Okey deh, beberapa waktu yang lalu tepatnya bulan Desember 2011, saya pernah pergi ke Surabaya bersama dua orang teman kantor lainnya. Agenda utamanya tentu untuk liputan majalah di kantor. Nah, biasanya saya menulis sebuah artikel untuk rubrik Intermezzo. Tapi berhubung ide ke Gresik itu adalah idenya teman saya, otomatis yang tahu betul daerah itu adalah teman saya. Dan waktu menulis rubrik Intermezzo pun jadinya dua orang.
Alhasil kalau ada dua orang penulis untuk rubrik yang sama dan tema yang sama jadinya tentu ada dua idealisme. Menulis itu memang enaknya sendiri. Kita bebas berkespresi. Nah, saya tulis ulang artikel Intermezzo itu. Ini versi lengkap saya. Soalnya, sayang pas di majalahnya sendiri kita hanya kebagian satu halaman. Sedangkan ide kita untuk menulis bisa lebih dari satu halaman.
Silahkan kalau yang ingin baca liputan kami ......
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Sejarah yang merupakan awal mula atau titik balik dari keberlangsungan suatu cerita, suatu budaya, eksistensi dan lain sebagainya apabila dilupakan dan tidak ada yang mengangkatnya ke permukaan tentu akan musnah. Adalah sebuah komunitas di Gresik, Jawa Timur Surabaya, yang bernama Komunitas Matasegar yang selama ini telah membantu dalam menjaga eksistensi dari Kampung Kemasan Gresik.
Pengrajin Emas Awal Mula Lahirnya Kampung Kemasan
Sebelum membahas mengenai komunitas matasegar, ada baiknya kita lihat dulu apa itu Kampung Kemasan Gresik? Ya, Kampung Kemasan Gresik menurut Bapak Oemar Zainuddin yang ditemui Inforum dan juga anggota dari Komunitas Matasegar mengatakan bahwa Kampung Kemasan namanya berasal dari seorang Tiong Hoa. “ Pada waktu itu ada seorang Tiong Hoa BAK LIE ONG tinggal di daerah ini. Dia keturunan China Keleran yang merupakan pelabuhan kecil. Pekerjaannya sebagai seorang pengrajin emas. Karenanya banyak orang yang datang memperbaiki emas. Oleh sebab itulah namanya menjadi kampung kemasan”, ujar Pak Oemar yang memiliki panggilan akrab Bapak Nut.
Lebih jauh lagi Bapak Nut mengatakan selain pengrajin Emas berdiri juga pabrik penyamakan kulit di Kampung Kemasan ini. “Setelah Bak Lie Ong kemudian datang Haji Umar yang sebenarnya seorang pengusaha kulit. Tiga tahun kemudian datang orang mendirikan rumah. Haji Umar sendiri punya anak tujuh. Anak kedua dan ketiga tidak meneruskan usahanya, tapi Lima orang anaklah yang melanjutkan usaha bapaknya itu. Haji Umar akhirnya terkenang, karena permintaan kulit banyak, dia mendirikan pabrik penyamakan kulit. Setelah pabrik besar ada hubungan dagang seluruh Jawa, Solo Semarang, Panarukan dan Madiun. Sebelum ada kereta api, pengiriman kulit dengan cikar, kereta yang ditarik dengan sapi” tutur Bapak Nut.
Selanjutnya Bapak Nut menjelaskan bahwa setelah perusahaan itu sukses, banyak orang mendirikan rumah-rumah yang besar. Tidak hanya itu ada pabrik terkenal yaitu NIEUROP, pabrik perkulitan di Surabaya. Yang berhasil adalah orang Cina, sehingga pengaruh Cina besar. Warna aksesoris rumah banyak dipengaruhi Cina. “Hal ini telah diteliti mahasiswa Malang, Ubra dan Unpar. Perkampungan yang terkenal adalah Kampung Peranakan karena arsitekturnya campuran Cina dan Belanda dan Jawa”, ujar Bapak Nut. Di Surabaya sendiri ada lima perkampungan yaitu, Kampung Arab, Pecinan, Kolonial, Pribumi dan Peranakan.
Ciri Khas Kampung Kemasan
|
Connecting door dari satu rumah ke Rumah yang lainnya |
Apa yang menjadi keistimewaan dari kampung kemasan sehingga dijadikan sebagai salah satu cagar budaya yang harus dilindungi oleh Komunitas Matasegar? Berdasarkan keterangan dari Pak Nut dikatakan bahwa Kampung Kemasan sudah dibangun sejak tahun 1896. Dan Bak Lie Ong sendiri datang pada tahun 1860. Menurut Pak Nut, hal yang membuat kampung kemasan menjadi istimewa adalah pada rumah-rumah tertentu diatasnya ada jembatan yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pintu palsu untuk mengelabui orang karena di atas terdapat sarang wallet dan untuk keindahan. Tidak hanya itu saja dahulu di setiap atas rumah diletakan wayang dan di samping rumah ada pintu penghubung dari satu rumah ke rumah yang lain. “pintu ini digunakan orang dulu misalnya untuk meminta bumbu dapur ke rumah sebelah”, ujar Pak Nut.
|
Salah satu bagian dalam rumah dari anggota Komunitas Matasegar di Kampung Kemasan bergaya Cina |
Tidak Boleh Merubah Bentuk Asli Rumah
|
Pada Malam Hari |
Tak ubahnya sebuah perkampungan yang terdiri rumah-rumah tentu saja ketika dimakan usia akan lapuk juga terlebih apabila tidak ada yang merawatnya. Begitu juga keadaan kampung kemasan Gresik, rumah-rumahnya tesebut terlihat kumuh, tidak terawat, ditumbuhi lumut, tumbuhan liar dan terkesan angker. Dengan kondisi seperti ini apakah orang berhak untuk melakukan pemugaran? Berdasarkan keterangan dari Bapak Nut, pemugaran boleh, tapi tidak boleh untuk mengubah bentuk yang telah ada. “Rumah di sini sudah tua harus dipugar kembali tanpa merubah bentuk aslinya. Dari 23 deretan rumah tinggal 17 buah rumah,” ujar Bapak Nut.
Sementara itu, telah ada seorang yang peduli terhadap Gresik dan berencana membuat sebuah galeri di Kampung Kemasan. “Salah satu rumah peninggalan yang ada di sini akan dijadikan galeri dan kami berharap dengan adanya galeri ini akan banyak pengunjung yang datang’, ujar Bapak Nut.
Sebagai tambahan informasi, rumah yang ada di Gresik ini boleh dibeli dengan ketentuan sepanjang itu untuk kepentingan Gresik, demikian yang dikatakan Bapak Nut.
Peran Komunitas Matasegar
Komunitas Matasegar pertama kali berdiri pada tanggal 10 November 2010. Bermula dari inisiatif beberapa orang yang peduli dengan Gresik dan berjalan sendiri-sendiri tidak ada yang menuntun. Kemudian terjadi sharing dan pertemun yang kebetulan terjadi pada Rabu malam begitu pun dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya selalu terjadi pada Rabu malam. Karena itulah komunitas Matasegar selalu menyebut pertemuan itu dengan Reboan.
Di Gresik pada waktu itu sudah ada komunitas budaya swasta dan hal ini menjadi pendorong beberapa orang untuk meresmikan komunitas budaya ini yang kemudian diberi nama komunitas Matasegar. Pada awalnya anggotanya hanya berjumlah empat orang kemudian bertambah pada minggu berikutnya dan komunitas ini tidak mencari anggota. “Kami tidak aktif mencari anggota tapi kami memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk datang dan ikut aktivitas matasegar dan memang komunitas ini terbuka untuk budaya Gresik”, ujar Pak Nut.
|
Anggota Komunitas Mata Segar dengan barang bahan diskusi |
Reboan yang selalu diadakan oleh Komunitas Matasegar sangat unik. Hal ini terlihat ketika Inforum berkesempatan untuk ikut reboan dan bertukar pikiran dengan para anggotanya. Setiap akan mengadakan pertemuan salah seorang anggota komunitas ini pasti ada yang membawa benda-benda antik. Pada waktu itu terlihat ada yang membawa lampu minyak, miniatur tower dan tak lupa juga para anggotanya membawa hidangan tradisional, salah satunya ada Pudak.
Benda-benda lain yang biasanya dibawa pada Reboan bisa berupa manuscript kuno, nasakah Khutbah kuno, potret, atau apa pun itu dan tentunya bernilai. Benda-benda tersebut mereka jadikan untuk bahan diskusi dan sebagian dari benda-benda kuno itu mereka dapatkan di loak. Apa yang dilakuka oleh para anggota Komunitas segar ini semata-mata bentuk dari kepedulian mereka. “Benda-benda yang dibawa oleh setiap anggota dalam Reboan ini sebagai bentuk dari kepedulian para anggota, benda-benda tersebut akan diterjemahkan bersama anggota lainnya dan yang paling bernilai tinggi akan dibahas”, ujar Bapak Nut.
Pembahasan atau diskusi yang dilakukan oleh anggota komunitas matasegar untuk menentukan apakah benda tersebut termasuk dalam cagar budaya yang harus dilindungi dan bagaimana untuk melestarikannya serta memperkenalkannya ke masyarakat luas. Dalam menetapkan apakah sebuah benda bisa dijadikan cagar budaya, menurut Bapak Trisaji, yang masih merupakan anggota Komunitas Matasegar mengatakan bahwa bisa dilakukan dengan memberi arti pada sebuah benda. “Untuk memberi arti sebuah benda itu bisa dilakukan dengan penelusuran jejak-jejak sejarah atau kita membuat benda dan memberi cerita dan tentu saja didukung lingkungan yang memiliki potensi”, ujar Trisaji.
Pada dasarnya komunitas matasegar ini mereka mengejar kepada nilai pariwisatanya. Apabila penemuannya bisa menarik wisatawan itu akan lebih baik.
Komunitas Matasegar Melakukan Aktivitasnya Secara Swadaya
Komunitas matasegar menjalankan aktivitasnya tanpa dukungan dari pemerintah daerah. Mereka melakukannya secara swadaya. Uang yang di dapat dari kegiatan pariwisata inilah yang dijadakan sumber dana. Mereka biasanya menjadi guide wisatawan yang datang melihat entah ke Kampung Kemasan atau tempat wisata lainnya. Sementara untuk sewa tempat foto prewedding mereka belum bisa menarik retribusi karena belum ada perda cagar budayanya.
Sementara berdasarkan keterangan dari Bapak Nut kerjasama dengan Dinas Pariwisata baru terjalin ketika ada kunjungan wisatawan dari Malaysia atau luar negeri. Wisatawan lokal yang datang biasanya adalah siswa-siswi SMP, yayasan maupun para peneliti.
Meskipun komunitas matasegar ini melakukan aktivitasnya secara swadaya bahkan untuk perawatan Kampung Kemasan ini tanpa bantuan dari pemerintah namun kehadirannya disambut baik oleh lingkungan. Hal ini seperti diperlihatkan oleh Bapak Lurah Lumpur yang hadir dalam Rebon itu. “Sebagai perpanjangan dari PEMDA, saya melihat keberadaan mata segar sebagai komunitas budaya yang ikut merawat, memelihara dan melestarikan kesenian-kesenian yang ada dikelurahan yang saya bina”, ujarnya.
Perda Diperlukan Untuk Melindungi Cagar Budaya
Komunitas Matasegar memperkirakan ada sekitar 300 cagar budaya, namun berdasarkan penelitian dari ITS ditemukan ada sekitar 125 cagar budaya. Untuk melindungi cagar budaya ini diperlukan perda. Oleh karena itu, komunitas matasegar sangat berharap pemerintah membuat Perda. “Perda sangat diperlukan untuk melindungi cagar budaya yang ada agar jumlahnya tidak berkurang. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah daerah segera menerbitkan perda cagar budaya”, ujar Bapak Nut.