dari alang-alang dan ijuk berfungsi
sebagai tali pengikatnya. Atap rumah yang terbuat dari alang-alang ini bisa
tahan sampai 30 tahun.
Saya
perhatikan di salah satu rumah yang ada di kampung Bena sudah dipasang lampu
atau Listrik sudah masuk ke sini. Ini berarti mereka sudah terpengaruhi oleh
budaya luar. Tapi menurut Wiliam, meskipun sudah ada pengaruh budaya luar yang masuk,
warga kampung Bena masih mempertahankan upacara adatnya. Seremonial atau upacara
adat inilah yang masih dilestarikan dan pelaksanaannya sangat mahal. Misalnya
saja dalam pembangunan rumah adat baru, satu tahapan pembangunan rumah bisa
menghabiskan sepuluh ekor kerbau. Jika pembangunan rumah sudah selesai, maka
upacara adatnya akan lebih besar lagi, bisa menghabiskan 63 ekor kerbau. Sebab inilah
mengapa di kampung Bena, rasa gotong royong dan kehidupan sosialnya sangat
tinggi. Setiap warga dilibatkan ketika ada upacara adat.
Selain
upacara adat yang tetap dipelihara, saya perhatikan juga warga di sini ada yang
masih melakukan nginang (bahasa Jawa), nyeupah (bahasa Sunda) atau makan sirih.
Selanjutnya,
selain Ngadhu, Bhaga dan Peu, kita juga dapat melihat batu megalithikum di
pekarangan perkampungan ini. Ketika saya tanyakan sejarah megalitihikum dan
kampung Bena, kebanyakan warga tidak ada yang dapat menjelaskannya. Oleh karena
itu, setelah selesai beramah-tamah dan ngopi, kita segera menuju ke rumah Bapak
Yoseph Roja untuk berdiskusi mengenai sejarah kampung Bena dan batu
megalithikum.
|
Batu Megalithikum |
Berdasarkan keterangan dari
Bapak Yoseph dikatakan bahwa batu megalithikum ini merupakan kubur batu. Di
sini terdapat sembilan batu. Hal itu sebagai simbol dari para leluhur atau keturunan
bangsawan. Tapi jasadnya tidak ada sini.
Batu
Meghalitikum ini dibawa ke kampung Bena oleh Dhake, manusia yang sangat besar
atau manusia raksasa. Jadi, Dhake datang ke kampung Bena sebelum suku Bena.
Sementara
sejarah kampung Bena, menurut Pak Yoseph berawal dari sebuah kapal. “Kampung
Bena dulu itu adalah sebuah Kapal bernama Rajo Togowolo” kata Pak Yoseph. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya batu yang berfungsi sebagai mesin di kapal
namanya Wo (bunyi), Woza (buih air laut) dan haluannya Mangu (tiang), Lewa
(tinggi). Jadi artinya, tiang kapal yang tinggi.
Lebih
lanjut Pak Yoseph menjelaskan bahwa di kapal ini ada penumpangnya. “ Di kapal
ini dulu ada penumpangnya empat orang. Dua orang laki-laki bernama Oba dan
Nanga serta dua orang perempuan bernama Wijo dan Wajo”, jelasnya.
Mengenai
Wijo ini kata Pak Yoseph bisa dibuktikan dengan adanya batu Wijo yang berukuran
panjangnya 475 meter dan lebarnya 80 meter.
Sementara
sejarah mengenai kapal ini telah ada sejak 1200 tahun yang lalu. Sementara suku
Bena lahir sejak 1150 tahun yang lalu. Suku Bena yang ada di Kampung Bena
awalnya ada sepuluh suku, tapi yang satu pindah ke Deru kata Pak Yoseph. Sembilan suku yang ada di kampung Bena
sekarang ini dari Utara ke Selatan adalah: Suku Dizikae, Suku Wato, Suku Deru
Solomai, Suku Deru Lalulewa, Suku Bena, Suku Ago, Suku Ngadha, Suku Dizi Azi,
dan Suku Kopa.
Oh
ya, populasi di Bena ada sekitar 132 orang.
|
Warga Kampung Bena yang sedang melakukan Nginang atau Nyeupah |
Puas
dengan keterangan yang didapat dari Bapak Yoseph, akhirnya saya meninggalkan
Kampung Bena menuju air panas Malanage.
Air Panas Malanage
|
Air Panas Malanage |
Air
Panas Malanage ini jaraknya dekat dari Kampung Bena, ada sekitar 20 menit.
Ketika sampai di sana sudah ada dua orang perempuan turis asing yang sedang
berendam. Seorang turis bersikap cuek dan yang satu lagi merasa risih dengan
kedatangan kita. Apalagi saya pegang kamera. Oleh karenanya, seorang dari dua
turis itu bersembunyi dibalik batu. Tidak berlama-lama di air panas ini, saya
pun pergi kembali ke Hotel. Di dalam perjalanan pulang kita kehujanan.
26
Desember, Menikmati Gunung Inerie, Ende dan Moni
Gunung Inerie
|
Gunung Inerie |
Tak perlu jalan jauh untuk
menikmati Gunung Inerie. Hanya sempatkan waktu untuk melihat ke belakang dari
penginapan. Maka di sana bisa dinikmati pemandangan indah Gunung Inerie dengan
puncaknya yang mencapai ketinggian 2245 meter. Gunung Inerie bisa terlihat
lebih bagus dari bukit kecil di seberang penginapan saya. Waktu yang terbaik
untuk menikmati Gunung ini tanpa tertutup awan adalah di pagi hari dari antara
jam 6 sampai jam 8.
|
Villa Silverin tempat menginap selama di Bajawa |
Melihat Situs Rumah Pengasingan Bung Karno
Setelah menikmati
pemandangan indah Gunung Inerie, jam 9 lebih saya pun berangkat ke Ende dengan
travel yang sudah dipesan sebelumnya. Perjalanan Bajawa – Ende menempuh waktu
sekitar 3 jam. Dari Ende saya beralih ke Travel tujuan Maumere tapi saya
berhenti di Moni. Sebelum berangkat ke Moni, supir travel menjemput dulu penumpangnya
satu persatu. Oleh sebab itu, saya berkesempatan untuk mampir ke Rumah Bekas
Pengasingan Bung Karno di Ende dan nanti dijemput kembali oleh travelnya
itu.
|
Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno di Ende setelah direnovasi |
Kabar terakhir yang saya
dengar mengatakan bahwa rumah bekas pengasingan Bung Karno sedang direnovasi
dan tertutup untuk umum. Tapi ketika saya berkunjung ke sana Rumah itu sudah
selesai di renovasi dan dibuka kembali untuk umum meskpun papan namanya belum
terpasang dengan benar. Pada waktu itu saya melihat bagian belakang rumahnya
terutama sumur sudah ditembok dan airnya masih ada. Sementara kasur sudah ditempatkan
di masing-masing kamar. Di ruangan depan sudah dipajang kembali lukisan Bung Karno, begitu pun dengan
peninggalan lain seperti keramik, biola, buku-buku bacaan Bung Karno sudah
ditata di dalam lemari. Beberapa buah foto memang belum terpasang sebagaimana
layaknya. Petugas yang ada di sana tinggal melakukan finishing touch atau proses penyelesaian akhir.
|
Sumur di Belakang Rumah setelah Direnovasi |
Selama
kunjungan singkat sekitar 10 menit itu, saya sempat bertanya pada juru pelihara
atau juru kunci bernama Syafrudin yang sudah bekerja selama sepuluh tahun.
“Siapa
pak yang mengusulkan untuk merenovasi rumah bekas peninggalan Bung Karno ini?”,
tanya saya.
“Renovasi
ini merupakan programnya Bapak Budiono. Dia mengusulkan pembangunan ini setelah
datang berkunjung ke sini. Untuk renovasinya sendiri ditangani oleh Yayasan
Ende Flores, yang merupakan suatu perkumpulan orang-orang Flores”, jawab Pak
Syafrudin.
Selanjutnya
Pak Syafrudin mengatakan rumah ini setelah direnovasi belum dilakukan serah
terima kembali. Untuk serah terimanya
sendiri rencananya akan dilakukan bertepatan dengan hari kesaktian Pancasila.
Sebagai tambahan informasi, rumah bekas Bung Karno ini merupakan milik dari
Bapak Haji Abdulah Ambu Waru dan telah menjadi cagar budaya. Sementara untuk
renovasinya sendiri dilakukan mulai bulan Juni – November 2012.
|
Sudut Ruangan di Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno |
Danau Kelimutu
Setelah
dijemput travel di Rumah Bekas Pengasingan Bung Karno, perjalanan pun
dilanjutkan menuju Moni. Tujuannya ke Moni adalah menginap dan pagi harinya
melihat danau Kelimutu. Tapi ternyata ketika travel sampai di hotel Bintang,
Moni, hari masih siang. Saya pun tidak segera masuk kamar, karena memang belum
ada kepastian ada yang kosong. Lalu, diputuskan saja untuk langsung melihat
Danau Kelimutu dengan mengajak Billy keponakan Tobias yang punya hotel.
Tobias ini adalah temannya Wiliam. Tapi saya sudah tahu tentang hotel
Bintang ini dari orang lain terlebih dulu sebelum akhirnya Wiliam mengatakan
tahu dengan sipemilik hotel.
Saya pergi diantar Billy dengan
sepeda motornya. Jarak dari hotel bintang menuju danau Kelimutu ada kurang
lebih 45 menit. Jalannya pun sudah sangat bagus. Tiket masuk untuk dua orang
dan kendaraan menghabiskan Rp. 8000,-
|
Danau Kelimutu |
Setelah
sampai di areal parkir Danau Kelimutu, kita harus berjalan lagi sekitar 1 km. Capek
pun terbayar sudah ketika melihat dua buah danau berwarna yang berdekatan itu
di pelupuk mata. Dua danau yang berdekatan itu, yang satu berwana hijau tua dan
satu lagi berwarna hijau muda. Sementara danau yang satu lagi letaknya
terpisah. Dia ada di puncak, warnanya hitam.
|
Danau warna hitam |
Dan ... it's me :)
|
Narsis di Danau Kelimutu |
Menurut kepercayaan masyarakat di sana Danau kelimutu ini dipercaya sebagai tempat bagi roh jahat. Jadi, kalau ada manusia jahat yang meninggal, rohnya akan masuk ke danau ini. Makanya mereka memiliki istilah lain untuk ketiga danau itu. Nama danau yang airnya hitam dan letaknya terpisah itu dalam bahasa masyarakat setempat namanya adalah Danau Tiwu Atapolo. Lalu, kedua danau yang letaknya berdampingan memiliki nama masing-masing Danau Tiwu Atabupu dan Danau Tiwu Nuwa Muri Koofai. Saya lupa apa artinya. Intinya dua danau yang berdekatan itu untuk roh jahat dari muda-mudi, kalau yang terpisah satu atau yang berwarna hitam itu untuk roh orang tua.
|
Nama Danau versi masyarakat sana |
Setelah puas mengambil foto, kita
pulang dan sebelumnya menikmati telur rebus dan mie rebus di warung yang ada di
pelataran parkir. Di warung ini juga para pedagang menawarkan kain tenun.
Harganya variatif mulai dari Rp. 60.000,- sampai Rp. 200.000,-
Balik
ke hotel sudah maghrib. Kamar pun sudah penuh. Begitu pula di hotel lain yang
ada di Moni sudah terisi penuh. Moni memang daerah yang kecil. Ini artinya saya
tidak dapat kamar di hotel itu. Inginnya langsung pergi ke Maumere, tapi tidak
ada lagi travel yang lewat. Tapi beruntung di sore itu ada Dino. Dia ternyata
temannya Tobias dan Wiliam. Dino pada waktu itu sedang mengguide tamunya, dia
katakan juga tidak kebagian kamar dan bersedia untuk mengantarkan saya ke
Maumere. Akhirnya sore itu pergi ke Maumere dengan diantar Dino.
Ada
kurang lebih 3 jam perjalanan dari Moni ke Maumere. Di Maumere saya menginap di
hotel Gardena. Itu pun atas sarannya Dino. Per malamnya sekitar Rp.
150.000,-
Selanjutnya
dari pertemuan dan tukar pikiran antara saya dan Dino, diketahui beberapa hal.
Salah satunya tentang profesi seorang guide. Hal ini saya tanyakan kepadanya
karena dari kartu namanya tertulis
Licensed Guide & Driver. Menurut Dino, seorang guide yang resmi dia
memiliki sebuah simbol yang dilambangkan dengan burung Cenderawasih. Warnanya pun bermacam-macam, mulai dari warna
hijau yang artinya dia hanya bisa mengguide di wilayah lokal saja, warna Gold
atau emas artinya seorang guide dia bisa memandu sampai luar Pulau. Sedangkan
warna merah untuk dapat mengguide ke luar negeri. Tapi biasanya warna merah ini
dimiliki guide asing. Untuk mendapatkan lambang cenderawsih ini, harus melalui
sebuah ujian, dan itu dilakukan melalui Dinas Pariwisata Pusat, Bali dan
Daerah.
Nah, kalau teman-teman mau jalan-jalan ke Flores, bisa kok menghubungi Dino di sini. Saya mendapat banyak informasi darinya.
27 Desember, Ke Nua Bari, Pantai Koka, Kampung Sikka dan
Kampung Wuring
Nua Bari
v
Hari Kamis, tanggal 27
Desember 2012, saya ikuti sarannya Dino untuk berkunjung ke Nua Bari. Kali ini
ditemani Diego yang juga masih temannya Dino. Saya diantar naik Motor. Dari
Maumere kembali ke Kabupaten Sikka. Hal ini karena Nua Bari letaknya di
Kabupaten Sikka, Desa Lenandareta.
Dari
Maumere ke Nua Bari ada sekitar dua jam perjalanan. Seperti yang telah
dijelaskan Dino sebelumnya bahwa jalan menuju Nua Bari jelek. Itu dapat saya
rasakan sendiri ketika berkunjung ke sana. Jalannya berbatu, bolong dan naik
turun. Hal ini membuat motor yang kami naiki beberapa kali tergelincir, tapi
Diego masih dapat menguasai motornya.
Seandainya
pemerintah daerah mau memberikan perhatian lebih, terutama terhadap fasilitas
jalannya, maka Nua Bari ini akan dapat dikunjungi oleh banyak wisatawan.
Ketika
saya dan Diego sampai di Nua Bari, kami disambut oleh Ibu Lusia dan Ibu Kristin
serta beberapa orang anak. Sambil duduk di tangga Kuwukeda atau Rumah Adat,
kita ngobrol santai dengan mereka.
Kampung
Nua Bari memiliki ciri khas tersendiri, yaitu setiap jasad yang mati akan
dikuburkan didalam sebuah batu. Maka dari itu disebut kubur batu. Kubur batu
ini bisa dilihat di setiap pekarangan rumah. Tidak jauh mereka membuat kubur
batu ini.
|
Kubur Batu |
Saya pun kemudian ngobrol dengan Warga setempat yang dari awal kedatangan kami memberikan sambutan yang hangat.
“Ibu,
tahu tidak sudah sejak kapan penduduk di sini mengubur mayat dalam batu atau
biasa disebut kubur batu?”
“Saya
tidak tahu sejak kapan, tapi sudah ada sejak lama”, jawab Ibu Kristin.
Sayang
memang Ibu Kristin tidak dapat memberikan jawabannya, karena dia sendiri bukan
berasal dari Nua Bari. Suaminyalah yang asli dari Kampung Nua Bari. Menurut Ibu
Kristin yang dapat memberikan penjelasan adalah Bapak Desa, tapi sedang tidak
ada ditempat.
Keterangan
mengenai kubur batu ini baru saya dapatkan dari Dino Lopez, Guide yang sudah
memiliki ijin resmi itu. Lewat BBM, Dino menjelaskan bahwa diperkirakan tradisi
kubur batu ini sudah ada kurang lebih 300 tahun yang lalu.
“Diperkirakan
kubur batu itu sudah ada kurang lebih 300 tahun yang lalu tapi masih dalam
penelitian”, jawab Dino.
“Kemudian
apa maksud warga Kampung Nua Bari menyimpan mayat di dalam Kubur batu?”,
tanyaku lagi.
“Mayat
di Kubur Batu itu menurut kepercayaan orang di sana artinya orang yang
meninggal itu kembali ke perut ibunya untuk kehidupan baru atau lahir lagi
setelah mati. Karena di dalam kubur batu itu posisi mayatnya duduk”, terang
Dino.
|
Berfoto bersama warga Kampung Nua Bari |
Sampai
saat ini warga di Kampung Nua Bari masih melakukan Kubur Batu. Batu tersebut
mereka dapatkan dari lingkungan sekitar. Seperti dari Gunung atau Sungai.
Biasanya menurut Ibu Kristin, untuk membawa batu besar itu, dilakukan dengan
cara mengundang 2-3 kampung. Di Kampung Nua Bari sendiri memang terdapat tiga
kampung.
Apabila
ada orang yang meninggal mendadak, dan belum ada kubur batunya, maka biasanya
menurut Ibu Kristin, jasadnya akan dikubur dulu di dalam tanah. Kalau Kubur
batunya sudah ada baru tulangnya
dipindahkan ke dalam Batu. Hal yang menjadi tantangan dalam Proses Kubur Batu adalah
memahat batunya tersebut. Bisa memakan waktu lama.
Warga
Nua (Kampung) Bari (dari nama orang) beragama Katolik. Di kampung itu terdapat
sebuah Kapela atau gereja kecil. Sekolah Dasar juga ada di Kampung itu. Pada
umumnya warga Nua Bari bertani. Upacara adat yang biasa mereka lakukan adalah
Lokamase dengan memanggil tokoh-tokoh adat dan juga Lokapoo. Upacara adat ini
biasanya dilakukan ketika akan menanam Padi. Mereka akan bermusyawarah kapan
waktunya menanam padi dan bagaimana persiapannya.
|
Rumah Adat di Kampung Nua Bari |
Oh ya, ada cerita yang
mengharukan ketika berkunjung ke Nua Bari. Ini mengenai warisan peninggalan
leluhur mereka berupa gading yang katanya dicuri orang dari Rumah Adat mereka.
Ya Ampun, dasar orang tidak memiliki hati nurani.
Pantai Koka
Keluar dari Nua Bari, kami
lanjutkan perjalanan menuju Pantai Koka.
Hal ini atas saran dari Dino juga. Katanya pantainya bagus. Pantai Koka tepatnya
berada di Desa Wolowiro, Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Keluar dari Jalan
cabang ke Nua Bari, kita masuk kembali ke Jalan raya, kemudian belok kiri
memasuki jalan kecil dengan kondisi jalannya yang buruk menuju ke Pantai
Koka. Jarak dari jalan raya masuk ke
pantai 2,5 km. Hal itu terlihat di papan namanya. Ketika sampai di Pantai ini
hanya ada turis lokal. Beberapa orang anak sedang asyik berenang di Pantai
sebelah kanan. Karena pantainya terbagi dua. Terpisah oleh bukit kecil.
Susananya tidak terlalu ramai. Di pinggir pantai ada perahu nelayan yang siap
mencari ikan. Cukup bersih pantainya. Airnya biru dan dikelilingi oleh bukit. Sementara
pantai disebelah kanannya terdapat batu karang. Diego pun menggambarkan pantai
ini sebagai dream beachnya Indonesia
dan di pantai ini katanya lagi banyak terdapat Ikan Pari.
|
Pantai Koka |
Kampung Sikka
Setelah menikmati pantai
Koka, kami makan siang di rumah makan tepi pantai Paga. Kemudian lanjut ke
Kampung Sikka.
Sebelum cerita tentang Kampung Sikka, ada cerita sedikit, begini .... sewaktu mau meninggalkan Paga itu hujan gerimis, tiba-tiba saja Diego menawarkan untuk membungkus tas kamera dengan kantong plastik atau keresek, lalu talinya dikaitkan dibagian luar, wow, terharu sekali. Saya saja yang punya tasnya gak kepikiran sampai ke sana. Gak tahu idenya dia darimana, soalnya gak tanya.Terima kasih ya.
Kita lanjut kembali ceritanya. Apa
yang dapat kita nikmati di Kampung Sikka?
|
Gereja Tertua di Flores |
Banyak
yang dapat kita nikmati pastinya. Diantaranya kita bisa melihat gereja tertua di
Pulau Flores yang dibangun oleh Portugis pada tahun 1898. Di dalam gereja ini
terdapat sebuah patung Sinyor. Patung ini berdasarkan keterangan dari Kepala
Desa Kampung Sikka, Bapak Riwu, dibawa oleh Raja Sikka dari Malaka. Saat itu
Raja pergi ke Malaka untuk mencari kehidupan kekal. Pencarian kehidupan kekal
ini dikarenakan raja melihat banyak rakyatnya yang meninggal karena penyakit
kolera.
Setelah
sampai di Malaka, Raja mendapat jawaban bahwa tidak ada kehidupan kekal di
dunia ini. Raja pun disarankan harus masuk agama Katolik dan akhirnya dia
dibaptis di Malaka. Raja Sikka ini bernama Don Alesu Ximenes Da Silva. Dia
diangkat menjadi raja pada masa penjajahan Portugal.
Di
tepi pantai kita juga dapat melihat bekas kerajaan Sikka yang kemudian
diketahui kerajaannya pindah ke Maumere.
Maumere merupakan Ibu Kota Kabupaten Sikka. Nama kabupaten Sikka sendiri
diambil dari nama Kampung Sikka.
|
Bekas Kerajaan Sikka |
Penduduk di kampung Sikka mayoritas beragama
Katolik dan jumlahnya 1300 orang, dengan jumlah kepala keluarga (KK) 365
orang.
Kampung
Sikka terkenal dengan kerajinan tenunnya. Selain menenun, penduduknya ada yang
bekerja sebagai nelayan, petani, tukang dan PNS.
Ketika berkunjung ke Kampung Sikka ini ada hal yang membuat saya tersenyum, tahu tidak apa?
Ya, waktu tahu ada tamu yang datang, warga Sikka langsung datang menghampiri kami, mereka membawa kain hasil tenunannya.
|
Penduduk Yang Menawarkan Kain Tenun |
Saya pun akhirnya beli dua buah kain. Setelah tawar menawar yang lumayan lama. Maklumlah, tidak pandai menawar.
Oh ya, Kampung
Sikka sangat kental dengan warisan Portugis. Selain agama, nama juga mendapat
pengaruh Portugis. Hal ini dapat dilihat dari nama keluarga dibelakang,
diantaranya: Da Silva, Da Lopez, Da Gomez, Parera, Pareira, Da Chunya,
Hendriquez, Charwayu, Conterius, Fernandez. Tidak semua nama mendapat Pengaruh Portugis.
Hanya orang-orang yang melakukan pernikahan campuran yang memiliki nama
belakang pengaruh portugis. Kata Kepala Desa, yang saya jumpai itu, dikatakan bahwa Warga di sana bisa berbahasa Portugis. Bahkan kalau Upacara Missa mereka pakai bahasa latin.
Satu lagi peninggalan Portugis yang dilestarikan oleh masyarakat Sikka adalah sebuah tarian yang disebut "Bobu Dance". Bobu artinya Topi. Jadi, Bobu Dance artinya tari topeng. Sayang, kami datang telat satu hari. Kata Pak Kepala Desa sehari sebelumnya ada dipertunjukkan Bobu Dance oleh anak-anak SD. Biasanya Bobu dance ini sering dipertunjukkan setiap hari Natal, atau tanggal 25 Desembe. Menarik sekali ya.
Kampung Wuring
|
Kampung Wuring |
Jelajah terakhir saya
bersama Diego sebelum kembali ke penginapan adalah melihat Kampung Wuring.
Sebuah kampung dimana warganya membangun rumah di atas laut. Keterangan lengkap
mengenai Kampung ini saya dapatkan dari Dino. Berdasarkan keterangan Dino,
Kampung Wuring ini dikenal juga dengan nama
Sea Gypsy. Disebut demikian karena mereka hidup secara nomaden.
“Mereka
hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Kalau ditempat itu bagus untuk
melaut mereka akan tinggal terus. Tapi kalau mereka sudah merasa kurang bagus
untuk melaut, mereka akan pindah. Jadi rumahnya dibuat secara sederhana. Mereka
lebih mementingkan barang, karena rumah sewaktu-waktu bisa ditinggal”, tutur
Dino.
Ada
dua suku yang menempati Kampung Wuring, yaitu suku Bugis dan Bajo. Suku Bugis
menurut Dino jago membuat kapal. Sementara suku Bajo, pintar buat rumah
panggung. Jadi, harus nikah campuran antara Bugis dan Bajo.
28 Desember, Kembali ke
Jakara
Tujuh
hari menjelajah Flores Overland, dari Barat ke Timur, memberikan banyak cerita
dan pengalaman bagi saya. Terutama keberanian bertemu orang-orang baru dengan
budayanya yang berbeda sungguh hal luar biasa. Semua yang saya jumpai merupakan bukti real
bahwa Bangsa Indonesia itu Bangsa yang Berbhineka Tunggal Ika. Bahwa Bangsa
Indonesia Indonesia itu sangat kaya dan
mencintai budayanya sendiri. Meski apapun pengaruh budaya luar yang masuk,
Bangsa Indonesia tetap tidak kehilangan ciri khasnya. Tepat hari Jumat pagi,
tanggal 28 saya kembali ke Jakarta lewat Bandar Udara Frans Seda, Maumere dengan
Pesawat Wings Air. Nomor penerbangan JT 1821 dan duduk sendiri di seat 10F.
Informasi Tambahan:
v Bagaimana Pergi Ke Flores?
Apabila
kita ingin liburan ke Flores, kita dapat mengambil rute masuk dari Labuan Bajo
dan keluar dari Ende atau Maumere. Ataupun sebaliknya, dari Jakarta kita
transit di Bali lalu melanjutkan penerbangan bisa ke Maumere, Ende atau Kupang
dan keluar nanti di Labuan Bajo. Rute tersebut bisa kita ambil apabila kita
punya waktu liburan yang cukup panjang. Kita bisa menjelajah Flores dari barat sampai ke Timur atau dari Timur ke Barat.
v Berapa Biayanya?
A. Biaya
yang harus dikeluakan selain tiket adalah penginapan. Tarif beberapa hotel,
diantaranya:
1. Hotel
Blessing, Labuan Bajo. Harga per malamnya bervariasi. Dari Rp. 150.000,- Rp.
400.000.
2. Hotel
Silverin di Bajawa, per malamnya dari Rp. 150.000 – Rp. 350.000,-
3. Hotel
Bintang di Moni, per malamnya dari Rp. 150.000 – Rp 350.000,-
4. Hotel
Gardena di Maumere per malamnya Rp. 150.000,-
B. Tarif
Kapal
Apabila kita ingin melihat Komodo di
Pulau Komodo atau Rinca, kita harus bayar sewa kapal. Besarnya tarif tergantung
dari rute yang akan kita tempuh. Untuk rute P. RInca – P. Bidadari Rp.
700.000,-
C. Tarif
Travel
Di Flores tidak ada taxi yang ada adalah
travel, angkot dan ojek. Tarif travel antar Kabupaten berkisar antara Rp.
60.000,- Rp. 75.000, Apabila ingin sewa travel private perharinya dikenakan
sekitar Rp. 500.000,- Ojek tergantung jarak jauh dan dekat.
D. Tarif
Masuk Lokasi Wisata
Tarif masuk lokasi
wisata:
1.
Pulau Rinca Rp. 77.500,-
termasuk Retribusi, Pengambilan gambar/kamera, jasa Guide dan tiket masuk.
2.
Pulau Bidadari Free
3.
Rumah Bekas Pengasingan
Soekarno, sukarela
4.
Danau Kelimutu, tiket masuk
Rp. 2500, roda dua Rp. 3000,-
5.
Kampung Tradisional,
sukarela
6.
Batu Cermin, Rp. 20.000,-
7.
Kampung Wuring, free
v Souvenir dan oleh-oleh khas
Souvenir
atau oleh-oleh khas bisa kita dapatkan disetiap lokasi wisata. Misalnya di
Kampung Sikka atau kampung tradisional kita dapat membeli kain tenun dengan
harga variatif antara Rp. 60.000 – Rp. 250.000,-
v Kuliner
Sangat
susah mencari kuliner khas di Flores. Meskipun banyak lautnya, tetapi
pengholahan ikan kurang. Apabila kita ingin makan ikan segar bisa kita dapatkan
di rumah makan atau restauran. Satu
Porsi untuk dua orang makan Ikan Bakar Bisa mencapai Rp. 100.000,- Kata Dino, biasanya tamu akan disuguhi makanan khas
apabila bertamu ke rumah seperti olahan dari ubi atau singkong.