Search This Blog

Friday, March 8, 2013

Jelajah Bandung

Kalau di tanya dimana saya kuliah? Tentu jawabannya adalah Bandung. Berapa tahun tinggal di Bandung? Jawabnya selama kuliah sih, kurang lebih enam tahun? Sudah kemana saja selama di Bandung? Hehehehehe, Kuper saya  alias kurang gaul. Meski belum menjelajahi Bandung seutuhnya tapi tunggu dulu, ada beberapa tempat yang mungkin teman-teman akan missed mengunjunginya.

Saung Angklung Udjo, pernahkah teman-teman berkunjung ke sana? Saya pernah ke sana pertama kalinya waktu kuliah. Itu pun karena ada tugas. Anggit, teman saya yang punya idenya. Sembari tugas kita pun ikut melihat pertunjukkan Angklung Udjo. Sehari mereka ada beberapa pementasan. Tempatnya juga khusus, aula terbuka setengah lingkaran. Suasananya teduh dan tenang. Enak deh pokoknya. 

Terus, waktu kerja, ternyata dari Kantor malah pernah sebanyak dua kali mengundang Saung Angklung Udjo untuk ngisi acara hiburannya. Dan terakhir kali kemarin, Bulan Januari 2013, saya balik ke sana bersama Republika. Biasalah dalam rangka Jelajah Bandung bersama Abah Alwi. Salah satu alasan yang membuat saya pergi ke sana karena adanya kunjungan ke rumah Ibu Inggit. Itu lho istrinya Presiden Kita Pertama, Ir. Soekarno. Nah ceritanya, Bulan Desember yang lalu khan saya pernah berkunjung ke Ende, ke rumah bekas pengasingannya Bung Karno, rasa-rasanya kurang pas kalau tidak mengunjungi rumah Bu Inggit. Seperti telah kita ketahui bersama, Ibu Inggit inilah yang menemani Bung Karno selama masa pembuangannya di sana. 

Oke, mari kita rinci satu persatu hasil kunjungan ke Bandung ini.
Hari Pertama, 19 Januari 2013

Semua peserta seperti biasa kumpul di Kantor Republika. Kita berangkat jam 8:00 WIB. Total semuanya ada dua bis. Bis yang saya tumpangi terjadi pecah ban dalam di tol Cipularang. Beruntunglah tidak terjadi apa-apa. Ada setengah jamlah ya, benerin bannya. Dan ketika sampai di Gerbang Tol Pasteur, kita dijemput Patwal. Mengapa? Karena kita ada kunjungan ke Gedung Sate. Maksudnya kita tamunya Pak Gubernur hehehehehe… tapi sebelum berkunjung ke Gedung sate, kita berkunjung dulu ke Boscha. 

Boscha

Beneran lho, saya belum pernah ke Boscha sama sekali selama di Bandung. Untuk berkunjung ke Boscha kita harus memperhatikan jadwalnya. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu.  Sebenarnya menurut jadwal, hari Sabtu itu adalah jadwal kunjungan untuk keluarga dan perorangan bukan untuk rombongan. Tapi dari hasil koordinasi panitia akhirnya kita diterima pihak Boscha. 



Pas sampai Boscha tentu lagi ramai juga dengan kunjungan lain. Hal ini menyebabkan rombongan kita harus menunggu giliran masuk ke dalam guna melihat teropongnya. Ketika menunggu itu kita diundang ke sebuah ruangan untuk mendengarkan presentasi tentang Boscha.  

Dari presentasi itu didapat Informasi bahwa Boscha ini bediri atas prakarsa Rudolf Boscha. Dia bukan seorang ilmuwan atau Astronom, melainkan seorang pengusaha. Dikarenakan kecintaannya terhadap Ilmu Pengetahuan, dia sumbangkan hartanya untuk Ilmu Pengetahuan dengan membangun  Boscha.

Di Boscha itu terdapat dua macam teropong, yaitu teropong Visual dan Fotografi. Teropong yang ada di Boscha itu digunakan untuk penelitian. Dikarenakan sudah tua, maka sensitifitasnya harus dijaga. 

Sementara cara kerja Teleskop itu adalah dengan mengumpulkan cahaya. Di Boscha juga ada teleskop untuk mengamati Bimasakti namanya Teleskop Scmidt Bimasakti. Ada juga Teleskop Portabel untuk mengamati Hilal. 

Ternyata teman-teman dari penjelasan yang saya lupa nama narasumbernya (tapi dia dari ITB), selain udara ternyata cahaya juga menyebabkan polusi. Namanya Polusi Cahaya, yaitu,  jumlah cahaya yang menghalangi bintang di langit untuk dilihat. Hal ini dikarenakan semakin padatnya perumahan yang ada disekitar observatorium Boscha.

Kata Narasumber itu, pemasangan lampu yang terbaik agar tidak menimbulkan polusi cahaya adalah dengan model bertudung penuh. 

Terus pertanyaannya sekarang apa yang dilakukan dibalik teleskop?
Jawabannya adalah untuk mengamati fenomena di alam semesta. Contohnya Komet yang memiliki ekor (komposisinya) es atau untuk mengamati meteor (bintang jatuh).

Mengapa harus mengamati Komet?
Hal ini dikarenakan astronomi dilandaskan bahwa manusia berusaha mencari tahu apa yang ada di sekitar seperti bentuk bumi kita. Setelah mengetahui Bumi, kita mencari tahu apa yang ada diluar, jawabnya adalah Planet. Ada delapan planet. Komposisinya sebagian besar adalah gas. 

Ada hal yang menarik yang dibahas pada waktu itu, hal ini berkaitan dengan Pluto. Apakah pluto termasuk sebuah planet? 
Pluto pada dasarnya dia memiliki lintasan atau orbit yang miring dan kecil ukurannya, walaupun memiliki satelit. Maka dari itu, ketika dilakukan Voting, maka Pluto dikategorikan sebagai Dwarf/Oward planet atau Planet Kerdil.     

Ada kurang lebih 20 menit kita mendengarkan penjelasan itu. Lalu yang terjadi kemudian adalah, karena waktunya mepet, kita gak jadi masuk ke Boscha katanya ditunggu  di Gedung Sate.


Oke deh jadinya sebelum meninggalkan Boscha saya ambil foto dulu nih bangunan disekitar Boscha.



Gedung Sate 
Sampai di Gedung Sate kita langsung dijamu makan siang dulu. Setelah itu sholat lalu ada sambutan dan penjelasan tentang sejarah Gedung Sate. 
Gedung Sate menurut Kepala Biro Humas dan Protokol, Setda Jabar, Bapak Rudi, berfungsi sebagai heritage dan pemerintahan. 
Gedung sate dibangun pada tahun 1920 dan peletakan batu pertamanya dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920. 

Tahukah teman-teman ada berapa buah sate yang terdapat di menara?
Ya, jawabannya adalah ada enam buah. Kenapa enam? 
Pak Rudi mengatakan bahwa enam itu ada kaitannya dengan modal awal. "Enam buah sate yang terdapat di menara menunjukan modal awal ketika Gedung Sate dibangun sebesar enam juta gulden", ucapnya. 

Luas daripada Gedung Sate adalah 27,9 hektar.  Pada tanggal 3 Desember 1945, dipakai untuk Jawatan PU. Di depan halaman Gedung Sate terdapat sebuah tugu untuk menghormati tujuh pahlawan. Kemudian pada tahun 1980, gedung sate ini digunakan sebagai kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat.  Saat ini ada 1009 karyawan yang bekerja di Gedung Sate.


Kunjungan diakhiri dengan naik ke bagian Atas Gedung Sate atau menara. Belum pernah khan teman-teman? Saya akhirnya sampai juga di menara Gedung Sate. 

Untuk sampai di Puncak Gedung Sate, kita harus menaiki tangga tradisional sebanyak 6 (enam) buah tangga yang masing-masing tangga ini ada 10 buah anak tangga. Total ada 60 (enam puluh anak buah tangga). Tangga tradisional ini menurut  Bapak Rudi, masih asli. 


Nah setelah selesai dengan menaiki enam puluh anak buah tangga, kita akan masuk kesebuah ruangan seperti sebuah museum kecil. Di sini ada dipajang beberapa tokoh yang pernah menjabat di Jawa Barat. Selain itu dipajang pula mengenai hal-hal yang berhubungan adat dan budaya Jawa Barat. Seperti ini kira-kira ruangannya... 

Add caption
 Dari ruangan pajangan ini kita naik tangga lagi lalu ketemu deh dengan bagian paling atas gedung Sate. Apa yang dapat kita lihat di sini? ya, di sini ada sebuah ruangan lengkap dengan meja dan kursinya, ada juga sirine lho.. 

Kata Pak Rudi, sirine ini peninggalan Zaman dulu. "Sirine ini peninggalan Zaman dulu, meskipun sekarang tidak pernah lagi dibunyikan tapi Sirine ini  masih berfungsi. Dahulu fungsinya sebagai penanda berbuka puasa", ujarnya. 



Lalu kita bisa melihat pemandangan. Ke depan ada Monumen Pancasila dan lapangan gasibu.


Setelah berkunjung ke Menara Gedung Sate kita lanjut ke Museum Asia Afrika. Oh ya sebelum berlanjut postingannya, ada informasi yang tak kalah penting, bahwa Gedung sate dan Gedung Merdeka (Museum Asia Afrika) ada dibawah pengelolaan Biro Humas, Protokol dan Umum, Setda Jawa Barat. Satu lagi, bahwa Gedung sate ini dibangun sudah menerapkan konsep pembangunan Jalur Lift. Maksudnya, jalur liftnya sudah ada dibangun meskipun waktu itu belum ada lift.
 

Museum Asia Afrika 


Di museum asia afrika kita juga bisa melihat peninggalan dari KTT Asia Afrika. Seperti misalnya mesin tik yang digunakan pada masa itu, lalu ada juga kursi Rotan yang masih terawat. 

Add caption

Hotel Preanger 
Hotel Preanger.

Setelah selesai berkunjung ke Museum Asia Afrika, rombongan pun langsung menuju tempat peristirahatan terakhir di Hotel Preanger. Senangnya Luar biasa menginap di Hotel ini. Sebabnya belum pernah menginjakan kaki di sini, paling juga hanya lewat saja. Pas sampai di hotel pun kita tidak langsung masuk kamar tapi dijelaskan dulu mengenai sejarah Hotel Preanger yang erat kaitannya dengan pelaksanaan KAA, Konferensi Asia Afrika.

Katanya selama pelaksanaan Konferensi Asia Afrika, para delegasi menginap di hotel Preanger. Kalau kita masuk ke dalam hotel dari Lobi, di sebelah kiri ada jajaran kamar yang masih asli dan pernah dipakai oleh delegasi KAA. Sementara ke sebelah kanan dari Lobi itu merupakan kamar baru.

Lihat gambar di bawah ini.

Bagian Hotel yang dipakai menginap delegasi KAA


Dari gambar di atas, ada sebuah pintu, kalau teman-teman bisa melihat dengan  jelas, maka dari salah satu pintu itu ada tulisan Asia Afrika. Di sanalah bagian yang dipakai delegasi KAA untuk menginap.

Bayarannya per malam cukup mahal ya. Untuk ukuran standar saja kira-kira satu juta lebih.


Hari Kedua, 20 Januari 2013

Rumah Bersejarah Inggit Garnasih
 
Pada hari kedua, tempat yang kita kunjungi adalah Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Huh, bertahun-tahun tinggal di Bandung saya hanya dengar namanya dan sesekali lihat namanya dalam sebuah petunjuk jalan. Ini juga tentu kalau jalan-jalan ke alun-alun tapi rumahnya tidak tahu dimana. Lagipula sosok Ibu Inggit, baru-baru ini saya habis membaca bukunya. 

 

Oh ya, ada akte pernikahannya Bu Inggit dan Bung Karno ... Tapi maaf ya, kalau berdasarkan informasi  yang ditempel dibilangnya "Surat Kawin Inggit Garnasih dan Soekarno" ...


Foto sebelah kiri atas adalah Akte pernikahan Bung Karno dan Bu Inggit Garnasih. Keterangan di bawah foto itu mengatakan bahwa: 
 
"Surat Kawin Inggit Garnasih dan Soekarno, tanggal 24 Maret 1923 di Bandung. Soekarno tertera berumur 24 tahun, dan Inggit Garnasih tertera 23 tahun. Sebenarnya pada saat itu, Soekarno masih berumur 22 tahun dan Inggit Garnasih telah berumur 35 tahun"  


Sementara Foto yang sebelah kanan merupakan Batu Pipisan. Apa sih istimewanya batu pipisan itu?

Ya, kalau kita baca buku "Kuantar Kau ke Gerbang" di sana diceritakan bahwa selama menikah dengan Bung Karno, Bu Inggitlah yang berperan mencari nafkah. Hal ini dikarenakan waktu itu Bung Karno masih kuliah di Technische Hoogeschool (THS) atau ITB sekarang. Lantas apa yang dikerjakan Bu Inggit dengan Pipisan itu? ya dia membuat bedak dan jamu yang diramunya sendiri dengan batu pipisan ini lalu menjualnya. 

Sedih saya waktu baca bukunya itu. Ketika susah bersama-sama. Saya ingatkan kembali Bu Inggit itulah yang menemani Bung Karno selama masa pembuangan ke Ende, Flores. Tapi ketika keadaan sudah lebih baik malah berpisah  yang ada. Tapi namanya juga perbedaan usia, Bung Karno yang masih muda tentu jiwanya masih ingin berkelana dan sebagai manusia yang normal tentu saja menginginkan keturunan. Sementara Bu Inggit yang sudah tua dan tidak bisa memberikan keturunan harus ikhlas. 

Satu hal lagi tentang rumah Bersejarah Inggit Garnasih yang kita kunjungi ini bukanlah rumah dimana pertama kali Bung Karno bertemu Bu Inggit dengan status Penghuni Kos dan Ibu Kos. itu yang dikatakan Guide kita sewaktu berkunjung ke sana.

Kalau kembali ke Informasi yang saya peroleh dari Buku "Kuantar ke Gerbang", setelah mereka menikah dan terjadi pengasingan Bung Karno ke Ende, rumah itu dijual. Ini berarti rumah bersejarah sekarang ini  adalah rumah yang dibeli setelah Bung Karno dan Bu Inggit kembali dari pengasingan ( Bung Karno waktu itu diasingkan pertama kali ke Ende lalu dipindah ke Bengkulu, di sanalah Ia bertemu dengan Ibu Fatmawati). Kemudian sempat ke Padang untuk selanjutnya pulang kembali ke Bandung. 

Demikian cerita tentang Rumah Bersejarah Inggit Garnasih.

Saung Angklung Udjo

Next, rombongan Republika lanjut ke Saung Angklung Udjo (SAU) yang letaknya dekat dengan terminal Cicaheum. Pas kita sampai di SAU sudah ada rombongan anak-anak sekolah. Tapi tempat untuk rombongan dari Republika sudah di kasih tanda. Jadi, aman.

Rombongan menikmati sekali pertunjukan dari SAU. Ada pertunjukan Wayang golek, tari topeng dan helaran atau arak-arakan.



Terlebih ketika kita dibagikan angklung satu persatu. Sangat menikmati permainan kesenian asal Jawa Barat ini.


Selain menikmati pertunjukan yang dipersembahkan SAU, kita juga makan siang di belakang halaman. Menunya cocok lah.


Taman Hutan Raya  Ir. H. Juanda 

Dulu waktu masih di Bandung pernah ikut les bahasa Korea. Tempat Lesnya ada di Dago Pakar. Di sebuah rumah yang disewa oleh orang Koreanya langsung. Nah, kalau mau ke sana naik Ojek dan selalu melewati Tahura (Taman Hutan Raya) Ir. H. Juanda atau Hutara Dago. Tapi belum sekali pun menginjakan kaki di sana. Jadi, kesempatan benar ketika Republika ngadain acara jalan-jalan ke Bandung untuk menjelajah isi Tahura

Dari pintu gerbang masuk ke Goa Jepang lumayan harus jalan. Ada sekitar lima ratus meteran 
 

Ini dia bagian dalam dari Goa Jepang..

Add caption

Namanya juga Goa, jadi pas masuk ke dalam gelap ya. Tapi ada jasa penyewaan senter. Kalau lihat goanya sendiri tidak berbeda dengan goa Jepang lainnya yang pernah saya kunjungi. Bisa dicek di sini. Umumnya Goa Jepang ini panjang dan banyak cabangnya. Penderitaan sekali ya proses membuatnya. Tapi hasilnya abadi sampai sekarang.

Sebenarnya banyak yang dapat dinikmati di Tahura ini, tapi berhubung rombongan dan masih ada tempat yang harus dikunjungi, makanya tidak bisa menjelajahi semua sudut Tahura. Next time kita ke sini lagi ya.


 Tangkuban Perahu 


Berkunjung ke Tangkuban perahu itu sebenarnya kali kedua bagi saya. Pertama kali ke sini bersama dengan paman, bibi dan sepupu. Dulu dan sekarang keadaannya tidak jauh berbeda. Aktivitas yang dapat kita lakukan di sini tentu saja melihat kawahnya. Oh ya, jagung bakar juga ada di sini.

No comments:

Post a Comment