Search This Blog

Friday, April 6, 2012

Jelajah Garut: Candi Cangkuang, dan Kampung Adat Pulo

Selamat menikmati liburan panjang ya teman-teman. Pada kemana sih liburan ini? Hehehee... Ya anak kosan kalau tidak pulang kampung diam di kosanlah atau mungkin pelesir ke luar kota ya :)
Liburan ini saya gak kemana-mana nih,  tapi agendanya penuh sekali. Mau tahu? Ya menghabiskan koleksi DVD, lalu blogging deh heeee... maunya sih pelesiran gratis. Tapi belum ada yang ngajak heheehe... Sudahlah lupakan saja pelesirannya. Sekarang kita bicarakan posting kali ini saja ya.

Baiklah, dikarenakan sudah beres mentranslet recording maka saya share hasil dari jelajah ke Garut dan Tasik bersama Republika Minggu kemarin :)  

Jelajah kali ini merupakan program yang pertama setelah Melancong Bersama Abah Alwi. Bedanya Jelajah dengan Melancong Bersama Abah Alwi adalah Jelajah ruang lingkup daerah yang dikunjungi lebih jauh daripada Melancong Bersama Abah Alwi yang daerah kunjungannya seputar Jakarta dan sekitarnya.

Mulai saja ya ceritanya.

Semua peserta jelajah berkumpul di kantor Republika hari Sabtu 31 Maret 2012, jam 6:30 AM. Setelah Kumpul kita berangkat menuju Tanah Parahyangan. Nah, kata Guide kami Mas Kartum yang juga ketua di Komunitas Jelajah Budaya. Hyang itu artinya dewa jadi Parahyangan artinya Tanah Parahyangan artinya Tanah Para Dewa. Aikh senang deh mendengarnya. Jadi "rerencangan sadayana Abdi teh kawitna ti tanah Para Dewa" heheheehehe ...

Lanjut.
Jelajah pertama tiba di Desa Cangkuang. Tujuan kita ke sini tentu saja melihat serta mendapatkan informasi yang banyak tentang Candi Cangkuang.

Tandanya sudah sampai

Sebenarnya ke candi cangkuang itu dulu pernah sekali. Waktu itu perginya bareng sama keluarga besar dari Mamah ya.  Ada mamah, adek, nenek, paman, bibi dan sepupu-sepupu. Tapi, karena dulu kurang cerita makanya waktu ada jelajah ke sini, ikut lagi deh. Kali ini aku puas sekali.

Menuju Candi Cangkuang kita harus melewati situ yang bernama Situ Cangkuang. Seperti ini.


Ups Hati-hati jalannya ya :)

Langit Garut waktu itu sangat indah sekali teman. Awannya Biruuuuuuuuuuuuuuu jernih hingga gunungnya terlihat indah.


Bertemu Nenek yang Suka Nyeupah
Setelah menyebrang situ dengan rakit sampailah kita di bukit. Rombongan pun berjalan ke Candi Cangkuang melewati perkampungan Adat Pulo.

Kebetulan di salah satu rumah itu ada seorang nenek yang sedang "Nyeupah" dan atas inisiatif dari teman saya Awe, kita berfoto-foto ria dengan nenek itu.

Lihat Warna Bibirnya nenek itu

Yup, terlihat ada warna orange bukan? Yup, dia sedang "nyeupah" (sunda). Senang sekali melihat  tradisi Nyeupah ini ternyata belum pudar. Terakhir kali saya lihat nenek yang Nyeupah ini di Cijulang- Ciamis (tanah kelahiranku) kalau tidak salah. Nyeupah ini maerupakan tradisi makan daun sirih yang dicampur dengan biji pinang, kapur, bunga cengkeh serta gambir. Dan katanya warnanya itu dihasilkan dari gambir (sejenis getah yang dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tanaman gambir).  Apa hubungannya dengan stasiun Gambir ya? hehhehee ...

Setelah kita melewati Kampung Adat Pulo kita  memasuki area Candi Cangkuang. Jaraknya sih dekat. Sepertinya memang sengaja rutenya dibuat melewati Kampung Adat Pulo dulu ya... 
Rombongan pun diterima di depan Museum kecil di depan Candi Cangkuang oleh Bapak Zaki Munawar dari BP3 Serangm (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala). Inilah Kehebatan Jelajah bersama Republika. Bisa Mendatangkan Orang yang istimewa. Coba kalau sendiri belum tentu kita mendapatkan informasi yang banyak dari narasumber yang kompeten.

Peserta Mendengarkan Penjelasan dari Bapak Zaki Munawar
CANDI CANGKUANG

Menurut Pak Zaki, di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut ada dua peninggalan, pertama, peninggalan agama Hindu, yaitu Candi Cangkuang dan peninggalan Islam,yaitu  makam keramat Arif Muhammad, termasuk komplek Kampung Adat Pulo. Candi cangkuang ditemukan pada tanggal 3 desember 1966 oleh Drs. Uka Candrasasmita.  Beliau adalah serorang ahli arkeologi islam. Dia menemukannya berdasarkan petunjuk sebuah buku Vorderman. 

Di dalam buku itu dijelaskan Bahwa ada sebuah arca siwa dan makam kuno Arif Muhammad tidak dijelaskan ada sebuah candi. "Tapi dalam buku tsb ada catatannya karena itu juga Bpk. Drs. Uka heran juga mengapa sampai seperti itu (tidak dijelaskan candi cangkuang-red). Karena Arif Muhammad jelas nama muslim sedangkan arca siwa adalah mahadewa dalam agama hindu" terang Bapak Zaki.  Sehingga beliau pada saat itu ingin mengadakan proses penelitian dan pengendalian. Pada  1967 sampai 1968 dilakukan penelitian. Ternyata pada saat itu disamping makam Arif Muhammad ditemukan sebuah pondasi  candi  berukuran 4,5 X 4,5  meter dan saat itu juga ditemukan puing-puing.  "Tenyata  yang utuh 40 %  tapi dari 40% itu dapat mewakili keseluruhan bagian candi. Sehingga memudahkan suatu saat jika candi cangkuang akan dipugar kembali" ujar Pak Zaki. 

Pada tahun 1974-1976  Pada saat pemuagran, kebetulan yang asilnya 40 persen  yang 60 persen dibikin batu cetakan. Kemudian setelah terlihat bentuknya dipindahkan ke tempat asalnya. Terlihatlah bentuknya seperti ini:

Ini dia Candi Cangkuang hasil Rekonstruksi

Panjang dan lebar candi ini adalah 4,5 X4,5 meter, dan tingginya 8 meter setengah. Sementara arca dewa siwa di simpan di tengah-tengah candi cangkung itu pun menutup lubang dalamnya 7 meter.  Candi ini selesai dipugar, dibuka  dan diresmikan pada tanggal  8 desember tahun 1976 oleh Menteri pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Syarif Tayib. 

Nama cangkuang itu sendiri karena ada di desa Cangkuang, mak diberi nama Candi Cangkuang. Tapi nama Cangkuang  itu sendiri diambil dari nama sebuah pohon sejenis pohon pandan.  "Di Papua mirip buah merah, yang ini (cangkuang -red) mirip cempedak. Untuk obat antioksidan, batuk, dsb bahkan ada yang manis rasanya " tapi agak gatal" tutur Bapak Zaki.

Tentang Arif Muhammad

Candi Cangkuang ini peninggalan abad 8.  Disampingnya ada makam Mbah Arif Muhammad. Dia adalah seorang tokoh sentral penyebar agama Islam khususnya di Cangkuang dan sekitarnya. Ia juga seorang panglima perang dari  Kerajaan Mataram Islam. Yang saat itu rajanya Sultan Agung. Pada waktu itu beliau disuruh menyerang VOC  di Batavia. Tapi  pada saat penyerangan dapat dikalahkan oleh VOC. Dia tidak mau kembali ke Mataram dengan alasan kalau kembali ke Mataram takut dibunuh Sultan Agung dan dia merasa malu oleh rakyat Mataram. Lalu mencari tempat persembunyian yang aman dam akhirnya sampai ke Cangkuang.   

Makam Arif Muhammad disebelah Candi Cangkuang

Pada saat Arif Muhammad datang ke Cangkuang penduduk di sana sudah menganut anismime, dinamisme, dan hindu. Tapi dengan pendekatan akulturasi islam bisa diterima masyarkat. Meskipun sisanya masih ada. Contohnya kalau ziarah ke makam, menggunakan ritual-ritual budaya pra islam.

Arif Muhammad meninggal dan dimakamkam di tengah–tengah bukit Kampung Pulo. Bukti penyebaran islam oleh beliau ada di dalam naskah kulit kayu berusia 400 tahun. Tulisan arab berbahasa jawa kuno. Ada tulisan mbah Arif Muhammad.  

Naskah bukti penyebaran agama islam oleh Arif Muhammad abad XVII dari Kulit Pohon Saeh


Cara menulis di naskah itu dilakukan dengan jari dan telapak tangan. Arif Muhammad melakukan meditasi dulu dan hanya 40 menit  butuh waktu melukisnya. 

Pohon Saeh Bahan Kertas

Nah,  menurut Bapak Zaki kebetulan di Cangkuang ini direkonstruksi lagi bagaimana cara bikin kertas tradisional (yang digunakan Arif Muhammad-red). Proses pembuatan kertas dari pohon Saeh ini melalui beberapa tahapan yaitu Kulit kayunya dikupas, dibelah, lalu dihilangkan kulit luar, direndam 3 hari, sudah 3 hari menjadi agak lembek baru diambil dan dicacah. Jadilah hancur dan melebar. Kemudian dikeringkan dipohon pisang  sampai mengelupas sendiri. Jadilah sebuah kertas dan  namanya Daluang. 

Pohon Saeh Yang paling depan sebesar jari kelingking


Termasuk tintanya juga dibuat dari bahan alami. Tinya yang berwarna hitam pada naskah itu terbuat dari beras ketan putih yang ditumbuk, lalu dihaluskan kemudian disangrai (digoreng hingga kering tanpa minyak-red) dikuali. Sesudah kering baru ditambah air di ulek – ulek sampai mendidih. Setelah mendidih disaring  dan dicampur dengan arang lampu teplok. Jadi warnanya hitam. Maksudnya memakai beras ketan adalah untuk pelengketnya. "Kalau ada tulisan warna merah itu dari getah manggis atau jati.  Kebetulan skr dari UI orang teologi ke sini untuk meneliti naskah, dan termasuk rekonsturksi kertas daluang ini", tutur Pak Zaki. 

Tentang Kampung Adat Pulo

Baiklah tadi kita sudah menyebut Kampung Adat Pulo dan juga seorang Nenek yang sedang Nyeupah. Sekarang kita Simak penjelasan tentang Kampung Adat Pulo. 

Karena terletak ditengah-tengah kepulauan (katanya memang ada pulau-pulau kecil) yang dikelilingi danau luasnya 20 hektar maka disebut Kampung Adat Pulo. Uniknya Kampung Pulo dari abad ke-17 sampai sekarang bangunannya tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang harus 7 bangunan. Yang mana bangunan–bangunan di  Kampung Pulo melambangkan keturunan Arif Muhammad.  

Kebetulan arif Muhammad itu punya 7 orang anak.  Satu anak laki-laki dilambangkan dengan satu tempat ibadah yaitu surau, 6 anak perempuan dilambangkan dengan 6 rumah. Harus berhadap-hadapan fungsinya sebagai control sosial satu sama lainnya. Harus diletakan di sebelah barat dan kiblat disebelah barat. 

Kompleks Kampung Adat Pulo

 Dari enam rumah yang ada di Kampung Adat Pulo wajib  dihuni enam Kepala Keluarga (KK).  Satu rumah satu KK. Jadi apabla dikeluarga tsb sudah punya anak besar ada yang menikah,  maksimal 2 minggu dari pernikahannya harus keluar dari Kampung Pulo. Mau laki-laki atau perempuan sama harus keluar.  Kalau ada yang meninggal salah satu kepala keluarga. Diperbolehkan yang sudah menikah masuk ke Kampung Adat Pulo sebagai pengganti.  "Orang sunda bilang ngaplus. Itu pun harus anak perempaun kalau anak laki-laki tidak boleh. Karena di sini warisan jatuh ke anak perempuan", kata Pak Zaki. Kalau tidak ada anak perempuan yang berhak menempati kerabat yang lain yang punya anak perempuan yang sudah menikah. "Bagaimana dengan yang tadi  yang ada di rumah satusnya menumpang ataupun mereka pindah keluar dengan syarat memberikan santunan, atau istilahnya kerohiman atau tanah usir dari yang menempati baru" jelas Pak Zaki lagi.

Di kampung Pulo ini dipimpin seorang juru kunci atau Pak kuncen sebagai pemangku adat.  Di kampung Pulo ini ada adat istiadat yang terpelihara, satu tidak boleh berjiarah pada hari rabu. Kalau bertamasya boleh. Di sana pengantian wktu berbeda dengan Jakarrta. Karena di Kampung Pulo hari Rabu bada ashar sudah masuk kamis.  "Kalau mau jiarah diperbolehkan, karena intervalnya sudah boleh" kata Pak Zaki. 

Alasannyamengapa hari rabu dilarah jiarah karena hari Rabu, momentum umat hindu menyembah arca siwa ke Candi Cangkuang. Sedangkan Arif Muhammad pada hari Rabu menyebarkan agama islam dengan pendekatan kebudayaan.  Sehingga setelah Ia meninggal, dan kebetulan hari terbaik bagi  islam hari Jumat makanya hari rabu tidak boleh berjiarah ke makam-makan keramat ke sini dan hari Rabu juga  untuk libur bagi kuncen.  Menurut Pak Zaki dulu Cangkuang banyak dikunjungi karena sebagai Pusat peradaban.

Berikutnya di Kampung Pulo ini, tidak boleh  memukul gong besar dari perunggu.  Tidak boleh membuat rumah beratap jurai seperti prisma "Sebelah barat dan timur ada lancipnya". Alasannya, Arif Muhammad itu mempunyai seorang anak laki-laki, menurut islam anak laki-laki harus disunat. Ceritanya Sebelum di sunat anak Arif Muhammad itu diarak dan ditandu. Ketika sedang diarak, tiba-tiba datang petaka. Dengan datangnya topan yang sangat besar sehingga menimpa anak Arif Muhammad. Ia  terjatuh dan meninggal seketika.  "Dari situ leluhur kami mengatakan “hei anak cucu kami jangan sekali-kali lagi mengikuti jejak kami, atau  kata orang sunda pamali", demikian terangnya. 

Berikutnya di Kampung Pulo tidak boleh menambah atau mengurangi bangunan pokok. Bangunan di sini merupakan simbol dari keturunan Arif Muhammad. Selanjutnya Tidak boleh beternak hewan besar berkaki empat, seperti kambing, Kerbau dsb. Alasannya, Menurut Pak Zaki yang pernah meneliti langsung  dan bertanya pada orang yang tahu  mengapa tidak boleh memelihara hewan berkaki empat, jawabannya Ia  hanya bilang " Jang Pamali".  "Saya bingung kalau dibilang Pamali", katanya. Tapi tenyata banyak jawabannya. Satu untuk kestabilan ekosistem, dua menghindarkan kotoran –kotoran ke dalam makam Arif Muhammad yang dikeramatkan.   Makam Arif Muhammad Ini dikelilingi makam-makam keramat lainnya seperti Wirabaya, Pangadegan, Wirajaya, Jayasakti dsb di bukit bentuknya punden. Alasan Ketiga, terkait akidah, kebetulan di dalam candi itu ada arca Siwa. Arca siwa itu sapi. "Sapi itu dewa Nambi.  Barangkali takut disembah lagi umat  muslim", terang Pak Zaki.

Mitos yang Beredar 

Teman-teman, menurut Pak Zaki terdapat mitos seputar Arca Dewa Siwa yang ada di candi Cangkuang.

Setelah Arif Muhammad meninggal dan  Candi sudah hancur,  ada mitos. Setiap orang yang sudah berjiarah ke makam Arif Muhammad selalu memangku patung dewa siwa dengan harapan kalau terangkat maka segala keinginan terkabulkan, Itu bukti akulturasi islam.  Tadinya arca dewa siwa ini tingginya 40 cm beratnya kurang lebih 45 kg, dan itu bisa terangkat. Setelah direnovasi ditambah dudukan, jadi tambah berat  akhirnya tidak terangkat lagi. Namun muncul kepercayaan lain, karena manusia sifatnya terus mencari,  maka tidak bisa diangkat dan  tidak bisa di pengang dan malahan sekarang sudah dikunci, orang sekarang lempar uang. Mitosnya sama.  

"Kalau saya saksikan umat hindu itu untuk pundinya ada sesaji, Baru  uangnya itu di dalam sesaji itu.  Kalau NonHindu dilempar-lempar uangnya ke arca  siwa. Mitosnya seperti itu. Jadi jangan heran kalau di candi banyak uang" ujar Pak Zaki. 

Lalu di Candi Cangkuang ada ritual memandikan benda pusaka seperti keris dan batuan setiap bulan Mulud dan merupakan bulan yang spektakuler. Karena dari awal ada menyambut bulan Mulud, syukuran pertengahannya dan ada acara juga, terakahir pun ada mileuleuyankeun.  Jadi Paturay Tineung atau  selamat jalan untuk bulan Mulud.    

Oh ya sebagai tambahan, di Kampung Adat Pulo ini sekarang dihuni oleh keturunan ke 8,9, dan 10. Sementara untuk Candi Cangkuang belum ada bukti yang otentik dari kerajaan mana. Kalau menurut Mas Kartum sih diperkirakan dari Peninggalan Kerajaan Tarumanegara.  

Narsis dulu sama Awe ketika akan meninggalkan Cangkuang

Satu hal lagi, sepanjang jalan menuju Candi Cangkuang ada penjual Souvenir dan juga ada yang menjual jagung bakar ya...

Seperti itu ceritanya teman-teman. Oleh karenanya kalau kita ingin dikenang, menulislah. Niscaya jejak kita masih terpelihara. Apalagi di dunia cyber seperti ini.  Sayangkan, kalau jejaknya tidak ada heheheheehee.... Jangan Seperti Kerajaan Sunda - Galuh dimana sih patilasannya? Hilang jejaknya... dan jangan ada bakar-bakaran. Sayang khan kalau sejarah tidak ada bukti otentiknya. hehehehehe ....

Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan tentang kunjungan lainnya tapi berhubung postingan ini sudah banyak ya, sudah saja diakhiri sampai sini  nanti disambung kembali dengan cerita lain. Thanks.

Akhir kata selamat menikmati sisa weekend ya ...... 
Untuk Mas Adjie, Fotografer Republika thanks ya sudah membantu kita Narsis....

NB: Untuk Republika ditunggu agenda jelajah Nusantara lainnya dengan lingkup yang lebih luas dan datangkan Narasumber yang kompeten :)

Mohon  maaf apabila ada  salah penyebutan nama maupun data dan informasi ...Terima kasih sudah mampir :)

1 comment:

  1. Hi Mbak La Mia Giornata. Infonya tentang Candi Cangkuang cukup menarik loh. Salam kenal yah.

    Oh ya, jika boleh tahu, adakah kontak dari Bapak Zaki Munawar? Saya rencananya pada Kamis (15 Agustus) berniat mau menyambangi Candi Cangkuang. Terima kasih yah.

    Salam

    ReplyDelete