Yup Akhirnya saya menonton juga sebuah Opera. Rencana awal adalah saya pergi menontonnya dengan teman saya pada hari minggu. Rupa-rupanya teman saya belum bisa memberikan kepastian apakah bisa menonton atau tidak. Hal ini dikarenakan ia ada acara keluarga. Alhasil saya putuskan untuk menonton sendiri saja. Jadilah saya menonton pada malam minggu ini dengan tiket VIP Rp. 250.000, tadinya mau tiket kelas satu seharga Rp. 100.000 tapi untuk hari Sabtu sudah habis. Kalau hari minggu masih ada, tapi saya agak malas kalau harus pergi malam senin karena esoknya akan kembali ngantor.
|
VIP Tiket |
Nah, sekitar jam 19.00 saya sudah standby di Taman Ismail Marzuki untuk menyaksikan opera itu. Saya lihat ada beberapa publik figur yang datang seperi ada pengacara kondang, Adnan Buyung Nasution, Para Aktivis bahkan orang No 2 di Republik ini juga hadir. Ada cerita nih dari kedatangan Bapak Wakil Presiden, Budiono ketika memasuki ruang pementasan. Seorang MC meminta kami sebagai penonton yang hadir pada saat itu untuk berdiri menyambut kedatangan Bapak Wakil Presiden. Terdengar oleh saya ada suara yang berseru seperti "UUuuuu". Itu pertanda mereka tidak mau mengikuti perintah si MC. Saya pun yang ada di situ sudah Nyaman dalam posisi duduk. Jadi, saya tidak ikut berdiri.
Saya kerja di bagian Humas dan Protokol tapi belum menguasai tentang keporokolan. Setahu saya, hadirin biasanya diminta berdiri apabila akan menyanyikan lagu kebangsaan. Kalau pun ada menteri atau orang penting yang datang biasanya hanya di Announce saja tanpa embelan meminta hadirin untuk berdiri menyambutnya.
Baiklah itu sebagai pembukaan blog saja. Sekarang mari kita lanjutkan lagi ke Opera 3 Babak Tan Malaka.
Di sini saya hanya ingin share jalannya opera tersebut. Tapi sebelumnya saya ingin katakan kalau opera ini merupakan pengulangan dari tahun 2010. Dipentaskan lagi dalam rangka ulang Tahun Tempo ke-40. Tapi tentunya ada beberapa bagian yang disempurnakan. Diantara bagian yang disempurnakan adalah Sifat kontemplatif dari opera ini lebih ditunjukkan. Lebih banyak asksen diberikan kepada yang simbolik: dalam sosok orang ramai, dalam gerak, dalam imaji-imaji lain.
Babak Pertama:
Pada babak pertama diceritakan ada seseorang yang bertanya mengenai keberadaan Tan Malaka.
Suara Seseorang: " TAN MALAKA, BUNG DIMANA?"
Pada akhirnya orang tahu bahwa Tan Malaka masih hidup. "Tan Malaka, Tuan ternyata masih hidup"
Kemudian ada sebuah Narator:
Nama itu menjebakmu ,
seperti sel sempit
dari mana kau ingin lari.
Mungkin ia bukan nama itu
dan Tan Malaka
hanya bunyi
yang menandai
yang tak ada.
Mungkin ia namamu
tapi juga suara serak
dari liang gunung
yang diulang tapi tak kembali.
Kemudian muncul Penyanyi ARIA I yang menyanyikan lirik sebagai berikut:
Dulu ada seorang ibu
yang bercerita
tentang anaknya
yang pulang
dari batas ombak
Dulu ada seorang ibu
yang mendengar anak itu berkata:
"aku datang untuk durhaka"
Dulu ada seorang ibu
yang tak mengerti kalimat pertama
Sinbad, si Malin Kundang,
di sebuah bandar
yang tak diinginkannya.
Saya potong ya cerita di babak pertama ini. Langsung ke bagian ini:
Ada tokoh dalam sebuah sel yang seakan-akan bercerita kepada bendera merah:
"Kau tahu, revolusi bukan kerjaku. Bukan kerja seseorang--- juga orang yang luar biasa. Revolusi sendiri adalah sejarah---tepatnya: sejarah sebagai jenius. Kau harus menuliskannya dengan R, huruf R besar. Kau meminta agar aku ada. Tapi ada atau tak ada, bukan itu persoalannya.
Sebab pada mulanya adalah perbuatan. Dengan kata lain: ketidakpastian "
Masih dibabak pertama. Tokoh dalam sel itu juga berkata seperti ini:
Aku bukan Faust. Aku tak diciptakan dalam puisi. Aku jauh lebih sederhana.
Yang dekat, yang diketahui, itulah yang menakjubkan aku: Serangga yang bekerja, semut yang kukuh karena organisasi, sayap dan kaki krempeng yang berproduksi, lebah yang sehari-hari menyusun tugas--merekalah yang aku ketahui.
Aku tidak takjub kepada anak panah yang berubah jadi naga.
yang ingin kukatakan ialah: matahari telah membunuh mistik. Kau tak punya lagi hal ikhwal yang gelap, Aku tak ingin teka-teki
Kemudian ada Narator seperti ini:
Di Bayah, di wilayah Banten itu, ia membuauku curiga.
"Tuan Tan Malaka?"
ia tak menjawab
"atau Tuan Ilyas Hussein?"
Ia juga tak menjawab.
DI bawah alisnya yang tebal, ia malah bertanya: "apa yang kalian katakan tentang Indonesia? Timur yang tak berhenti karena takdir?"
Pertanyaan yang aneh dan mendadak. Aku Tak bisa menyahutnya.
"Tuan telah berjalan jauh", begitulah kukatakan kepadanya.
Ia menyahut:"Benar. Kita yang telah berjalan jauh, harus durhaka."
Aku Tak tahu pada maksudnya dan ia pun melanjutkan: "Aku tak akan pulang ke sebuah Hindia yang ditegakkan dari dongeng Sri Rama. Aku tak akan pulang ke sebuah negeri yang mengelakkan ilmu bukti. Aku menginginkan sebuah rumah dimana iman takn pernah asing dan Tuhan bagain dari kerja."
AKu mencocba membantah:"Tapi Negeri ini dijajah".
Ia berkata: Apa yang bisa kalian katakan tentang penjajahan? Kau menyebutnya Barat. AKu menyebutnya kekalahan kepada teropong 10 inci yang bisa melihat ke semua penjuru alam pada jarak 500 juta tahun cahaya."
Dan, Babak kedua ini ditutup dengan Kutipan dari MARK: " ICH BIN NICHTS, UNDICH MUSSTE ALLES SEIN."
Artinya: Sebab politik pembebasan adalah sebuah proses: ia lahir dari ”aku/kami” yang bukan apa-apa menjadi ”aku/kami” yang harus merupakan segalanya.
BABAK KEDUA:
Babak kedua ini diawali dengan sepotong sajak "LIBERTE" dari ELUARD
Sur les pages lues
Sour toutes les pages blanches
Pierre sang papier ou cendre
J'ecris ton nom
Sur la jungle et le desert
Sur les nids sur les genets
Sur L'echo de mon enfance
J'ecris ton amon
Versi dalam bahasa Indonesia yang dibawakan oleh Aria-1 sebagai berikut:
Di pagina yang terbaca
Di buku putih yang terbuka
Di kertas merang dan abu
Aku tulis namamu
"Kemerdekaan"
Pada hutan dan pada gurun
Pada sarang dan semak ranum
Pada gema masa kanakku
Aku tulis namamu
"Kemerdekaan"
Saya potong kembali di babak kedua ini, langsung pada bagian Narator:
Seperti yang lain-lain, ia bermula dari sebuah nol. Ia pernah tak ada. Kemudian seseorang mengambil pena dan kertas. Ada yang menulis. Ia lahir dari huruf. Ia menyusun sebuah buku. Ia angker seperti guru: Materialisme, Dialektika, Logika, katanya, adalah jalan pembebasan -- tapi paragarf-paragraf itu seperti batu-batu besar yang ditongkrongkan: kedap, berat, ganjil.
Lalu ARIA -1:
Di manakah
Tan Malaka?
Dari mana
ia datang?
Kemudian masuk Narator :
Kita tak tahu dari mana ia datanga. Mungking ia tak pernah datang.
Ia sendiri mengatakan ia sampai di Jakarta 11 Juli 1942. Ia bertolak dari Telukbetung. Menurut cerita, selama empat hari ia berada di atas kapal empat ton yang tua dan bocor.
Saya tak tahu bagaimana ia selamat. Tapi dengan bangga ia mengatakan, kira-kira, --"Aku berbeda dari Sukarno."
"Aku berbeda dari Sukarno karena kapalku dibela ombak dan angin, sedang kapalnya ditarik sekunar Jepang. Sukarno hidup di panggung tentara pendudukan, sedang aku hidup dekat lumpur dan puing, sampah dan lorong rendah."
Saya kira, dengan itu ia ingin mengatakan, Sukarno adalah burung merak, dan Tan Malaka seekor berang-berang. Ia bersembunyi di lubang yang dibikinnya sendiri.
ARIA-II;
Tan Malaka
Tan Malaka:
suara serak
dari liang gunung
suara retak
dari palung laut
Suara yang diulang dan tak kembali
ARIA I:
Tapi Sunyi...
Lalu, Adegan berikutnya Tokoh dalam Sel berbicara kembali ke arah Bendera Merah yang dibawa seorang buruh:
Ingat. Di gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang Siberia, di dalam penjara yang mesum, dingin dan sempit, angan-angan dan kemauan revolusi belajar dan lahir kembali tiap pagi.
Lalu ada sajak/Puisi :
Sur L'absence sans desir
Sur la solitude nue
Sur les marches de la mort
J'ecris ton mon
Kemudian KUR membawakan nanyinya lagi (kalau menurut saya ini versi bahasa Indonesianya)
KUR:
Pada hasrat yang tak lagi
Pada sepi tak terbagi
Pada derap saat nanti
Kutuliskan namamu
Kemerdekaan
Kemerdekaan
TOKOH DALAM SEL:
Pemberontakan memerlukan lupa. Si durhaka dalam sejarah punya amnesia yang tak diakui. Dari situ revolusi lahir: sesuatu yang baru---yang terasa baru.
Langsung ke Bagian ARIA II aja ya:
Dan Lenin berkata,
"Jadikanlah Genesis Kedua!"
"Jadikanlah fajar jadi pijar
jadikan pijar jadi listrik
di bumi Bolsyewik!"
Lenin,
Lenin-lah.
Lenin---
Tak lagi
hari kemarin
Sebab kita bukan apa-apa,
Tak ada
yang jadi Segalanya.
Langsung kebagian Huruf-Huruf muncul di layar:
AKULAH PARTISAN
DARI TEMPAT SEMBUNYI YANG SEMPIT
AKU MENEMBAK MEREKA
DARI TEMPAT SEMBUNYI YANG SEMPIT
AKU MENEMBAK MEREKA
YANG DILUAR GARIS DEMARKASI
AKU MENEMBAK MEREKA AGAR TAK ADA LAGI
BATASAN DAN DEMARKASI
REVOLUSI ADALAH PERISTIWA RIUH
REVOLUSI ADALAH PERISTIWA SUNYI
REVOLUSI MELAHIRKAN AKU
REVOLUSI MELENYAPKAN AKU
Dan Babak ke dua ini ditutup dengan SEORANG ATAU DUA MENGABARKAN KE SEBUAH KERUMUNAN ORANG: "SUDARA-SAUDARA, SUDAH DENGAR? TAN MALAKA DITEMUKAN. IA DITEMBAK MATI !."
BABAK KETIGA
NARATOR:
Ia menyebut dirinya berang-berang. Ia menyebut dirinya hewan yang bersembunyi di lubang yang dibikinnya sendiri.
TOKOH:
Tan Malaka mesti bersendiri. Inilah yang ditulisnya: "Bukankah seseorang pelarian politik mesti ringan bebannya, seringan-ringannnya?"
Ia tak boleh diberatkan oleh benda. hatinya tak boleh diikat oleh anak isteri, keluarga serta handai tolan. Ia setiap detik siap sedia buat berangkat, meninggalkan apa yang bisa mengikat dirinya lahir dan batin."
NARATOR:
Memang, memang agak aneh. Kepadaku ia menyebut dirinya berang-berang.
Seharusnya ia seekor elang-elang , burung yang sendiri. Dari atas, sambil terbang berputar mengelilingi sasaran, ia akan melihat dengan mata tajam apa saja yang terjadi di sana, di bawah yang luas.
Seekor elang akan melihat dengan akurat bagaimana sejarah Indonesia sedang berubah. Sedang diubah. Kian lama kian cepat - di bulan Agustus 1945 itu.
Tapi Tan Malaka tak melihatnya.
TOKOH-I (TAMPAK DALAM SEL) :
Aku katakan tadi, ia mesti sendirian. Tapo apa artinya sendirian? ia juga menghimpun orang. Ia membangun Persatuan Perjuangan, ia jadi guru para pemuda.
Untuk merekalah ia menulis buku: tinggal di dekat pabrik sepatu Kalibata di Jakarta, selama delapan bulan, tiga jam tiap hari, ia menulis, menulis.
NARATOR:
Kata orang ia berada di Jakarta hari-hari itu. Tapi Proklamasi kemerdekaan disiapkan para pemuda, dan ia tak di sana. Tan Malaka tak tampak bahkan beberapa meter saja dari jalan Pegangsaan. Ia tak kelihatan di tanggal 17 Agustus itu. Tak seorang pun memberitahunya.
Aneh, Ia seorang penggerak revolusi. Ia bisa jadi Lenin. Tapi ia kehilangan jejak. Atau ia tidak berjejak.
Ia bilang ia menggeleng-gelengkan kepala mendengar pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno hari itu. Mungkin ia menganggap seluruhnya lembek, atau semu, atau,___
Mungkin ia selamanya asing.
Ia lahir dari buku, hidup dari pustaka, dan menghilang di halaman terakhir sebuah risalah.
Tapi bisakah Revolusi lahir dari kitab yang sudah ada?
TOKOH:
Sering saya pikir, kita selamanya perlu Tan Malaka. Sejarah membutuhkan nama, manusia selalu membubuhkan nama___sejak Adam di surga.
Kemudian para penulis riwayat akan memasang nama itu di tempat yang luhur, tinggi, seraya dikosongkan isinya. Seperti patung Buddha di kuil Kamakura: ia growong, ia besar.
Mungkin itu sebabnya di tiap Taman Pahlawan ada tempat istimewa untuk "prajurit tak dikenal". Kita menghormatinya, tapi sebenarnya tak penting siapa di sana yang dikuburkan. Mungkin liang lahad itu kosong.
Tapi ia lebih baikn kosong. Tiap kali kita akan bisa mengisinya dengan fantasi. Tafsir kita.
Itu sebabnya Tan Malaka, akan selamanya absen__palsu atau tak palsu, mati atau hidup. Ia tak akan pernah hadir. Dan itu penting sekali.
Lalu di layar nampak Huruf-huruf, dengan bunyi mesin ketik:
DIKABARKAN SESEORANG DITEMBAK MATI
DIKABARKAN TAN MALAKA DITEMBAK MATI
DI DAERAH KEDIRI.
MUNGKIN DI BULAN FEBRUARI
MUNGKIN APRIL 1949.
SIAPA YANG MENEMBAKNYA,
DI MANA MAKAMNYA, DAN
APA SEBBANYA, ITU ADALAH ___
Babak ketiga ini diakhiri degan REQUIEM dan seseorang yang membaca sajak:
Barangkali telah kuseka namamu
dengan sol sepatu
Seperti dalam perang yang lalu
kau seka namaku
Barangkali kau telah menyeka bukan namaku
Barangkali aku telah menyeka bukan namamu
Barangkali kitamalah tak pernah di sini
Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi.
Nah adapun catatan saya terhadap Opera 3 babak Tan Malaka adalah sebagai berikut:
- Dari awal sampai akhir cerita memang tidak ada yang memerankan seorang tokoh. Namun di sini sang sutradara Goenawan Mohamad mengatakan bahwa yang hadir di pentas adalah seorang yang menceritakan pertemuannya dengan tokoh revolusi yang misterius itu, yang merenungkan dan mengomentari gagasan dan ucapan - ucapannya. Ia berkisah, berdiskusi dengan bayangan Tan Malaka, dan dengan audiens.
- Mengomentari No. 1 adalah wajar apabila sang sutradara tidak menampilkan sosok Tan Malaka. Dikarenakan untuk menampilkan seorang tokoh, itu berarti kita harus menampilkan perkataan atau ucapan maupun perbuatan dan lain sebagainya yang original dari tokoh tersebut. Dengan kata lain memang dalam kehidupan realnya orang itu berbuat, berkata atau berucap seperti yang dilakonkan. Tapi masalahnya di sini Tan Malaka adalah tokoh yang temasyur dalam keserba-tidak-jelasan. Selain itu, juga untuk lebih bisa berimajinasi atau mengeksplore cerita maka lebih baik tidak dilakonkan atau tidak diperankan satu sosok tertentu.
- Orang yang berperan seperti yang digambarkan pada point satu adalah Seorang NARATOR dilakonkan oleh Landung Simatupang. Saya menilai Naratornya bagus. Mengapa? ia bisa berkisah atau berdiskusi dengan audiens. Jadi, tidak ada jarak antara Narator dan Audiens. Saya melihatnya seperti ia mengajak audiens untuk ngobrol atau berdiskusi langsung. Penekanannya atau intonasinya bagus.
- Ada satu sosok lain. Yaitu yang di dalam sel. Saya kira tadinya itu adalah Tan Malaka tapi bukan. menurut Sutradara, sosok itu seakan-akan berada dengan jarak dari peristiwa-peristiwa, menampilkan sisi lain dari gagasan perjuangan: dalam sel yang pengap sekali pun, Revolusi berlanjut, setidaknya sebagai ide, sebagai kesetiaan, sebagai harapan.
- Kemudian ada Istilah ARIA I dan ARIA II. ya, Aria merupakan Nyanyian. Nyayian tunggal dalam sebuah adegan Opera atau Oratorio. Atau cara penyampaian emosi sebuah lagu berdasarkan jalan cerita dalam struktur melodi. Nah, Aria I diperankan oleh Binu Doddy Sukaman seorang penyanyi soprano Indonesia. Saya baru tahu tentang Binu. Suaranya bagus. Aria II diperankan oleh Nyak Ina Raseuki atau lebih dikenal dengan Ubiet. Hmmmm, penampilan kedua Aria ini cukup Apik. Mereka bernyanyi dengan style Seriosa. Terlebih Binu, Ia bagus sekali melantunkan lirik dalam bahasa Jerman.
- Untuk istilah Requiem sendiri artinya adalah ungkapan yang diucapkan untuk menghormati dan mendoakan orang yang meninggal dunia. Jadi Requiem ini ada hubungannya dengan sesuatu hal yang menyedihkan atau kematian. (Teman-teman bisa mencari referensi lain).
- Kur, kalau saya perhatikan dari adegan Opera itu berarti nyanyian yang dibawakan oleh Paduan Suara. Digunakan untuk memberikan ulasan kepada suatu aksi di pementasan Opera.
- Kemudian kita lihat di dalam adegan Opera tersebut seorang Narator mengucapkan istilah: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Itu ternyata merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
- Nah, kemudian di babak ketiga ada Narasi yang mengatakan bahwa ketika proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan itu, Tan Malaka tidak terlibat. Ini berati memang sosok Tan Malaka ini begitu menyendiri dan tersendiri. Istilah lainnya Pahlawan tak dikenal. Kenapa Ia tidak ikut dalam proklamasi? nah dalam hal ini saya setuju dengan Gunawan Muhammad yang mengatakan dalam narasinya bahwa "Aku berbeda dari Soekarno karena kapalku dibela ombak dan angin, sedang kapalnya ditarik sekunar jepang. Soekarno hidup di panggung tentara pendudukan, sedang aku hidup dekat lumpur dan puing, sampah dan lorong rendah." kemudian di dalam narasi yang lain "Ia menyebut dirinya berang-berang. Ia menyebut dirinya hewan yang bersembunyi di lubang yang dibikinnya sendiri." dan pada bagian Narasi yang lainnya juga ada perkataan "Memang, memang agak aneh. Kepadaku ia menyebut dirinya berang-berang. Seharusnya ia seekor elang-elang, burung yang sendiri . Dari atas, sambil terbang berputar mengelilingi sasaran, ia akan melihat dengan mata tajam apa saja yang terjadi di sana, di bawah yang luas. Seekor elang akan melihat dengan akurat bagaimana sejarah Indonesia sedang berubah. Sedang diubah. Kian lama kian cepat - di bulan Agustus 1945 itu. Tapi Tan Malaka tak melihatnya".
- Pada bagian akhir ada pernyataan yang mengatakan bahwa Tan Malaka ditembak mati di dareah Kediri pada tahun 1949. Namun, siapa pelaku penembakan dan dimana makamnya serta apa sebabnya itu merupakan misteri.
- Tapi setelah saya googling, ternyata Makam Tan Malaka ini ditemukan di Kediri dan akan dipindahkan ke Kalibata apabila hasil uji DNA membuktikan Jasad tersebut adalah Tan Malaka. Ketika saya menulis blog ini pun hasil uji DNA nya belum ada.
- Nah, menurut kabar, sejarah Tan Malaka ini ditenggelamkan karena dituding terlibat komunis. Tapi Tan Malaka sendiri dan sebagain kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono, Alimin dan Musso. Menurut versi dari Opera 3 babak Tan Malaka dikatakan bahwa Tan Malaka sendiri seorang Bolsyewik, meski pun kemudian ia dimusuhi oleh Partai Komunis Indonesia. Tan Malaka pernah punya partai dan kader-kader, tapi berbeda dengan Partai Komunis dan Partai Sosialis Indonesia, mereka tak mampu melanjutkan gagasannya.
- Di dalam opera ini menyebutkan tentang Malin Kundang, adapun Penjelasan dari Pihak Opera 3 babak Tan Malaka adalah: perantauan Tan Malaka yang panjang, seperti si Malin Kundang, adalah sebuah antitesa bagi alam yang mandeg. Komunisme dan modernisasi berjalan satu hati dalam gagasan Tan Malaka. Tapi pada gilirannya, ia jadi bagian dari mitos. Seorang aktivis komunis di bawah tanah yang berpindah dari kota ke kota di ASia, selalu tak terttangkap oleh polisi kolonial, ia jadi tokoh yang makin hidup karena dikhayalkan oleh penyusun cerita fiksi, penulis sejarah atau para pengagum pahlawan.
- Setelah saya perhatikan ternyata Menonton Opera apalagi yang bertema sejarah perjuangan berbeda dengan menonton pertunjukkan musikal. Menonton opera membuat kita berpikir dari awal sampai akhir. Sementara Pertunjukkan musikal yang pernah saya tonton temanya tidak seberat opera. Jadi kita bisa langsung mencerna jalan ceritanya. Bahkan kita bisa langsung menangkap ekspresi dari para pemainnya. Itulah yang membuat saya terharu dan menangis ketika menonton pertunjukkan musikal. Karena kita mengerti langsung maknanya.
- Wapres Budiono yang hadir pun mengakui hal itu. Dia bertutur "Karya Goenawan Mohamad itu selalu tidak ringan, jadi saya tidak mengaku bisa menangkap semuanya, Ini karya yang berat bagi orang awam seperti saya, tapi benar-benar saya enjoy (menikmati- Red) tadi," ...."Mengenai tokoh yang misterius tadi jadi semua harus serba kita intepretasikan dengan penuh refleksi dan kontemplasi, ini puisinya Goenawan Mohamad yang kita terjemahkan dalam musik dan pentas mengenai tokoh yang misterius, jadi harus benar-benar kita cerna," katanya.
- Adapun tema dari pementasan Opera 3 babak Tan Malaka adalah: Renungan tentang Revolusi dan pembebasan yang diperjuangkan Tan Malaka.
- SIfat teater epik, yang merupakanteater revolusioner di tahun 1920-1930-an di Jerman yang bergolak, masih dipertahankan: Opera ini, dengan menampilkan juga elemen film, poster, teks secara visual, hendak menegaskan bahwa pentas bukanlah sebuah ilusi tentang realitas. Pentas adalah tempat dimana realitas itu diproses dan para hadirin ikut dalam proses ke arah pembebasan kita dari ilusi --dengan aktif merenungkan soal-soal sejarah sebagai gerak ke arah pembebasan.
- Versi Opera 3 babak Tan Malaka mengatakan bahwa semangat Tan Malaka itu adalah " mencita-citakan sebuah revolusi yang akan menegakkan dunia baru yang bukan "Timur", sebuah dunia dimana rasionalitas jadi pegangan ---sesuai dengan semangat Aufklarung yang memodernkan Eropa.
- Menonton Opera ini berarti menambah khasanah tentang dunia Seni dan sastra. Oh ya kita juga perlu untuk memiliki kamus musik selain googling. Semoga akan banyak lahir karya-karya agung di dunia seni dan budaya.
- Oleh karena itu mari kita pelihara, lestarikan dan nikmati TAMAN ISMAIL MARZUKI.
Nah, sebelum menutup blog ini saya ingin membagikan satu kunci bagaimana kita memahami jalannya cerita sebuah Opera.
| |
Buku Panduan Opera Tan Malaka |
Nah, kunci yang bisa membantu kita mempermudah dalam memahami sebuah Opera bagi saya adalah buku panduan. Gambar tersebut diatas sebenarnya terdiri dari dua buah buku. Buku putih berisi bagian lengkap dari ketiga babak dan didalamnya ada narasi. jadi, melaui buku putih kita bisa tahu apa yang akan dipentaskan oleh masing-masing lakon. Sepanjang Adegan opera itu saya tidak lepas dari buku putih untuk mensinkronkan apa yang ada dihadapan saya. Sementara buku yang merah itu berisi kata-kata pengantar dari sang sutradara dan juga mengulas tentang Opera 3 babak Tan Malaka. dari sanalah saya bisa mengetahui apa tema dasar dari Opera ini. Jadi, kalau teman-teman ingin menonton Opera jangan lupa untuk membaca buku panduannya ya....
Saya ucapkan selamat menikmati hari terakhir long weekend, Oh ya Opera Tan Malaka masih ada nanti malam terakhir. ya..di TIM ^-^