Bersama Pak Roro |
Yup, ceritanya hari Minggu kemarin, 24 Maret 2013, saya pergi ke Bandung. Ada dua tujuan utama pergi ke Bandung itu. Pertama ingin lihat Bandung Lautan Onthel, kedua, mau minta referensi untuk persyaratan beasiswa ke dosen pembimbing skripsi. Sudah janjian hari senin mau ketemu Pak Roro, Dosen Pembimbing Skripsi saya dulu.
Keinginan pertama, ingin melihat Bandung Lautan Onthel kesampaian sih meskipun tidak ke Gasibu langsung. Saya lihat beberapa Onthel yang melintasi warung nasi bakar yang terletak di belakang Gedung Sate. Karena waktu itu saya dan adik mau makan nasi bakar tersebut.
Dikarenakan diantar adik jadi saya malas kalau harus ke Gasibu. Sudah keenakan diantar pakai motor. Apalagi cuaca Bandung waktu itu yang tidak mendukung. Jadinya ya, diam di kosan adik saja.
Tujuan yang kedua, sudah dilaksanakan tadi pagi. Saya pergi ke Kampus FIKOM Jatinangor untuk dua hal. Pertama minta legalisir Ijazah. Kedua, tentu bertemu Pak Rosnandar Romli atau yang biasa dipanggil Pak Roro. Saya datangi ruang bagian Humas tapi tidak ada Bapaknya. Saya pun menuju rooster atau tempat pengumuman jadwal perkuliahan dosen.
Akhirnya ketemulah di sana dengan Pak Roro. Bapak ternyata sedang membimbing skripsi beberapa orang mahasiswa. Saya menyalami Bapak dan mengatakan bahwa saya senang melihat Bapaknya sehat.
"Apa Bapak masih ingat saya, yang skripsinya tentang Kartini?", tanya saya.
"Oh ya, ingat skripsi dengan 700 lembar", jawabnya.
"Kalau menemukan skripsi yang tebal tentang Kartini ini punya dia", tambah Pak Roro ke mahasiswa yang lagi bimbingan.
Ternyata nyambung obrolannya. Seorang mahasiswi mengaku bahwa dia sudah pernah mellihat skripsiku. "Ternyata ini mbaknya, saya sampai tahu lho tentang kelahirannya", menurut pengakuann mahasiswi yang saya lupa namanya.
Setelah ngobrol dulu sebentar, kemudian, saya menyerahkan Form isian untuk Referensi dari Dosen pembimbing. Ada tiga halaman semuanya. Halaman pertama memang hanya dichecklist saja. Pas mau checklist tentang motivasi, Pak Roro bertanya mengapa baru mengajukan beasiswa sekarang. Saya jawab, yang namanya beasiswa khan ada persyaratannya, biasanya masalahnya ada di Toeflnya. Kalau nilainya kurang, kita harus belajar lagi dan ikutan test lagi.
Saya juga bilang bahwa pernah mengikuti beberapa pengajuan beasiswa tapi gagal. Contohnya di Bappenas hanya sampai TPA (Test Potensi Akademik). Di Kemenkominfo juga pernah, tapi administrasinya pun gak lolos di sana mah,
Pas mau mengisi lembar kedua, Pak Roro kurang bersedia untuk menulis uraian. Lalu, Pak Roro mengatakan pada saya, bahwa untuk menulis jawaban uraian, saya harus cari tahu dulu, jawaban seperti apa yang diinginkan oleh si pemberi beasiswa. Karena banyak orang gagal dari hal tersebut. Wah, saya benar-benar tidak berpikir ke arah sana. Merasa mendapatkan hal yang baru dari pernyataan itu. Lalu saya jawab. "Lebih baik Pak kita tidak perlu tahu banyak, biarkan saja semuanya natural, apa adanya", jawab saya.
Dirasa untuk menjawab uraian akan memakan waktu yang cukup lama, maka Pak Roro lanjut lagi dengan bimbingan skripsinya. Menunggulah saya jadinya. Setelah selesai lalu saya berikan lagi formnya. Tapi tetap saja intinya Bapak tidak mau menulis sendiri. Okey karena saya membaca tata cara pengisian Form itu, maka saya berikan solusi, ditulis saja dalam bahasa Indonesia, jawaban dari Bapak saya catat untuk kemudian diketik. Terakhir tentu saja Bapak menandatangani form itu.
Setelah selesai dengan urusan referensi kita masih ngobrol banyak hal terutama tentang pekerjaan. Bapak tanya apa yang saya lakukan? Saya jawab, saya bekerja di Bagian Humas dan Protokol. Pekerjaannya seputar Protokoler, dokumentasi, membuat press release, membuat artikel di Majalah Kantor dan administrasi yang lain. Kemudian Bapak mengatakan sayang pekerjaanku seperti itu. Maksudnya apa yang saya lakukan itu tidak menggali maksimal potensi yang ada di dalam diri saya.
Apa yang dibilang Bapak itu benar adanya. Saya tidak suka dengan protokoler tapi saya suka membuat press release. Kalau artikel khan tergantung ada tidaknya terbitan. Tahun kemarin saja tidak terbit padahal sudah wawancara dengan Pak Cosmas. Mungkin dipending dan mudah-mudahan bisa keluar di tahun ini.
Suka berpikir jadinya. Apa mau di sini selamanya atau mau ke mana gitu. Satu hal yang pasti, ingin lanjut sekolah S2 ke Luar Negeri. Sekarang ini saya lagi menghubungkan atau melihat prospektif pekerjaan nanti dengan jurusan yang akan diambil. Saya harus mengetahui banyak hal sebagai referensi.
Di dalam obrolan akhir itu, Pak Roro mengingatkan bahwa bekerja itu jangan orientasinya uang. Dikarenakan kalau sudah uang akan menjadi beban. Benar sekali apa yang dibilang Bapak. Kita itu sebagai manusia memliki sifat untuk dapat berkompromi. Sekali okey, tapi kalau situasi yang kita hadapi tidak menampakan kemajuan ke arah yang lebih baik, akan jengah jadinya. Kemudian kalau dalam pekerjaan tentu harus mengikuti SOP yang ada. Tidak bisa seperti Pak Roro yang bisa keluar dari SOP. Tapi saya katakan saya orangnya memang bukan "Pengiya". Malah suka adu "argumen".
Ingin tahu alasan kenapa saya memilih Pak Roro untuk dimintai Referensi?
Alasannya karena Pak Roro itu dosen saya sekaligus dosen pembimbing skripsi. Sebenarnya untuk dosen pembimbing skripsi itu ada dua orang. Pembimbing Pertama tentu Pak Roro, kedua Ibu Nuryah Asri Sjafirah alias Ibu Nonon. Di dalam pelaksanaan bimbingan skripsi, saya selalu dibimbing dengan Ibu Nonon. Ibunya dulu belum menikah, lagi sekolah S3, cantik dan pintar.
Setelah selesai bimbingan skripsi tentu saya harus menghadap Pak Roro. Untuk dievaluasi tentunya. Dari Pak Rorolah saya tahu kalau Bu Nonon selama membimbing skripsi saya ada keluhan, yaitu soal kalau diberitahu saya tidak mau mendengar intinya. Lalu Pak Roro waktu itu bilang "Biarkan saya mengembangkan idenya meskipun Bapak tahu sejauh mana hal itu mungkin atau menjadi tidak mungkin". Saya jadi terharu mendengarnya. Saya berpikir, ternyata Pak Roro lah yang mengontrol atau mengawasi pelaksanaan bimbingan saya dengan Ibu Nonon. Saya berkesimpulan dan memang saya rasakan selama dibimbing Pak Roro itu, tidak pernah Bapak mematahkan semangat. Saya masih ingat waktu itu bilang saya ingin buat buku. heheheheheh .....
Mau tahu tidak komentarnya Pak Roro tentang saya?
Dia katakan saya itu orangnya terlalu mandiri. "Kamu itu terlalu mandiri jadi perlu orang untuk mengarahkan. Skripsi yang bisa 200 halaman malah dibuat menjadi 700 halaman. Kamu itu SI, tidak perlu seperti itu. Kalau Satu dapat nilai 3 kenapa harus buat tiga untuk nilai yang sama. Hal itu mubazir. Kamu perlu seseorang untuk mengerem", katanya
Bapak, ini juga lagi menunggu, kira-kira ada enggak orang yang bisa mengerem saya ?
Nah, pas mau pulang dari Kampus ke DU, saya sempat nelepon pihak panitia pemberi beasiswa menanyakan tentang surat referensi. Saya katakan pada Ibu diseberang telepon, kalau surat referensi dari dosen pembimbing skripsi diketik oleh saya tapi jawabannya dari Dosen pembimbing yang bersangkutan tidak ditulis tangan itu bagaimana?
Ibu itu bertanya, enggak ada dosen yang lain?
Saya jawab tidak, karena memang saya maunya Pak Roro, karena dia yang lebih tahu dan memahami saya sekaligus pembimbing pertama meskipun ada Ibu Nonon.
Ibu itu lalu mengatakan coba saja dikirim dulu nanti akan kita lihat jawabannya seperti apa.
Terkadang pesimis itu datang, tapi harus tetap positive thinking. dan menyelesaikan apa yang sedang dikerjakan. Mudah-mudahan bisa mengkuti jejaknya Jinan, Suaminya sepupu yang sudah mendapatkan beasiswa ADS. Amien.
Ya Allah, Engkaulah yang dapat menjadikan sesuatu yang Tidak Mungkin menjadi Mungkin. Tunjukanlah kebesaranmu kepada Hambamu ini, seperti empat tahun yang lalu. Ketika itu hamba ingin menjadi seorang PNS, dan Engkau pun mengabulkannya disaat dalam ketiadaan harapan dan putus asa serta lelah. Amien...
NB: Ibu Nonon, maaf belum menghubungi Ibu. Pak Roro, maaf saya datang hanya dengan tangan kosong, semoga dapat bertemu kembali dengan Bapak serta Ibu, Terima Kasih Semuanya :)
No comments:
Post a Comment